Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bunuh Diri, Kiat Petani India Lupakan Utang

Kompas.com - 12/05/2008, 01:37 WIB

SELASA, 1 April 2008 malam, petani itu melangkah di tengah ladangnya yang berdebu. Di satu titik ia berhenti, lalu menenggak pestisida dan menunggu ajal menjemput. Pria 45 tahun asal Kochi, India, itu tewas beberapa jam kemudian.

Pandurang Chindu Surpam sudah tidak mau lagi hidup. Utangnya terlalu banyak dan tidak terbayar. Di bank ia punya tanggungan 25.000 rupee, belum lagi pada lintah darat yang mematok bunga mencekik. Suatu waktu, ia berkata kepada sang istri kalau panen kapas tahun ini gagal, ia bunuh diri. Surpam membuktikannya malam itu.

Untuk keluarganya, Supram meninggalkan sebidang lahan nyaris tandus yang selama ini digarap bersama anak laki-lakinya. Di ladang itu, keluarga Supram berharap mendapat makanan terakhir.

Di India, petani bunuh diri gara-gara tercekik utang seperti Surpam bukan hal mengagetkan. Bahkan, angkanya sangat tinggi, pada 2002-2006 rata-rata 48 petani mengakhiri hidupnya. Artinya, lebih dari 17.500 petani per tahun. "Sedikitnya 160.000  petani bunuh diri sejak 1997," kata K Nagaraj dari Institut Studi Pembangunan Madras, Minggu (11/5).

Wabah ini dimulai sejak 1990-an. Penyebabnya adalah beban yang harus ditanggung petani lemah seperti Surpam sangat berat. Kesulitan yang mereka alami, di antaranya pemotongan subsidi, persaingan global yang makin ketat, kekeringan, lintah darat yang semakin rakus, dan bibit tananam yang semakin mahal. "Ini salah satu bencana penyakit masyarakat paling berat yang memukul India sejak merdeka," kata Charles Nuckols dari Universitas Brigham Young, antropolog yang mempelajari kehidupan pedesaan India selama beberapa dekade.
 
Pemerintah di India utara punya beberapa cara mencegah kasus bunuh diri itu, di antaranya melarang peredaran cat rambut murah yang biasanya ditenggak para petani putus asa. Ini memang cara murah untuk menggagalkan kerja ginjal dan mempercepat kematian. Tentu saja Pemerintah India tidak ingin para petaninya terus berkurang gara-gara bunuh diri. India adalah penghasil kapas terbesar dunia. Jelas wabah bunuh diri akan memengaruhi industri tekstilnya juga besar, sebagai sektor hilir dari bisnis kapas itu.

Di kawasan pedesaan Negara Bagian Maharashtra, para petani mengatakan, kondisi tidak pernah menjadi lebih berat. Dengan utang yang lebih besar dari pendapatan, mereka menjadi penjudi dengan taruhan paling tinggi. Mereka mempertaruhkan tanah dan hidupnya demi panen yang bagus. Tak sedikit dari mereka yang kalah dalam perjudian itu.
 
Perdana Menteri Manmohan Singh memang sudah mengunjungi sejumlah janda, yang jumlahnya terus bertambah, dan menyediakan dana dari anggaran negara 2008 untuk meringankan utang itu.

Namun, agaknya para petani tidak akan terhibur karena India semakin menusuk ke jantung pasar global. Bahkan, menteri pertaniannya punya kegiatan sampingan yang mungkin akan menyita pekerjaan utama, menjadi ketua organisasi kriket nasional.

Satu dasawarsa lalu, pemerintah mulai memangkas subsidi pertanian, begitu meliberalisasi perekonomian sosialisnya. Tentu, kemudian, biaya produksi petani meningkat, ketika tarif untuk melindungi produk mereka diturunkan. Menurut pengamat, kombinasi itulah biangkeladi rontoknya pertahanan para petani gurem.

"Bunuh diri adalah salah satu gejala krisis agraria yang lebih besar," kata Srijit Mishra dari Institut Riset Pembangunan Indira Gandhi.

Palu godam lain yang tak kalah kejam menghantam kepala petani. Reformasi perbankan memaksa para petani menjadi lebih tergantung pada lintah darat. Persyaratan bank agaknya memang lebih deras menyedot darah petani. Bagaimana tidak, para petani hanya diberi kesempatan mengangsur utang selama 11 bulan dengan bunga lebih dari 100 persen setahun. Kalau tidak bisa bayar, tanah petani akan dirampas dengan harga yang jauh lebih rendah.

