Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemampuan Intelijen Polri di Papua Dipertanyakan

Kompas.com - 05/05/2008, 19:48 WIB

JAKARTA, SENIN - Selain dikhawatirkan menjadi preseden, pemanggilan wartawan oleh Polresta Jayapura terkait Penayangan berita pengibaran bendera Bintang Kejora di Kelurahan Yabansay Distrik Harem beberapa waktu lalu dinilai menunjukkan lemahnya kinerja serta profesionalisme aparat keamanan, khususnya intelijen kepolisian di sana.

Penilaian itu disampaikan dosen Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, Senin (5/5), kepada Kompas saat dimintai komentar terkait pemanggilan itu. Seperti diwartakan sebelumnya, wartawan TransTV di Jayapura, Chanry Andrew Suripati dipanggil kepolisian sebagai saksi.

Menurut Widodo, kalau pun Polri atau intelijennya terlanjur terlambat mengetahui atau kedahuluan oleh wartawan media massa, tentunya ada banyak cara lain untuk mendeteksi atau mengetahui siapa pelaku pengibar bendera tanpa perlu menjadikan wartawan sebagai saksi.

”Keberadaan intelijen kan seharusnya bisa lebih tahu dari wartawan, terutama terkait penguasaan wilayahnya dalam konteks keamanan dan ketertiban masyarakat. Fungsi intelijen kan untuk deteksi dini. Akan tetapi tidak perlu grogi juga, misalnya, jika wartawan bisa tahu lebih dahulu,” ujar Widodo.

Widodo juga menambahkan, dalam menjalankan tugas-tugasnya institusi kepolisian juga harus ”turut serta dalam pembinaan hukum nasional”, seperti diatur dalam pasal 14 (d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Hal itu berarti dalam menjalankan tugasnya Polri juga harus menghormati aturan perundang-undangan lain, termasuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang memungkinkan adanya hak untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lain dari sumber berita (hak tolak).

Seperti diwartakan, aparat hukum diminta sedapat mungkin menghindari pemanggilan wartawan untuk bersaksi atau dimintai keterangan terkait pemberitaannya. Hal itu disampaikan Dewan Pers dalam Pedoman Dewan Pers Nomor: 01/P-DP/V/2007 soal hak tolak dan pertanggungjawaban hukum dalam perkara jurnalistik.

Dalam salah satu butir Pedoman Dewan Pers disebutkan, aparat penegak hukum diminta memahami tugas dan kerja wartawan, yang meliputi kegiatan mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi.

Soal hak tolak juga diatur dalam pasal 50 KUHP, yang berbunyi, ”Mereka yang karena pekerjaan, harkat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”.

Namun begitu Dewan Pers juga mengingatkan, keberadaan hak tolak bukan berarti bisa dijadikan alasan bagi lembaga pers untuk menolak pemanggilan untuk didengar keterangannya oleh pejabat penyidik. Hak tolak juga diminta tidak diterapkan secara sembarangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com