Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keharmonisan Melegenda di Kelenteng Tua

Kompas.com - 07/02/2008, 07:40 WIB

ADA yang istimewa dalam perayaan Tahun Baru Imlek di Kelenteng An Xu Da Bo Gong Miao di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Bukan meriahnya hiasan dan pernak-pernik, melainkan interaksi antar manusia yang hadir disana. Keharmonisan itu seakan-akan menjadi legenda hidup di kelenteng yang berusia hampir enam abad tersebut.

Keharmonisan di Kelenteng itu sangat terasa diantara warga etnis Tionghoa dengan masyarakat setempat. Setiap perayaan Imlek tiba, ribuan warga Tionghoa akan berduyun-duyun datang ke Kelenteng ini untuk memohon kesejahteraan hidup. Masyarakat pribumi pun datang untuk mendapatkan rejeki lebih yang hanya didapatkan setahun sekali. Ada yang dengan sukarela melibatkan diri untuk membersihkan Kelenteng. Ada yang berdagang, dan ada pula yang hanya menunggu sedekah.

Usia Kelenteng yang tua tampaknya tidak melunturkan semangat keharmonisan relasi antar warga China dengan masyarakat setempat yang diwariskan Laksamana Cheng Ho ketika ia membangun Kelenteng ini pada tahun 1425. Malahan, sekarang keharmonisan tersebut kian menjadi alasan bertahannya keberadaan Kelenteng itu di tengah hiruk pikuk pembangunan di Jakarta.

Menurut anggota dewan pengurus Kelenteng, Apriyanto, relasi antar warga Tionghoa dan masyarakat setempat telah berlangsung dengan akrab selama yang bisa dia ingat. “Sejak kecil, saya hidup membaur dengan masyarakat yang lain. Keadaan itu berlangsung turun temurun sejak jaman leluhur,” katanya.

Di sela-sela kesibukannya menerima warga yang berdatangan untuk memanjatkan doa dan persembahan Imlek, Apriyanto menambahkan bahwa keputusan mantan presiden Abdurahman Wahid untuk mengakui perayaan Imlek secara nasional secara signifikan mendorong tersebarnya keharmonisan tersebut. “Bagi kami, beliau adalah pahlawan. Karena keputusannya, kami tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi mempraktikkan keyakinan kami,” terang dia.

Menurut Apriyanto, keterbukaan akses informasi di jaman sekarang ini juga membantu menciptakan keharmonisan lintas masyarakat dan kepercayaan.  “Semenjak orang mulai terbuka terhadap wacana mengenai penduduk China dan sejarah Kelenteng ini, kami sesekali mendapat kunjungan umat Muslim yang datang untuk berziarah. Bahkan sesekali pada saat hari raya 1 Muharram, Idul Fitri dan hari Jumat, ada saja warga muslim yang datang untuk melakukan dzikir disini,” ujarnya.

Lebih lanjut, bagi bapak dua anak itu, Imlek tahun ini membawa harapan akan pencerahan dalam kehidupan manusia sehari-hari. “Saya berharap, di tahun ini semua orang mendapatkan pencerahan dalam ekonomi dan pekerjaannya, sehingga semakin sedikit orang frustrasi dan semakin banyak orang yang optimis,” katanya.

Sementara itu, pencerahan tersebut tampaknya sudah mulai memperlihatkan efeknya terhadap segelintir orang di Kelenteng bersejarah ini. Anton, 37, yang sehari-harinya sibuk bekerja sebagai buruh sebuah pabrik sepatu di Tangerang, sengaja “meliburkan diri” selama 2 minggu dari pekerjaan tetapnya demi mendapatkan uang belasan kali lipat dari yang biasa ia dapat per hari.

“Saya sengaja minta ijin dari tempat kerja, dengan alasan saudara saya menikah, supaya bisa aktif sebagai tenaga sukarela di sini. Maklum, di pabrik saya cuma bisa dapat Rp 25.000 per hari, padahal di sini paling sedikit bisa dapat Rp 200.000 per hari dari ang bao warga yang berkunjung,” katanya sembari membersihkan sisa-sisa dupa yang dibakar pengunjung.

Anton bersama dengan duapuluh-an orang lainnya dengan latar belakang berbeda sengaja merelakan diri tidak tidur selama 3 malam perayaan Imlek dan menahan perihnya asap lilin di mata demi “pencerahan” ini.

Hal serupa juga dirasakan dua bersaudara Hendra dan Hendri dari Tasikmalaya. Mereka, yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang cat rumah, memilih berjualan minuman selama 3 hari 3 malam berturut-turut demi upah Rp 300.000.

Sementara itu bagi para pengemis yang juga berbondong-bondong menjemput sedekah, keadaan belum juga berpihak pada mereka. Menurut seorang pemimpin kelompok yang enggan disebutkan namanya, pada Imlek tahun ini jumlah pengemis lebih banyak, sementara sedekah yang terkumpul lebih sedikit. “Malam ini ada sekitar 400-an orang, dewasa dan anak-anak datang dari semua penjuru Jakarta. Kami baru dapat Rp 710.000. Ini harus dibagi rata supaya tidak ribut,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com