Salin Artikel

Apa yang Akan Terjadi Setelah Taliban Berkuasa Kembali?

Sampai kemudian terjadi tragedi Pearl Harbor, serangan udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang sulit untuk dipercaya.

Serangan mendadak yang “unbelievable” ke pangkalan armada laut Amerika Serikat, 7 Desember 1941 di Pasifik itu disebut oleh Presiden FD Roosevelt sebagai the “Day of Infamy”.

Terkejut dan marah besar dengan Pearl Harbor membuat Amerika Serikat membangun kekuatan perang yang tidak tanggung-tanggung.

Craig Nelson dalam buku nya menyebut Pearl Harbor from infamy to greatness !. Membangun Angkatan Perang yang kuat dengan persenjataan ampuh berkemampuan pemusnah masal.

Membuat bom atom yang langsung menghentikan perang dunia dengan menjatuhkannya di Hiroshima dan Nagasaki.

Angkatan Perang dikembangkan menjadi kekuatan yang mendunia dengan jargon terkenal “Global Vigilance, Global Reach and Global Power”.

Perkembangan yang menembus rentang perang dingin 4o tahun menampilkan kekuatan perang yang “super power” dan tampil sebagai polisi dunia.

Petualangan Amerika tidak ada yang mampu menghambat berkembang sebagai kekuatan perang yang seolah menundukkan semua negara.

Setelah tidak ada yang mampu tampil untuk menandinginya, Amerika lupa bahwa ternyata musuh-musuhnya telah berubah wujud.

Musuh Amerika tidak lagi berwujud negara, akan tetapi berubah bentuk, berwujud kelompok-kelompok “radikal bebas” yang terpencar di mana-mana.

Tidak hanya terpencar ke mana-mana, akan tetapi kelompok tersebut dalam menggalang kekuatan dan dana menggunakan bendera agama Islam.

Mereka menebar terror di mana-mana. Kekuatan Amerika Serikat menghadapi kesulitan besar menghadapinya, karena tidak bisa lagi menghancurkan musuh dengan senjata pemusnah masal seperti di Hiroshima dan Nagasaki.

Kesulitan ini mencapai puncaknya pada peristiwa tragedi 9/11 di tahun 2001. Setelah dipermalukan di Pearl Harbor yang jelas jelas musuh datang dari luar negaranya, maka 9/11 mempermalukan martabat Amerika oleh musuh yang justru muncul dari dalam negerinya sendiri.

Kesulitan membalas dendam membuat Amerika menyerang Irak dan Afghanistan, lokasi yang diperkirakan telah menjadi sarang markas besar para teroris.

Sejak tahun 1941, pasca Pearl Harbor sampai dengan tahun 2000 Amerika membangun kekuatan super besar, keluar rumah untuk menaklukkan siapa saja yang berani mengganggu, dan tahun 2001 datang gangguan yang sangat mencemarkan dengan realita memalukan karena musuh muncul di rumah sendiri.

Amerika disadarkan dengan sebuah kenyataan pahit, bahwa ternyata tidak cukup membangun dan memiliki kekuatan yang Global Reach, Global Power untuk mengejar Global Peace dan Global Security.

Peristiwa 9/11 menyadarkan Amerika Serikat bahwa keamanan dalam negeri justru harus mendapatkan perhatian sama besar terhadap upaya meraih global reach dan global power.

Untuk pertama kali dalam sejarah Amerika, negara besar itu dipaksa untuk membangun institusi baru yang bernama Department of Homeland Security.

Sebuah refleksi dari kesadaran yang terlambat terhadap perhatian kepada faktor keamanan dalam negeri, dalam menghadapi ancaman yang datang dari negeri sendiri.

Dalam perkembangan selanjutnya, Amerika Serikat seolah disadarkan bahwa menempatkan demikian banyak pasukan perang di luar negeri adalah sesuatu yang tidak perlu dan cenderung merugikan secara finansial.

Maka ditariklah secara bertahap pasukan Amerika yang bertugas di luar negeri, termasuk di Irak dan Afghanistan.

Terakhir realita baru muncul di permukaan. Ketika pasukan Amerika Serikat yang ditarik mundur dari Afghanistan belum selesai, Taliban sudah tampil mengambil alih kekuasaan setelah 20 tahun tersingkir ke pedalaman.

Pada titik ini, Amerika menjadi “pusing tujuh keliling”, saat batas waktu terakhir tanggal 31 Agustus untuk menarik seluruh personil militernya ternyata tidak cukup memberi kesempatan warga Amerika di Afghanistan untuk meninggalkan negeri itu.

Yang pasti Amerika tidak mungkin membiarkan warganya tertinggal di Afghanistan tanpa upaya memulangkannya dengan aman.

Untuk itu semua apalagi kalau bukan personil militer yang harus ditugaskan (kembali) untuk bertugas mengamankan prosesi keberangkatan warga Amerika dari Afghanistan.

Jauh sebelum itu, sebenarnya Jenderal McChrystal, panglima pasukan sekutu di Afghanistan sudah mengisyaratkan tentang perlunya menambah jumlah pasukan apabila ingin sukses dalam misinya.

Seperti diketahui, sang jenderal kemudian dimutasi tidak berapa lama setelah wawancaranya di majalah The Rolling Stone dipandang sebagai “kritikan” terhadap kebijakan Gedung Putih.

Kini tinggal Afghanistan yang tengah berhadapan dengan persoalan besar dalam menyongsong era rezim baru Taliban yang “memenangkan perang” panjang 20 tahun.

Terlihat kelompok Taliban sendiri tidak mudah dalam melakukan konsolidasi ke dalam pada proses pembentukan pemerintahan baru.

Walaupun kembalinya Taliban tidak menghadapi perlawanan yang berarti, akan tetapi proses menyusun ulang sebuah administrasi pemerintahan yang baru tidak akan semudah menumbangkan sebuah rezim.

Pertanyaan besar adalah, akan ke mana kebijakan pengelolaan kekuatan militer Amerika Serikat (yang berstatus Global Reach Global Power) setelah Afghanistan.

https://internasional.kompas.com/read/2021/09/04/093055970/apa-yang-akan-terjadi-setelah-taliban-berkuasa-kembali

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke