Salin Artikel

Jenderal Hitoshi Imamura: Pemimpin Penjajahan Jepang di Indonesia

KOMPAS.com - Hitoshi Imamura adalah seorang jenderal di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada massa Perang Dunia II dan memimpin penjajahan di Indonesia atau yang dahulu disebut Hindia Belanda.

Imamura yang lahir pada 28 Juni 1886, berasal dari kota Sendai, prefektur Miyagi dan anak dari seorang hakim.

Menurut catatan biografinya yang dilansir dari military.wikia.org, Imamura lulus dari Akademi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada 1907 dan ditugaskan sebagai letnan dua di infanteri pada 26 Desember pada tahun itu.

Pada 1917, ia diangkat menjadi kapten dan dikirim ke Inggris. Pada April 1927, ia diangkat sebagai atase militer untuk British India dan dipromosikan menjadi kolonel pada 1 Agustus 1930.

Pada Maret 1938, Imamura mendapatkan pangkat letnan jenderal atas komando Divisi 5 IJA, yang berbasis di China hingga awal Perang China-Jepang II pada 1940.

Dari 1940-1941, ia adalah Wakil Inspektur Jenderal Pelatihan Militer, salah satu pejabat paling kuat di Angkatan Darat Jepang (IJA).

Imamura di angkat menjadi Panglima Angkatan Darat ke-16 di Jawa pada November 1941, dan memimpin Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menjajah Hindia Belanda selama periode 1941-1942.

Pertempuran Selat Sunda

Pada 28 Februari 1942, Jenderal Imamura bersama pasukan Angkatan Darat ke-16 IJA melangsungkan konvoi dengan 50 armada kapal melalui Selat Sunda.

Di saat yang sama, kapal penjelajah Amerika (USS Houston) dan Australia (HMAS Perth) melintas Selat Sunda, setelah bertempur dengan Jepang di Laut Jawa.

Mereka mundur ke Tanjuk Priok yang tiba pada 28 Februari sekitar pukul 13.30. Namun kemudian, menerima perintah untuk berlayar melalui Selat Sunda ke Cilacap.

Kapal perusak Belanda HNLMS Evertsen yang hendak mengawal disebutkan tidak siap, sehingga menunda keberangkatan dari Tanjung Priok.

USS Houston dan HMAS Perth berangkat sekitar pukul 19.00, disusul HNLMS Evertsen 1 jam kemudian.

Kapten HMAS Perth Hector Waller saat itu hanya memprediksi akan bertemu dengan kapal Australia yang sedang berpatroli di dalam dan sekitar Selat Sunda. Tidak terpikir olehnya akan bertemu pasukan Jepang.

Sekitar pukul 22.00 pasukan sekutu Barat bertemu dengan Jepang dan terjadilah perang saling lempar torpedo, yang mana sisi pasukan Barat kalah jumlah.

Angkatan Darat pasukan Jenderal Imamura dikawal oleh kapal perusak flotilla ke-5 yang dipimpin oleh Laksamana Muda Kenzaburo Hara dan divisi kapal penjelajah ke-7 yang dipimpin Wakil Laksamana Takeo Kurita.

Dalam pertempuran sengit itu, 2 kapal angkut dan kapal penyapu ranjau Jepang tenggelam. Salah satu kapal angkut "Ryujo Maru" yang tenggelam adalah kapal yang ditumpangi Jenderal Imamura.

Saat kapalnya karam, Jenderal Imamura menyelamatkan diri dengan lompat ke laut. Sebuah perahu menyelamatkannya ke darat.

Akibat pertempurn Selat Sunda, 696 orang di kapal USS Houston tewas, sementara 368 lainnya selamat. Pihak HMAS Perth kehilangan nyawa 375 orang dengan 307 lainnya selamat.

Di pihak Jepang, kapten kedua kapal penjelajah tewas. Di kapal penjelajah Mikuma 6 orang tewas, 11 orang teluka.

Di kapal perusak Shirayuki, 1 orang awak tewas, 11 orang terluka. Sedangkan di kapal Harukaze, 3 orang tewas dan lebih dari 15 orang terluka, menurut catatan military.wikia.org.

Perjanjian Kalijati

Sebulan setelah pertempuran Selat Sunda, pada 8 Maret 1942 terjadi peyerahan kekuasaan atas Hindia Belanda dari penjajah Belanda kepada penjajah Jepang di Kalijati, yang diwakili oleh Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tentara Kerajaan Hindia Belanda dan Jenderal Hitoshi Imamura, Panglima Tentara Kekaisaran Jepang.

Perjanjian Kalijati menandai kekalahan dari satu kekuatan kolonial dan transfer kekuasaan total tanpa syarat oleh Belanda kepada Jepang.

Mengutip Medium.com, para analis dan profesional pertahanan mengungkapkan bahwa hanya dalam rentang waktu 60 hari Jepang mampu merebut Hindia Belanda, mencerminkan strategi militer yang sengit.

Kecepatan serangan Jepang dalam penjajahan di Hindia Belanda didukung oleh pengalaman satu dekdae sebelumnya dalam perang modern di China, Korea, dan Manchuria, mengejutkan pihak Belanda.

Kalijati menjadi pintu masuk bagi Jepang karena adanya landasan udara. Mengutip berita Kompas.com sebelumnya, Kalijati adalah lokasi terakhir Belanda melakukan serangan terhadap Jepang.

Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letjen Ter Poortern memerintahkan Komandan Perthanan di Bandung, Mayor Jenderal (mayjen) JJ Pesman, untuk tidak melakukan pertempuran di Bandung.

Ter Poortern mempertimbangkan Bandung yang sudah dipadati penduduk sipil, baik wanita maupun anak-anak. Jika pertempuran terjadi, anak banyak korban sipil berjatuhan.

Sore hari pada 7 Maret 1942, Lembang jatuh ke tangah Jepang. Jepang berhasil memaksa pasukan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) di bawah komando Letjen Ter Poorten melakukan gencatan senjata.

Mayjen JJ Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk melakukan perundingan. Kolonel Shoji meminta agar perundingan dapat dilakukan di Gedung Isola (sekarang Gedung Rektorat UPI).

Sementara, Jenderal Imamura yang dihubungi Kolonel Shoji memerintahkan agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkendborgh Stachouwer untuk mengadakan peruningan di Kalijati, Subang pada pagi hari 8 Maret 1942.

Letjen Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal Tjarda untuk menolak usulan itu.

Mendengar penolakan itu, Jenderal Imamura mengeluarkan ultimatum.

Bila pada pagi hari 8 Maret 1942 pukul 10.00 para petinggi Belanda belum juga berada di Kalijati, maka Bandung akan dibom sampai hancur.

Jepang membuktikan ancaman itu bukan sekedar gertakan dengan menyiagakan sejumlah besar pesawat pengebom di Pangkalan Udara Kalijati.

Hukuman penjara

Setelah kalah dalam Perang Pasifik, ditambah peristiwa bom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mulai menyerahkan kekuasaannya di wilayah yang diduduki.

Pada September 1945, Jenderal Imamura menyerahkan pasukan Jepang yang berada di Nugini dan Kepulauan Pasifik selatan kepada pasukan Australia, yang mewakili sekutu.

Imamura ditahan di Rabaul oleh Angkatan Darat Australia, karena ia dan pasukan di bawah komandonya dituduh melakukan kejahatan perang, termasuk mengeksekusi tawanan perang Sekutu.

Pada April 1946, Imamura meneulis surat kepad akomandan Australia di Rabaul, meminta untuk pengadilan atas dirinya dapat dipercepat saja.

Imamura didakwa "melawan hukum (mengabaikan dan gagal) dalam melaksanakan tugasnya...mengontrol anggota komandonya, di mana mereka melakukan kekejaman brutal dan kejahatan tingkat tinggi lainnya..."

Ia terbukti bersalah dalam pengadilan militer Australia di Rabaul pada 1-16 Mei 1947 dan dijatuhi hukuman penjara 10 tahun.

Sang Jenderal menjalani hukuman penjara di Penjara Sugamo di Tokyo sampai dibebaskan pada 1954. Ia tewas pada 4 Oktober 1968 di usia 82 tahun.

https://internasional.kompas.com/read/2021/08/07/115146570/jenderal-hitoshi-imamura-pemimpin-penjajahan-jepang-di-indonesia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke