Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Borek dan Lahmacun

Kompas.com - 21/04/2008, 09:53 WIB

MEMANG sangat sulit menentukan apakah satu jenis makanan berasal dari satu negara atau tempat tertentu. Masalahnya, semakin banyak kita mengenal makanan, semakin banyak pula kita jumpai kemiripan jenis makanan di satu negara dengan di negara lain.

Contohnya adalah sate. Kita tentu sangat ingin menyatakan bahwa sate berasal dari Indonesia. Tetapi, kita menemukan sate di Thailand, Malaysia, Singapura, juga di Tiongkok. Bahkan, shish kebab di negara-negara Timur Tengah dan Laut Tengah pun sangat mirip dengan sate. Ada pula yang berteori bahwa nama sate sebetulnya berasal dari bahasa Tionghoa. Sa berarti tiga, dan they berarti potongan. Bukankah kebanyakan sate terdiri atas tiga potong daging pada satu tusukan?

Setidaknya bangsa Italia mengakui bahwa spaghetti merupakan adaptasi dari mi di Negeri Tiongkok yang dilihat Marco Polo ketika singgah ke sana. Begitu pula ravioli yang ditiru dari pangsit. Orang Turki juga tidak segan mengakui bahwa manti adalah contekan dari pangsit sejak masa Jalan Sutra – ketika perdagangan sutra dan rempah-rempah melintasi negara-negara di Utara itu. Manti adalah pangsit mini yang diisi keju atau daging, dihidangkan panas dalam kuah yoghurt.

Lalu, bagaimana dengan borek atau lahmacun – dua jajanan populer di Turki? Borek sangat mirip dengan lasagna dari Italia. Sedang lahmacun sangat mirip dengan pizza. Siapa meniru siapa? Setidaknya, sampai saat ini belum ada pengakuan dari kedua belah pihak.

Secara umum ada dua macam borek, yaitu borek kering dan borek basah. Borek basah disebut su borek. Borek kering mirip lasagna dari Italia Selatan. Bahannya dari semacam mi lebar, diselang-seling dengan keju atau daging, atau campuran keduanya. Bedanya dengan lasagna adalah bahwa borek tidak memakai saus tomat.

Biasanya, pembuat baklava juga membuat borek. Bedanya pada ketebalan lapisan yang dipakai. Bila untuk baklava dipakai sekitar 40 lembaran setipis kertas, untuk borek mungkin cuma sepuluh lapis. Borek adalah makanan ringan yang populer dan murah-meriah. Ada juga borek Kurdi yang polos tanpa isi, tetapi dimakan dengan taburan gula bubuk. Jenis borek ini populer di kalangan orang keturunan Irak. Di Amerika Serikat, saya sering melihat borek di gerai makanan Turki – khususnya gerai makan di foodcourt. Kalau di Turki jarang sekali menemukan borek ayam, di Amerika Serikat justru borek ayam-lah yang paling populer.

Sedangkan lahmacun lebih mirip pizza, tetapi juga tidak memakai saus tomat. Dasarnya adalah roti tipis yang garing. Topping-nya pun kebanyakan hanya daging cincang yang dibumbui, lalu “disiram” dengan perasan jeruk nipis. Ukurannya lebih kecil dari pizza, sehingga lebih ringan. Di restoran, lahmacun sering disajikan sebagai meze atau appetizer, dihidangkan secara datar (flat). Tetapi, di pinggir-pinggir jalan, lahmacun biasanya digulung, lalu dibungkus kertas, agar dapat dimakan sambil berjalan-jalan. Mirip involtini alias pizza gulung di Italia.

Orang Turki tampaknya memang sangat fanatik dengan kekayaan kuliner mereka. Di Istanbul memang dapat dijumpai beberapa gerai McDonald’s dan KFC. Tetapi, jumlahnya sangat sedikit bila dibanding dengan rumah-rumah makan yang menyajikan masakan tradisional Turki. Orang Turki secara umum memang lebih menyukai masakan tradisional mereka ketimbang makanan impor. Itu tampak sekali dari kehadiran masakan khas Turki dalam berbagai bentuknya.

Gerai Starbucks pun semakin banyak bertumbuhan di Turki. Tetapi, mana mungkin Starbucks mengalahkan warung-warung kopi tradisional? Di mana-mana, bahkan di gang-gang kecil di kawasan pusat kota Istanbul, sangat banyak dijumpai kedai-kedai pinggir jalan yang menyajikan teh dan kopi khas Turki. Cirinya mudah diketahui, yaitu dingklik-dingklik dan kursi-kursi kecil mengelilingi meja-meja kecil. Tergantung tempatnya, kedai-kedai kopi dan teh seperti itu menawarkan secangkir kecil teh Turki dengan harga mulai dari 50 sen (sekitar Rp 5 ribu) sampai dua setengah lira (sekitar Rp 20 ribu). Teh paling populer di Turki adalah elma cay alias teh apel. Rasanya seperti apple juice dalam versi panas.

Sama dengan kaum elite yang nongkrong di Starbucks, di kedai-kedai kopi ini orang juga ngobrol ngalor-ngidul berlama-lama. Bahkan lebih asyik lagi karena mereka melakukannya sambil mengisap nargile (water pipe) yang biasa disebut hookah di India, atau shisha di Arab maupun di negara kita. Di Turki, sangat umum kita temukan kaum perempuan duduk mengisap sisha di tempat terbuka.

Kalau di Indonesia baru beberapa tahun belakangan ini muncul beberapa restoran fine dining yang menyajikan masakan Indonesia – seperti Mera Delima, Kembang Goela, Tiga Nyonya, Bunga Rampai, Harum Manis – di Turki rumah makan seperti itu sudah lama ada dan jumlahnya pun sangat signifikan.

Salah satu contoh adalah “Daruzziyafe” di dekat Masjid Sulaeman. Di dalam buku-buku panduan wisata selalu ditulis bahwa “Daruzziyafe” adalah restoran tertua di Turki. Sebetulnya, pernyataan itu kurang tepat. Bangunan-bangunan di samping Masjid Sulaeman itu dulunya adalah dapur umum untuk menyediakan makanan bagi rakyat yang kurang mampu. Ruang makan yang sekarang menjadi restoran “Daruzziyafe” itu dulunya adalah sasana andrawina (banquet hall) bagi pengurus masjid untuk menerima tamu kehormatan dengan jamuan santap.

Masjid Suleyman sudah berusia 450 tahun, dibangun oleh Sultan Suleyman – yang terkaya di antara semua sultan Turki. Maka, tentu saja “Daruzziyafe” pun sudah setua itu usianya. “Daruzziyafe” dan beberapa restoran fine dining di Turki dengan bangga menyebut bahwa menu mereka asli mengikuti menu favorit para sultan di masa Kesultanan Ottoman yang jaya. Kejayaan arsitektur masa lalu menemukan fungsinya yang lebih modern di masa sekarang.

Hidangan favorit di “Daruzziyafe” adalah sup suleyman (suleymaniye corbazi) yang dibuat dari kacang lentil merah. Sup ini memang dulunya merupakan kesukaan Sultan Suleyman. Hidangan andalan lainnya adalah keskekli kebab (veal kebab di atas bulgur kukus. Di sebelah “Daruzziyafe” ada sebuah kedai teh tradisional yang sangat menyenangkan untuk nongkrong sambil tawaria.

Kunjungan ke Istana Topkapi juga menunjukkan adanya dapur istana yang sangat besar, dengan peralatan yang lengkap dan canggih. Ini semua membuktikan tingginya nilai pusaka kuliner Turki yang hingga kini masih dipertahankan. Para Sultan Turki di masa lalu memang merupakan patron utama yang menjaga budaya kuliner Turki yang kaya raya.

Coba kita lakukan reality check pada diri kita sendiri. Bukankah begitu banyak pusaka kuliner kita yang hilang begitu saja? Istana Sultan Maimoon di Medan, misalnya, masih menyisakan sangat sedikit pusaka dan tradisi kuliner, sementara sebagian besar telah hilang. Begitu pula kraton-kraton di Jawa. Tradisi dandangan yang masih diselenggarakan di Karaton Surakarta Hadiningrat beberapa tahun yang lalu mungkin akan hilang pula karena yang tahu menyelenggarakannya sekarang justru telah “tersingkir” dari lingkungan kraton.

Baik di kelas murah-meriah maupun di kelas fine dining, kuliner Turki memang dijaga oleh stakeholders (pemangku kepentingan) yang sadar apa artinya kuliner dalam budaya mereka, serta juga manfaat ekonominya bagi pariwisata Turki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com