"Ini memang bukan bisnis yang baik, tapi Anda bisa mendapat uang banyak," kata seorang lintah darat yang tidak mau disebut namanya.

Pria berkumis seruncing pensil dan bertutur kata halus itu mengelola sebuah toko grosir, namun bisa memberikan kredit bagi ratusan petani. Ia juga sudah merampas sedikitnya 50 hektar tanah petani yang gagal bayar selama 10 tahun menekuni bisnis warisan dari sang ayah itu. Ia mengatakan jumlah petani yang tidak bisa membayar utang meningkat sampai 30 persen dalam 10 tahun terakhir.

"Ketika kami meminjamkan uang, kami tahu mereka bisa membayar atau tidak. Kami tahu tanah itu akhirnya akan menjadi milik kami," kata pria itu.

Seolah belum cukup penderitaan petani, maka diperkenalkanlah bibit kapas Bt buatan Monsanto Co, yang bermarkas di St Louis Amerika Serikat. Bibit kapas ini tahan terhadap serangan cacing kulit kapas. Bibit ini juga lebih produktif dan menjadi standar di Maharashtra, tetapi harganya tiga kali lipat lebih mahal ketimbang bibit tradisional.

Dengan bunuh diri, para petani itu melepaskan diri dari penderitaan duniawinya. Tetapi penderitaan yang lebih panjang justru ditimpakan kepada para janda yang mereka tinggalkan, yang sendirian mengurus anak-anak dan tentunya ladang tandus yang menggagalkan panen itu. Bagi para janda ini, malapetaka tidak datang dari ekonomi makro yang tidak berpihak pada mereka, tetapi dari persoalan sekitar, seperti utang yang tak mungkin terbayar, terampasnya tanah warisan dan rongrongan lintah darat.

Sumitra, istri Surpam, adalah ibu tiga anak yang tabah, yang wajahnya menjadi keras karena ditempa teriknya sinar matahari. Ia mengatakan suaminya bunuh diri gara-gara utang yang didapatnya dua tahun lalu. Surpam meminjam uang di bank sebanyak 25.000 rupee atau sekitar Rp 6 juta dan 20.000 rupee atau sekitar Rp 5 juta lagi dari rentenir. Sebagian uang itu untuk menanam kapas dan sebagian lagi untuk membiayai pernikahan anak gadisnya.

"Dia pernah berkata, kami memang punya utang, tapi kalau ada orang datang mencari kami, itu memalukan," tutur Sumitra yang baru tahu berapa besar utang itu pada hari kematian suaminya.

Tanah Supram yang seluas 1,2 hektar tahun ini hanya menghasilkan kapas senilai Rp 1,4 juta, jauh dari cukup untuk membayar utang ke lintah darat. "Bunuh diri itu benar-benar karena utang," ujar Sumitra.

Namun, betapa pun berat akibatnya, bagi Surpam dan sebagian besar petani, utang adalah hal selumrah menggarap tanah. Sekelompok petani di Kochi yang beberapa waktu lalu ditanya Associated Press siapa di antara mereka yang berutang, semua tangan mengacung.

Pemerintah berinisiatif mengurangi beban utang petani dengan menyisihkan sebagian anggaran belanja 2008 agar bank bisa memutihkan utang petani. Langkah ini dipandang sebagai upaya memecahkan ketidakpuasan di pedesaan yang menjadi penyebab kejatuhan pemerintahan sebelumnya.

Namun, program ini tidak banyak menolong karena hanya diberikan kepada petani yang memiliki tanah kurang dari 2 hektar. Selain itu, petani yang telah berhutang dari lintah darat juga tidak termasuk dalam program ini. Artinya, jutaan petani sama sekali tidak tersentuh program ini. Contohnya adalah keluarga Shanker Waghmere dari desa Bothbodan. Shanker memiliki dua hektar tanah dan dia berutang 60.000 rupee atau Rp 14 juta yang tidak terbayar.

Sebelum Shanker Waghmere bunuh diri pada 2005, pria 49 tahun itu selalu mengatakan, utang mereka akan terus bertambah dari hari ke hari, kata istri Shanker, Shantabair (35).

Saat malam menaungi hasil panen dan ketiga anaknya mengipas-kipas di belakangnya, Shantabair tidak hilang harapan. Ia berharap tahun ini mendapat cukup uang dari hasil panen untuk membayar utang suaminya, membiayai pernikahan anak perempuannya, dan membayar biaya sekolah anak laki-lakinya. Perempuan ini juga sudah punya rencana untuk membeli bibit yang lebih bagus. Bibit itu akan dibelinya dengan uang yang dipinjam dari lintah darat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com