Salin Artikel

Seppuku, Ritual Bunuh Diri Para Samurai Jepang dari Abad Ke-12

KOMPAS.com - Pada abad ke-12, samurai Jepang yang ingin menghindari kekalahan perang yang memalukan, membayar kesalahannya, dan untuk mengembalikam kehormatannya, mereka melakukan ritual bunuh diri atau dikenal sebagai seppuku.

Dalam budaya Jepang, seppuku dikenal sebagai ritual bunuh diri atau jalan kematian yang terhormat bagi samurai.

Seppuku juga disebut Harakiri. Keduanya memiliki arti yang persis sama dalam bahasa Jepang.

Harakiri berarti memotong perut dalam bahasa Jepang, di mana "hara" mengacu pada perut dan "kiri" mengacu pada pemotongan.

Namun, orang Jepang hampir tidak pernah menggunakan kata harakiri dan lebih menyebutnya dengan istilah seppuku, seperti yang dilansir dari mai-ko.com.

Pembeda seppuku dan harakiri

Istilah Harakiri biasa dipakai oleh Barat dan pertama kali disebutkan dalam literatur Barat pada 1846 yang menggarisbawahi tindakan pengorbanan diri.

Sementara itu, istilah seppuku pertama kali masuk dalam literatur Barat pada 1882 dalam sebuah teks yang mengacu pada hukuman bagi penjahat.

Harakiri terkadang mengacu pada pengorbanan diri tanpa kehadiran orang lain, dianggap hanya mengacu pada tindakan memotong perut, tidak memiliki aturan jelas.

Sementara, seppuku menggambarkan adanya ritual atau prosedur tradisional dalam tindakan bunuh diri memotong perut dengan melibatkan kehadiran orang lain.

Seppuku sering dikaitkan dengan hukuman mati bagi samurai pada periode setelah 1600-an, tetapi tidak dengan harakiri.

Ritual seppuku

Tradisi seppuku berasal dari abad ke-12, sebagai sarana bagi kelas atas dan kelas samurai menebus kejahatan, mendapatkan kembali kehormatan yang hilang, atau menghindari penangkapan memalukan oleh musuh dalam perang.

Ketika ritualnya dilakukan dengan benar, seppuku dianggap sebagai cara paling mulia bagi seorang samurai untuk mati, dan menurut laporan saksi sejarah bahwa ritual bunuh diri ini mungkin yang paling menyakitkan.

Hanya samurai atau kelas atas yang bisa melakukan ritual bunuh diri kuno ini, rakyat jelata mungkin bisa saja melakukannya, tetapi tindakannya dianggap tidak memiliki nilai.

Melansir History Hit, disebutkan ada dua bentuk seppuku, yaitu versi medan perang dan versi formal.

Dalam medan perang, samurai menusuk perut dengan pisau pendek hingga perutnya terbelah. Setelah itu, biasanya pelayan atau teman dari samurai ditugaskan untuk memenggal kepalanya, orang tersebut dijuluki "kaishakunin".

Secara formal, ritual seppuku dimulai dengan samurai itu mandi dahulu, kemudian menggunakan kimono putih. Setelah itu, ia akan disuguhkan makanan favoritnya dan sebuah pisau yang ditempatkan di piring.

Selesai makan, samurai akan menulis puisi kematian yang mengungkapkan kata-kata terakhirnya, sebelum menusuk perutnya dengan pisau yang disediakan.

Setelah itu, kaishakunin dengan cara tertentu memenggal kepalanya agar jatuh pada pelukan sang samurai.

Melansir Thought Co, bentuk seppuku yang paling umum adalah memotong perut secara horizontal oleh samurai itu sendiri. Setelah itu, kaishakunin akan memenggal kepalanya.

Versi yang lebih menyakitkan, disebut "jumonji giri", yang memotong perut dalam bentuk horizontal dan vertikal.

Pelaku "jumonji giri" kemudian menunggu dengan tenang hingga ia kehabisan darah. Disebutkan bahwa jumonji giri adalah salah satu cara mati yang paling menyakitkan.

Melansir Geisha World, dalam ritual seppuku alat yang digunakan samurai untuk memotong perutnya tidak hanya pisau (tanto), tetapi bisa juga pedang panjang (tachhi) atau pedang pendek (wakizashi).

Jika tidak ada kaishakunin, samurai akan mencabut pisau dari perutnya, kemudian menusuk tenggorokannya atau dengan menjatuhkan diri dengan pisau ditusukkan di jantungnya.

Bunuh diri wanita

Ritual bunuh diri tidak hanya dilakukan oleh pria, tetapi juga wanita. Ritualnya dikenal sebagai "jigaki", yaitu bunuh diri dilakukan oleh istri samurai yang telah melakukan seppuku atau membawa aib.

Beberapa wanita dari keluarga samurai melakukan bunuh diri dengan memotong arteri leher satu kali, menggunakan pisau jenis tanto atau kaiken.

Tujuan utamanya adalah untuk mencapai kematian yang cepat dan pasti untuk menghindari penangkapan musuh. Wanita dengan hati-hati diajarkan jigaki sejak anak-anak.

Sebelum bunuh diri, seorang wanita sering mengikat kedua lututnya, sehingga tubuhnya akan ditemukan dalam posisi yang bermartabat.

Jigaki demi kehormatan yang diharapkan dari istri samurai juga sering ditampilkan dalam literatur dan film Jepang, seperti dalam "Humanity and Paper Balloons" dan "Rashomon".

Garis sejarah seppuku

Seppuku pertama kali dilakukan oleh Minamoto no Yorimasa saat Pertempuran Uji pada 1180.

Sejak saat itu, seppuku menjadi bagian penting dari bushido atau kode prajurit samurai.

Para samurai zaman dahulu yang tengah berperang biasa melakukan seppuku saat posisinya telah tersudut oleh musuh.  

Tradisi bunuh diri kuno itu dilakukan untuk menghindari dirinya jatuh di tangan mereka, mengurangi rasa malu, dan menghindari kemungkinan siksaan dari musuh, jika tertangkap.

Samurai juga bisa diperintahkan oleh daimyo (tuan tanah feodal) mereka untuk melaksanakan seppuku. Terkadang seppuku itu dilakukan samurai atau daimyo atas dasar kesepakatan damai mereka.

Diyakini kesepakatan damai dengan jalan seppuku itu akan melemahkan klan yang kalah secara efektif, sehingga perlawanannya akan berhenti.

Samurai ternama dalam sejarah penyatuan Jepang, Toyotomi Hideyoshi menggunakan kesepakatan seppuku musuh dalam beberapa pertempuran.

Pada abad ke-12 dan ke-13, seperti pada seppuku Miyamoto no Yorimasa, praktik kaishakunin belum muncul, sehingga ritual itu dianggap jauh lebih menyakitkan.

Pada abad ke-19 atau disebut juga Zaman Edo (1600-1867), pelaksanaan seppuku melibatkan ritual yang terperinci.

Biasanya juga dilakukan di depan penonton jika itu adalah seppuku yang direncanakan, bukan di medan perang.

Dalam sejarahnya, disebutkan pula bahwa ritual seppuku dapat melibatkan pihak lawan. 

Jika seorang samurai pejuang yang kalah telah bertarung dengan terhormat dan baik, lawan yang ingin memberi hormat atas keberaniannya akan secara sukarela melakukan kaishaku.

Yamamoto Tsunetomo, seorang penulis "Hagakure" mengatakan, "Sejak berabad-abad yang lalu telah dianggap sebagai pertanda buruk oleh samurai untuk diminta melakukan kaishaku."

Kaishaku adalah peran yang dilakukan oleh kaishakunin, yaitu memenggal kepala samurai yang melakukan seppuku.

"Alasan untuk ini adalah bahwa seseorang tidak akan memperoleh ketenaran, bahkan jika pekerjaannya dilakukan dengan baik. Sementara, jika seseorang melakukan kesalahan, itu menjadi aib seumur hidup," kata Tsunetomo, seperti yang dilansir dari Geisha World.

https://internasional.kompas.com/read/2021/08/13/131557370/seppuku-ritual-bunuh-diri-para-samurai-jepang-dari-abad-ke-12

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke