Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjelang Imlek di Medan

Kompas.com - 10/02/2008, 07:53 WIB

     Bondan Winarno
Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya. (E-mail: bondanw@gmail.com)
______________________________________________

Tak dinyana, sebuah urusan kecil ternyata malah membuat saya bersama istri menikmati saat-saat menyenangkan menjelang Imlek di Medan.

Seperti di Pontianak, Medan juga merupakan basis warga keturunan Tionghoa yang kuat. Bedanya, Medan jauh lebih besar dibanding Pontianak – baik dari segi populasi maupun tingkat ekonomi. Karena itu, dari sisi luar, suasana Imlek di Medan jauh lebih gebyar dibanding di Pontianak seperti yang saya alami beberapa tahun yang lalu. Hotel internasional tempat kami menginap pun terasa “merah banget” karena hiasan-hiasan Imlek. Begitu juga jalan-jalan, mal-mal, dan toko-toko. Sungguh meriah!

Sehari menjelang Imlek, jalan-jalan dalam kota Medan terasa lebih padat daripada hari-hari biasa. Di depan beberapa toko tampak truk-truk sedang menurunkan ratusan kardus berisi jeruk impor – sebuah lambang yang wajib dan mutlak harus ada pada Hari Raya Imlek. Entah kenapa, saya juga khusus merasa bahwa pada hari itu perempuan-perempuan keturunan Tionghoa yang cantik-cantik seperti khusus melakukan show of force di jalan-jalan. Mereka yang pernah ke Medan tentu tahu maksud saya. Selain mereka memang cantik, mereka juga lebih berani jalan keluar dengan pakaian seronok – paha dan punggung terbuka lebar memamerkan kulit mereka yang cemerlang.
            
Eits, tunggu dulu! Kolom ini memang belum berubah jadi Kamasutra, kok.
            
OK, sarapan dulu, yuk? Tujuan pertama adalah Bakmie “Hock Seng”. Warung mi terkenal ini sekarang – due to popular demand! – sudah punya cabang di kawasan ruko-ruko Muarakarang, Jakarta Utara. Yang di Medan ini dari dulu mangkal di pojokan Jalan Kumango. Masih ingat, kan? Di ruas jalan ini juga bercokol seorang penjual makanan yang legendaris, yaitu Bihun Bebek Kumango.
            
Sama dengan Bihun Bebek Kumango, mi “Hock Seng” juga mihil alias mahal banget. Harganya Rp 34.000 untuk porsi spesial. Tetapi, jangan dulu bilang mahal. Tengoklah dulu isinya. Angkat bagian bawah ke atas agar semua komponen mi spesial ini menampakkan diri. Isinya luar biasa banyak. Bakso udang goreng, bakso ikan basah, hekian, tiram, udang rebus, irisan ikan tengiri, cingkong kepiting, semur telur bebek, telur ikan goreng, potongan lemak babi goreng garing. Di atasnya ditabur wan sui (daun ketumbar = cilantro) dalam jumlah yang generous.
            
Aromanya harum, mi-nya kenyal. Istimewa! Juara dunia! Inilah mi yang mengalahkan kampiun saya sebelumnya, yaitu mi kepiting Jalan Hijas Pontianak.
            
Kepada pemiliknya, saya bertanya: “Kalau ada yang minta, bisakah dibuatkan satu porsi yang khusus tanpa babi dan minyak babi?” Dia tersenyum, lalu menjawab: “Bisa saja, Pak. Namanya juga orang jualan. Tetapi, saya tidak jamin rasanya sama enak.” Paham, kan?
            
Sasaran berikutnya adalah sebuah kedai sederhana di dekat Pajak Petisah. Orang Medan dan Tapanuli menyebut “pasar” sebagai “pajak”. “Pasar kelontongan” dibilang “pajak sampah” karena barangnya campur-campur segala macam. Kedai ini sejak pagi sudah super-sibuk. Ketika kami mau makan siang di situ, pemiliknya terpaksa repot mengosongkan satu meja khusus untuk kami. Soalnya, hari itu hampir tidak ada orang yang makan di sana. Tetapi, sejak pagi mereka sudah sibuk memasak melayani pesanan untuk dibawa pulang sebagai sajian makan malam menjelang Imlek. Semua meja penuh dengan bungkusan dan rantang makanan pesanan.
            
Pemiliknya merangkap tukang masaknya adalah seorang Tionghoa perantauan dari Perak, Malaysia. Tidak heran, bila masakannya punya sentuhan yang sungguh sangat beda. Saya sudah pernah singgah ke tempat ini setahun yang lalu, dan akan selalu datang lagi. Kedainya bernama “Pare 31”.

Bondan winarno

Ikan Pari Kukus


Bondan winarno

Terong Goreng

            
Favorit saya di sini adalah ikan pari kukus dan terong goreng. Menikmati dua hidangan itu saja sudah bikin merem-melek. Ikan parinya ditampilkan dengan sambal belacan yang memang khas Malaysia. Mirip dengan sajian sama bernama ikan pari panggang yang biasa dijajakan di sepanjang Jalan Alor, Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Bedanya, di sini ikan parinya dikukus, tidak dipanggang. Teksturnya menjadi lebih mulus. Rasanya? O la la, mak nyuss!
            
Terong gorengnya juga tidak boleh dilewatkan. Terong ungu dipotong-potong sebesar kelingking, lalu digoreng garing (deep fried). Bumbu-bumbunya juga ditumis kering: ebi, cabe merah, bawang merah, merica, daun kari, dan beberapa bumbu harum lain. Duuuh, hidangan sederhana ini benar-benar seperti kiriman dari swargaloka.
            
Saya tidak sempat mencicipi, tetapi katanya ayam goreng thai di tempat ini juga berkualitas “pembunuh”. Soalnya, menjelang Tahun Baru kedai ini sibuk memasak hidangan khusus. Ada khim hiong kien yang mirip kekian atau lumpia dengan isi ikan dan kepiting. Gurih dan harum nian! Ketika saya “melaporkan” makanan ini kepada William Wongso, dia malah bingung. “Aku ga ngerti makanan apa itu,” jawabnya lewat SMS. Maklum, sekalipun dia paham Putonghua, tetapi bahasa Tionghoa di Medan sangat beda dan khas. Menurut William, khim berarti emas, sedangkan hiong berarti harum. Cocoklah! Warna gorengannya memang seperti emas, dan aromanya pun menguarkan harum ngohiong yang ciamik. “Kien” sama dengan “kian” seperti pada hekian yang berarti lumpia udang.
            
William tambah bingung waktu saya bilang bahwa pesanan yang paling populer untuk hidangan makan malam Imlek adalah khau bak keladi. “Lho, apa itu?” Soalnya, menurutnya, dalam bahasa Hokkian “khau bak” berarti daging anjing.
Padahal, di kedai itu yang dimaksud adalah daging bagian paha babi disisipi irisan keladi dan di-stew (slow braising, masak dengan api kecil) dengan kecap sampai setengah kering.
            
Istilah campuran dialek Hakka dan Tiochiu yang banyak dipakai di Medan memang sering membingungkan orang yang datang dari luar. Di Medan, misalnya ada makanan populer yang disebut tukha hong alias semur kaki babi. Padahal, dalam bahasa Hokkian-nya adalah “tikha”, bukan “tukha”, sementara istilah umum di tempat lain adalah “cu kiok”.
            
“Harusnya daftar menunya disertai aksara Mandarin agar dapat dipahami makna sebenarnya,” kata William.
            
Sekadar sebagai tambahan catatan, di Medan sejak belum lama ini buka sebuah rumah makan Minang-Melayu milik orang keturunan Tionghoa. Namanya “Pondok Krakatau”, karena tempatnya memang di Jalan Gunung Krakatau di kawasan Glugur. Gaya penyajiannya benar-benar mirip rumah makan Minang pada umumnya. Tetapi, nuansa masakannya sangat khas. Rumah makan baru ini sudah sangat ramai diantre pelanggan fanatiknya. Coba ayam rendang, gulai kepala kakap, kari kambing, atau bawal kukusnya! Mantapffff!
            
Sayangnya, cerita ini terpaksa saya tutup dengan sedikit kekecewaan dan dendam. Setelah berhasil “menaklukkan” kemacetan setengah jam lebih, akhirnya kami tiba di “Hawwi”, sebuah rumah makan kecil di kompleks Medan Plaza. Tidak banyak yang mengenal rumah makan ini. Tetapi, kepiting saus padangnya beberapa strip di atas yang lain. Henny Supolo Sitepu, penggemar fanatik rumah makan ini, bilang: “Setiap membayangkan, saya jadi laper dan ngiler abisss.”
            
“Hawwi” – seperti juga “Surya” di Makassar – menyediakan layanan khusus bagi mereka yang ingin membawa oleh-oleh kepiting saus padang ke kota lain. Sayangnya, hari itu dia tutup karena mau merayakan Imlek. Apa boleh buat! I shall return!
            
Sekitar pukul sembilan malam, ketika pesawat melakukan pendekatan ke bandara Soekarno-Hatta, langit cerah membuat kami dapat melihat pendar-pendar kembang api yang meluncur ke angkasa di sekitar kawasan Kota.
            
Kiong hie kiong hie! Selamat Tahun Baru, Saudaraku. Semoga Tahun Tikus memberi jalan yang lebih baik bagi kita semua menuju kedamaian, kesehatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com