Salin Artikel

Sejarah Taiwan, dari Kedatangan Bangsa Asing hingga Era Modern

KOMPAS.com – Taiwan yang juga dikenal dengan nama Formosa adalah sebuah pulau yang terletak di lepas pantai tenggara China, antara Laut China Selatan dan Laut China Timur.

Pada abad ke-16, diyakini bahwa pelaut Eropa yang melewati Taiwan mencatat nama pulau itu sebagai Ilha Formosa, atau pulau yang indah.

Setelah itu, Taiwan terus dikunjungi oleh sejumlah kecil pedagang, nelayan, dan bahkan bajak laut dari China daratan.

Imigrasi warga China ke Taiwan mulai pada abad ke-17. Pada abad ke-17 pula, atau tepatnya 1624, VOC mendirikan basis di Taiwan barat daya.

Di sana, VOC memulai transformasi dalam praktik produksi biji-bijian penduduk asli dan mempekerjakan pekerja China untuk bekerja di perkebunan padi dan gulanya.

Beberapa tahun setelah VOC mendirikan basis di Taiwan, penjelajah Spanyol ikut mendirikan pangkalan di Taiwan utara. Tetapi, digulingkan Belanda pada 1642.

Pada 1662, loyalis Dinasti Ming di bawah Zheng Cheng-gong, mengusir Belanda dari Taiwan dan membangun otoritas atas pulau itu.

Sekitar 20 tahun kemudian, pasukan Dinasti Qing berhasil menguasai wilayah pesisir barat dan utara Taiwan. Hampir dua abad kemudian, tepatnya pada 1885, Taiwan dinyatakan sebagai provinsi Dinasti Qing.

Pada 1894, pecahlah perang antara Dinasti Qing melawan Kekaisaran Jepang. Peperangan yang disebut Perang China-Jepang I itu berakhir pada 1895 dengan penandatanganan Perjanjian Shimonoseki.

Dalam perjanjian tersebut, Dinasti Qing di China daratan menyerahkan Taiwan dan Kepulauan Penghu ke Jepang.

Ketika berita tentang perjanjian itu sampai ke Taiwan, para pemimpin lokal di sana memproklamirkan Republik Taiwan, republik pertama di Asia.

Tetapi, masa hidup Republik Taiwan sangatlah singkat, hanya berlangsung sekitar 10 hari.

Kekuatan Barat menganggap perjanjian itu mengikat secara hukum, tetapi Dinasti Qing tidak beranggapan demikian. Mereka melihatnya sebagai perjanjian yang dipaksakan di bawah tekanan.

Pada akhir abad ke-19 Masehi, paham-paham nasionalisme dan demokrasi mulai masuk di kawasan Asia.

Hal tersebut menimbulkan beberapa pergolakan sosial dan politik di negara-negara Asia, termasuk China.

Muncul tokoh di China daratan yang masih dikuasai Dinasti Qing bernama Sun Yat Sen.

Dia memiliki sebuah ajaran bernama San Min Chu I (3 Asas Rakyat). Selain itu, Sun Yat Sen juga menginisasi berdirinya partai Kuomintang berhaluan nasionalis.

Ajaran San Min Chu I berisi nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Dalam ajarannya, Sun Yat Sen mencita-citakan terbentuknya Republik China yang diperintah dengan demokratis.

Akhirnya, revolusi China pecah pada 1911, dimulai dengan pemberontakan-pemberontakan oleh kaum revolusioner melawan pasukan Dinasti Qing.

Pada 10 Oktober 1911, Li Yuan Hung memimpin kaum revolusioner China untuk melakukan pertempuran di Kota Wuchang.

Pada 12 Oktober 1911, pasukan revolusioner mampu merebut dan menduduki 18 provinsi China.

Revolusi China berhasil menggulingkan Dinasti Qing pada Desember 1911 dan diprokamirkanlah Republik China.

Pada Januari 1912, Sun Yat Sen diangkat menjadi presiden sementara Republik China di Nanking oleh pasukan revolusioner.

Pada 12 Februari 1912, Dinasti Qing resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik China pada 12 Februari 1912.

Sun Yat Sen mengundurkan diri sebagai presiden sementara dan digantikan oleh Yuan Shih Kai pada 15 Februari 1912.

Pergolakan politik di China daratan tak berhenti sampai di situ, Partai Komunis China atau Kungchantang lahir pada 1921.

Setelah Kungchantang berdiri, Kuomintang memiliki saingan. Kedua partai ini saling bersaing dan berebut ideologi. Namun, kedua partai ini punya andil dalam membentuk China modern.

Sun Yat Sen wafat pada 1925 dan tongkat kepemimpinan Kuomintang diambil alih Jenderal Chiang Kai-Shek.

Sementara China daratan diwarnai pergolakan dan pertumpahan darah, Taiwan masih berada di bawah kekuasaan Jepang.

Pada 1937, Jepang menginvasi China dan pecahlah Perang China-Jepang II. Dua tahun kemudian, atau tepatnya 1939, Perang Dunia II pecah.

Selama Perang China-Jepang II, China secara efektif dibagi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah China nasionalis di bawah kendali pemerintah Republik China, wilayah China komunis di bawah Kungchantang, dan wilayah yang diduduki Jepang.

Kubu China nasionalis dan komunis pada dasarnya saling bermusuhan, meski pasukan militernya seolah-olah bersekutu di bawah panji Front Persatuan.

Selama Perang Dunia II, pada 1943, pemimpin Republik China Chiang Kai-shek bertemu dengan Presiden AS Franklin Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill di Kairo, Mesir.

Dalam pertemuan itu, tercetuslas Deklarasi Kairo yang menyatakan bahwa Formosa atau Taiwan dan Kepulauan Penghu akan dikembalikan ke Republik China.

Pada 1945, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman dan Jepang. Jepang menyerah dan menerima persyaratan penyerahan Deklarasi Potsdam pada 14 Agustus 1945.

Namun, berakhirnya Perang Dunia II dan menyerahnya Jepang rupanya tidak menandai berakhirnya konflik di China.

China justru terjerembab ke konflik baru hingga Perang Saudara China meletus segera setelah itu, melibatkan kubu nasionalis Kuomintang di bawah kepemimpinan Chiang Kai-shek dan kubu komunis Kungchantang dikomandoi Mao Zedong.

Dari Agustus 1945 hingga akhir 1946, kubu nasionalis dan komunis berlomba-lomba mengambil alih wilayah yang dikuasai Jepang, membangun kekuatan, dan melakukan banyak pertempuran terbatas sambil tetap melakukan negosiasi untuk penyelesaian damai.

Selama 1947 dan paruh pertama 1948, setelah kubu nasionalis berhasil di awal-awal, situasi justru berbalik mendukung kubu komunis.

Kubu Komunis akhirnya memenangi serangkaian kemenangan besar yang dimulai pada akhir 1948 yang mengarah pada berdirinya Republik Rakyat China.

Pada 1949, sekitar dua juta pendukung Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai-shek melarikan diri ke Taiwan.

Mereka mendirikan sebuah pemerintahan yang terpisah setelah kalah perang sipil menghadapi kubu komunis pimpinan Mao Zedong.

Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat China di China daratan.

Pengumuman tersebut sekaligus mengakhiri Perang Saudara China antara kubu komunis dan kubu nasionalis.

Setelah pendukung Kuomintang pergi dari China daratan ke Taiwan, Chiang Kai-shek akhirnya memerintah Taiwan dan mendeklarasikan darurat militer di sana.

Pada 25 Oktober 1971, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 2758 PBB yang mengakui Republik Rakyat China sebagai satu-satunya perwakilan sah China di badan global tersebut.

Taiwan lantas menarik diri dari PBB.

Pada 1972, lewat Kominke Bersama, AS mengakui pemerintahan China daratan yang dikuasai oleh Partai Komunis dan Taiwan adalah bagian dari China.

Chiang Kai-shek meninggal pada 1975 dan kepemimpin atas Taiwan diteruskan oleh putranya, Chiang Ching-kuo pada 1978.

Pada 1979, AS tetap menjalin hubungan dengan Taiwan melalui Undang-Undang Hubungan Taiwan.

Pada 1987, Chiang Ching-kuo mencabut status darurat militer yang telah berlaku selama 38 tahun, enam bulan sebelum kematiannya pada tahun berikutnya.

Lee Teng-hui, wakil Chiang Ching-kuo, menggantikannya pada 1988.

Pada 1991, pemerintahan darurat yang berlangsung selama 43 pun berakhir dan secara sepihak mengakhiri keadaan perang dengan China.

Lee Teng-hui lantas menjadi presiden pertama Taiwan yang terpilih secara demokratis pada 1996.

Lee Teng-hui lebih menekankan kondisi Taiwan sebagai kawasan kepulauan, bukan pada soal kemerdekaan yang membuat gusar China.

AS sempat mengirim di Armada Ketujuh setelah Beijing menembakkan rudal uji ke Selat Taiwan sebagaimana dilansir Antara.

Pada 2000, Chen Shui-bian dari Partai Demokratik Progresif (DPP) yang pro-kemerdekaan, terpilih sebagai presiden Taiwan, mengakhiri dominasi 51 tahun Kuomintang, sehingga hubungan dengan China menjadi lebih tegang.

Namun, serangkaian skandal korupsi yang melibatkan Chen Shui-bian, keluarganya, dan anggota senior DPP telah mencoreng citra partai.

Skandal tersebut menjadi penyebab utama kekalahannya pada pemilihan presiden Maret 2008.

Angin perubahan terjadi setelah Ma Ying-jeou dari Kuomintang meraih kemenangan telak dengan janji meningkatkan perekonomian, terutama melalui hubungan dagang yang lebih erat dengan China.

Hubungan antara Taiwan dan China membaik secara dramatis sejak Ma Ying-jeou menjabat presiden.

Sebagai dampaknya, penerbangan langsung antara kedua wilayah itu pun diluncurkan dan diikuti dengan langkah-langkah untuk meningkatkan sektor pariwisata.

Perjanjian Kerjasama Kerangka Ekonomi ditandatangani pada 2010 untuk mengurangi hambatan komersial.

Namun, sentimen publik justru berbalik melawan Kuomintang karena khawatir dengan semakin dominannya pengaruh China.

Pada musim semi 2014, sekitar 200 mahasiswa menduduki parlemen selama lebih dari tiga pekan yang dikenal sebagai Gerakan Bunga Matahari untuk menentang pakta perdagangan itu.

Kuomintang menderita kekalahan terburuk dalam pemilu lokal pada November 2014 dan terpaksa untuk mengganti calon presiden mereka pada Oktober 2015 akibat pandangan yang terlalu pro-China.

Hingga saat ini, China masih menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang menunggu reunifikasi, mengancam untuk menyerang jika Taiwan secara resmi menyatakan kemerdekaan.

Taiwan kehilangan keanggotaan PBB pada 1971 dan 16 kali upaya untuk bergabung kembali dengan organisasi dunia tersebut selalu diganjal oleh Beijing.

https://internasional.kompas.com/read/2021/11/26/120100970/sejarah-taiwan-dari-kedatangan-bangsa-asing-hingga-era-modern

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke