Salin Artikel

Kilas Balik, Kontroversi, dan Pelajaran dari Tragedi 9/11

SELASA, 11 September 2001, 08.45 waktu setempat, pesawat Boeing 767 milik American Airlines menabrak menara utara World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat.

Berselang 18 menit kemudian, Boeing 767 milik United Airlines bernomor penerbangan 175, membelah menara selatan WTC.

Menara kembar WTC runtuh. Tak bersisa. Hanya dalam 15 menit, WTC tak berbekas, selain reruntuhan, duka cita, serta orang-orang terluka dan terdampak akibat tragedi ini.

Saat mata dunia masih terperangah menyaksikan runtuhnya WTC setelah kedua pesawat menabraknya, Boeing 757 milik American Airlines tersuruk di sisi barat markas pertahanan Amerika Serikat, Pentagon, di Washington, pada pukul 09.45 waktu setempat.

Satu pesawat lagi nyaris menjadi peranti serangan lagi dari New Jersey, yaitu United Airlines bernomor penerbangan 93. Namun, penumpang sudah mendengar tragedi di New York dan Washington. Empat terduga pelaku mereka lawan.

Meski demikian, upaya menggagalkan aksi terorisme dari penerbangan ini berakhir dengan jatuhnya pesawat di Pennsylvania pada pukul 10.10 waktu setempat. Seluruh penumpang dan kru menjadi korban.

Hampir 3.000 orang meninggal dari seluruh rangkaian serangan ini, termasuk 19 nama yang disebut sebagai pelaku serangan. Korban terbanyak ada di area WTC. Warga asing dari 78 negara tercakup di dalamnya.

Jumlah yang terluka pun hampir sama banyaknya. Itu yang seketika terluka. Tragedi 9/11 juga mendapati orang-orang yang belakangan terserang kanker paru-paru dan terdeteksi ada di area WTC saat menara tersebut runtuh.

Tak hanya mengguncang Amerika Serikat, tragedi 20 tahun silam ini juga jadi awal gelombang "baru" perburuan teroris di seantero dunia. Indonesia, bukan perkecualian. Peristiwa tersebut memicu pula rentetan fenomena Islam phobia luar biasa.

Pelaku dan kontroversinya

Al Qaeda, kelompok dari Arab Saudi, dituding sebagai dalang dan pelaku serangan 11 September 2001. Serangannya disebut sebagai pembalasan bagi Israel, sahabat karib Amerika Serikat, dalam konteks Perang Teluk dan konflik TImur Tengah pada umumnya.

Ada 19 nama yang dinyatakan sebagai pelaku serangan di New York, Washington, dan Pennsylvania. Semuanya disebut ada di barisan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Hasil investigasi dari Komisi 9/11, sebutan untuk Komisi Nasional atas Serangan Teroris di Amerika Serikat yang dibentuk segera setelah tragedi 9 September 2001, menyebut Khalid Sheikh Mohammad sebagai dalang serangan.

Dalam laporan yang dilansir pada 22 Juli 2004 tersebut, Khalid disebut sebagai pemimpin operasi propaganda Al Qaeda periode 1999-2001. Khalid ditangkap pada 1 Maret 2003 oleh Badan Intelijen Amerika (CIA) dan Dinas Intelijen Pakistan (ISI).

Khalid kini mendekam di Guantanamo, penjara terkelam milik Amerika Serikat di kawasan Kuba. Pengadilan militer Amerika Serikat pada Agustus 2019 telah menetapkan jadwal persidangan Khalid akan dimulai pada 2021. Namun, sidang ini tertunda oleh wabah Covid-19.

Adapun Osama diklaim tewas dalam serbuan pasukan Amerika Serikat di Pakistan, pada 1 Mei 2011. Pengumuman soal ini langsung disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

Keraguan soal pelaku serangan tetaplah muncul, mempertanyakan versi resmi Amerika. Salah satunya dikupas Ivan A Hadar, dalam kolom opini di harian Kompas edisi 11 September 2002 berjudul Rahasia 11 September.

Ivan menyitir buku karya Andreas Broeckers, Verschwoe-rungen, Verschwoerrung-stheorien, und Geheimnisse des 11.9 (Konspirasi, Teori Konspirasi, dan Rahasia 11 September). Broeckers mengungkap sejumlah latar belakang sekaligus kejanggalan.

Osama, misalnya, dia sebut sebagai produk intelijen Amerika untuk melawan Uni Soviet, nama negara sebelum bubar dan kini menjadi Russia.

Lalu, Kepala ISI Jenderal Mahmud Ahmed yang punya kaitan erat dengan CIA, disebut menransfer 100.000 dollar AS ke Muhammad Atta, salah satu pilot dalam serangan ke WTC.

Belum lagi, lanjut Broeckers seperti dikutip Ivan, lima dari 19 nama yang dinyatakan sebagai pelaku serangan, didapati masih hidup setelah 11 September 2001.

Afghanistan yang terus bergejolak hingga kini, diungkap pula ada dalam peta pertanyaan tentang tragedi 11 September. Ini soal penguasaan gas alam yang luar biasa besar di sana.

Pada 11 September 2003, Ivan kembali menulis di harian Kompas, dengan judul Koalisi Kebenaran 11 September.

Kali ini dia mengungkap kisah orang-orang Amerika Serikat yang mempertanyakan kebijakan pemerintahannya sendiri, yaitu 9/11 Truth Alliance.

Yang menarik, tulis Ivan, motor gerakan tersebut justru keluarga dan kerabat sebagian korban jiwa dari tragedi 11 September 2001.

Dalam barisan pendukung mereka ada pula mantan anggota Kongres Amerika Serikat, jenderal purnawirawan, penulis berpengaruh, mahaguru kampus-kampus terkenal, dan kelompok perempuan di Amerika Serikat.

Mereka melihat terlalu banyak bolong dalam versi resmi yang diungkap pemerintahan Bush ke publik. Dukungan pun meluas hingga ke negara-negara lain.

Tragedi 11 September 2001, kata mereka seperti dikutip Ivan, telah menjadi alasan bagi Amerika Serikat dan banyak negara bertindak makin represif, tak jarang sambil melanggar konstitusinya sendiri, bahkan mengorbankan demokrasi.

Dampak 9/11

Tragedi 11 September 2001 adalah latar belakang sekaligus alasan pembentukan Homeland Security di Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden George W Bush. Susah mencari padanan nama yang tepat bagi institusi ini dalam bahasa Indonesia.

Intinya, segala informasi awal—apalagi insiden—yang diduga punya kaitan dengan teroris dan terorisme akan jadi urusan lembaga ini. Jangankan orang asing, orang Amerika pun sesak napas kalau sudah terseret urusan dengan Homeland Security.

Gagal dapat visa ke Amerika Serikat setelah wawancara di Kedutaan Besar Amerika Serikat gara-gara jenggot atau bentuk wajah dikenali sebagai ciri orang yang rentan menjadi teroris merupakan contoh paling sederhana kebijakan Amerika Serikat dengan Homeland Security.

Selain duka cita dan luka—baik fisik maupun jiwa—, dampak serangan 11 September 2001 bagi Amerika Serikat adalah keparnoan luar biasa terutama terhadap wajah dan identitas bernuansa Arab dan atau Islam. Paranoid dan fobia.

Pemerintah George W Bush juga langsung mendeklarasikan perang global melawan terorisme.

Dalam pernyataannya, Bush menyebut perang ini tidak hanya memburu Al Qaeda, tetapi siapa pun yang Amerika sebut sebagai teroris beserta penyokong dan pendukungnya.

Salah satu bentuk yang kasat mata adalah penggulingan Taliban di Afghanistan dalam tempo dua bulan sejak dimulai pada 7 Oktober 2001. Taliban dinyatakan sebagai organisasi yang berada dalam naungan baiat Al Qaeda.

Tajuk Rencana harian Kompas edisi 11 September 2002—berjudul Sebelas September yang Mengguncang Dunia—pun menyebut perang global baru telah dimulai sejak serangan 11 September 2001 itu. Lawannya, teroris dan terorisme.

Di Indonesia, perang melawan teroris dan terorisme ini pun turut mencuat, terlebih lagi setelah pembentukan Densus 88 pada 20 Juni 2003, sebagai pelaksanaan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Seperti Homeland Security, Densus 88 dapat melakukan penangkapan "hanya" berbekal informasi awal intelijen tentang gelagat keberadaan teroris dan rencana terorisme.

Meski mayoritas negara di dunia mendukung bahkan ambil peran dalam perang global melawan terorisme yang diinisiasi Amerika Serikat, sebuah perspektif menggelitik mencuat pula dari sudut lain, dikemas dalam rupa film.

Adalah film 11'09''01 - September 11 yang memotret pada detik tragedi di Amerika Serikat itu terjadi ada banyak peristiwa lain yang juga terjadi dan dianggap penting pula oleh orang-orang yang terlibat.

Mendiang Arief Budiman, dalam tulisan berjudul  Film11 September yang tayang di harian Kompas edisi 1 Desember 2002 berpendapat, film ini seolah bertanya, apakah bila serangan itu terjadi di Bosnia atau Afghanistan maka kehebohan yang terjadi akan sama?

Di ujung artikelnya itu, Arief menulis, ada yang mengatakan bahwa film ini anti-Amerika. Film-film ini, kata dia, sepertinya minta Amerika Serikat AS melakukan introspeksi.

Dia pun mengutip sebuah anekdot, yang lengkapnya seperti di tulisan tersebut adalah sebagai berikut:

Setelah peristiwa 11 September, Presiden Bush sibuk berpidato bagaimana negara-negara ”poros setan” sedang menyerang AS. Mereka membenci AS yang demokratis dan rakyatnya beragama.

Tiba-tiba seorang anak kecil bertanya kepada bapaknya: ”Ayah, apa sih yang kita lakukan kepada orang lain sehingga bangsa-bangsa lain membenci kita?”

Pelajaran dari 11 September

Tragedi 11 September 2001 tetaplah sebuah peristiwa yang mengguncang kemanusiaan. Siapa pun dalang dan apa pun kepentingan sesungguhnya di balik runtuhnya WTC dan peristiwa-peristiwa yang membersamainya itu juga tetap noda bagi nilai kemanusiaan.

Namun, dampak ikutan berupa paranoia dan fobia yang meluas atas nama kesakitan dan duka cita akibat tragedi ini pun tidaklah patut menjadi lingkaran setan tiada usai.

Replikasi kebencian terhadap sesuatu yang asing dan tidak dipahami bukanlah sikap dari sebuah peradaban yang patut dibanggakan.

Bila serangan Jepang ke Pearl Harbor pada 1941 disikapi rakyat Amerika Serikat dengan perlawanan total dan itu terbukti mengakhiri Perang Dunia II, bukan berarti serta-merta pula segala kebijakan Amerika Serikat sebagai respons atas peristiwa 11 September 2001 merupakan "kitab suci" bagi semua kalangan dalam menjalani kehidupan.

Bias selalu ada. Latar belakang tak selalu terungkap seutuhnya. Kepentingan-kepentingan tak kasat mata atas nama kuasa—berupa jabatan atau penguasaan ekonomi—bukan pula omong kosong, yang sering kali menjadikan orang lain semata bidak tak berharga.

Terlebih lagi, ada nilai-nilai yang jauh lebih berharga lagi dari 11 September yang patut dikenang dengan lebih baik dan mendalam. Nilai kemanusiaan.

Pada hari itu, siapa pun yang ada di situ turun tangan, menyelamatkan siapa pun yang bisa diselamatkan dalam jangkauan. Pada hari itu, siapa pun yang melihat tragedi tersebut mengutuk aksi yang dalam satu waktu singkat telah merenggut ribuan nyawa, melebihi tragedi dalam sebuah perang terbuka.

Obama, yang pada pemerintahannya memutuskan memulai penarikan pasukan Amerika Serikat di Afghanistan, pada 2011 pun meminta rakyatnya untuk tak berkubang dalam perspektif gelap atas tragedi 11 September 2001.

Dimuat di harian Kompas edisi 13 September 2011, Obama mengatakan, "Kita melihat ada satu hal yang harus tetap diingat karena tidak akan pernah berubah, yaitu karakter kita sebagai sebuah bangsa."

Obama pun sebelumnya menyebut, kita pernah melewati perang, resesi, serta debat sengit dan perpecahan politik. Kita juga tidak akan pernah bisa mengembalikan para korban yang terengut dalam tragedi 11 September 2001.

Karakter bangsa yang dia maksud, ujar Obama, mencakup keyakinan terhadap Amerika bahwa setiap pria dan wanita harus memimpin dirinya sendiri, serta ide tentang setiap orang harus diperlakukan setara dan memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri.

"Semua keyakinan itu semakin menguat setelah melalui banyak percobaan,” ujar Obama.

Bukankah yang seperti ini lebih patut pula untuk turut diiyakan, bila memang harus banget merujuk pada apa kata Pemerintah Amerika Serikat atau tren yang sedang terjadi di sana?

Tabik.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Catatan:

Naskah utuh dari artikel harian Kompas yang dikutip di tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data. 

https://internasional.kompas.com/read/2021/09/11/223813470/kilas-balik-kontroversi-dan-pelajaran-dari-tragedi-9-11

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke