Salin Artikel

Masjid Al-Aqsa, Titik Pertikaian Panjang Palestina-Israel

Awalnya, bangunan ini dibangun sebagai rumah doa kecil. Tetapi pada 705 dibangun kembali dan dibuat lebih besar oleh khalifah Umayyah Abd al-Malik dan putranya al-Walid.

Gempa bumi benar-benar menghancurkan masjid pada 746 dan lagi pada 1033, dan setiap kali masjid dibangun kembali.

Berbagai dinasti yang berkuasa di Kekhalifahan Islam membangun tambahan pada masjid dan area sekitarnya, termasuk kubah, mimbar, menara masjid, dan bagian dalam masjid yang terkenal.

Selama Perang Salib, Yerusalem direbut pada 1099 dan Masjid Al-Aqsa digunakan sebagai unit istana. Lalu direbut kembali oleh Saladin, sultan pertama Mesir dan Suriah, pada 1187.

Masjid tersebut terus mengalami renovasi dan penambahan atas perintah pemerintah dinasti Ayyubiyah (Muslim-Kurdi), Mamluk Sultanate (mencakup Mesir, Levant dan Hijaz), kekaisaran Ottoman, Dewan Muslim Tertinggi, dan Yordania.

Berikut adalah rincian mengapa kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem menjadi titik pertikaian yang konstan dalam konflik Palestina-Israel.

1. Mengapa Al-Aqsa begitu penting

Oleh umat Muslim tempat itu disebut sebagai al-Haram al-Sharif, atau Tempat Suci, dan sebagai Temple Mount oleh orang Yahudi.

Kompleks ini terletak di Kota Tua Yerusalem, yang telah ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia oleh badan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNESCO, dan penting bagi tiga agama Abrahamik.

Situs tersebut telah menjadi bagian wilayah yang paling diperebutkan di Tanah Suci, sejak Israel menduduki Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua, pada 1967, bersama dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Namun, konflik tersebut dimulai lebih jauh, sebelum adanya negara Israel.

Pada 1947, PBB membuat rencana partisi. Tujuannya untuk memisahkan sejarah Palestina, yang kemudian di bawah kendali Inggris, menjadi dua negara.

Satu untuk orang Yahudi, terutama dari Eropa, dan satu untuk Palestina. Negara Yahudi diberi 55 persen tanah, dan 45 persen sisanya untuk negara Palestina.

Yerusalem, yang menampung kompleks Al-Aqsa, merupakan milik komunitas internasional di bawah administrasi PBB. Situs itu diberikan status khusus karena nilai pentingnya bagi tiga agama.

Perang Arab-Israel pertama pecah pada 1948 setelah Israel mendeklarasikan kenegaraan, menguasai sekitar 78 persen tanah. Sementara sisanya wilayah Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza berada di bawah kendali Mesir dan Yordania.

Perambahan Israel di atas tanah tersebut semakin intensif pada 1967. Setelah perang Arab-Israel kedua, Israel menduduki Yerusalem Timur, dan akhirnya secara ilegal mencaplok Yerusalem, termasuk Kota Tua dan Al-Aqsa.

Kontrol ilegal Israel atas Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua, melanggar beberapa prinsip hukum internasional. Pasalnya ditentukan bahwa kekuatan pendudukan tidak memiliki kedaulatan di wilayah yang didudukinya.

Selama bertahun-tahun, pemerintah Israel mengambil langkah lebih lanjut untuk mengendalikan Kota Tua dan Yerusalem Timur secara keseluruhan.

Pada 1980, Israel mengeluarkan undang-undang yang menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang "lengkap dan bersatu." Hal ini semula dinilai melanggar hukum internasional. 

Tidak ada negara di dunia yang mengakui kepemilikan Israel atas Yerusalem atau upayanya untuk mengubah susunan geografi dan demografis kota, sampai perubahan dilakukan oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump pada 2018.

Warga Palestina di Yerusalem, yang berjumlah sekitar 400.000, hanya memiliki status kependudukan permanen. Meski lahir di sana, mereka tidak memiliki status kewarganegaraan di sana, berbeda dengan orang Yahudi yang lahir di kota tersebut.

Dan, sejak 1967, Israel memulai deportasi diam-diam atas warga Palestina. Caranya dengan, memberlakukan persyaratan sulit bagi mereka untuk mempertahankan status tempat tinggal di kota itu.

Israel juga telah membangun setidaknya 12 permukiman ilegal khusus Yahudi yang dibentengi di Yerusalem Timur.

Sekitar 200.000 warga Israel ditampung di sana. Pemerintah Israel juga menolak izin bangunan Palestina dan menghancurkan rumah mereka, sebagai hukuman karena membangun secara ilegal.

2. Signifikansi religius situs tersebut

Bagi umat Islam, tempat itu merupakan situs tersuci ketiga umat Islam, Masjid Al-Aqsa, dan Kubah Batu. Bangunan abad ketujuh tersebut diyakini sebagai tempat Nabi Muhammad naik ke surga.

Orang-orang Yahudi percaya bahwa kompleks itu adalah tempat kuil-kuil Yahudi yang Alkitabiah.

Tetapi hukum Yahudi dan Rabbinate Israel melarang orang Yahudi memasuki kompleks dan berdoa di sana, karena dianggap terlalu suci untuk diinjak.

Tembok Barat kompleks itu, yang dikenal sebagai Tembok Ratapan bagi orang Yahudi, diyakini sebagai sisa terakhir dari Kuil Kedua.

Sementara umat Islam menyebutnya sebagai Tembok al-Buraq, dan percaya bahwa di situlah Nabi Muhammad mengikat al-Buraq, binatang yang digunakan untuk naik ke langit dan berbicara kepada Tuhan.

3. Status quo situs

Sejak 1967, Yordania dan Israel sepakat bahwa kepercayaan Islam, akan memiliki kendali atas urusan di dalam kompleks. Sementara Israel akan mengontrol keamanan eksternal.

Non-Muslim akan diizinkan masuk ke situs selama jam kunjungan, tetapi tidak diizinkan untuk beribadah di sana.

Tetapi gerakan Kuil Yahudi yang meningkat, seperti Temple Mount Faithful dan Temple Institute, menantang larangan pemerintah Israel untuk mengizinkan orang Yahudi memasuki kompleks tersebut.

Mereka berniat membangun kembali Kuil Yahudi Ketiga di kompleks tersebut.

Al Jazeera melaporkan kelompok itu didanai oleh anggota pemerintah Israel, meskipun pemerintahannya mengklaim ingin mempertahankan status quo di situs tersebut.

Pasukan Israel secara rutin mengizinkan kelompok-kelompok, beberapa dari ratusan, pemukim Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina untuk turun ke kompleks Al-Aqsa di bawah perlindungan polisi dan tentara.

Tindakan ini memicu ketakutan Palestina akan pengambilalihan kompleks oleh Israel.

Pada 1990, Temple Mount Faithful menyatakan akan meletakkan landasan bagi Kuil Ketiga di tempat Kubah Batu.

Kerusuhan akhirnya pecah yang mengakibatkan 20 orang Palestina tewas oleh polisi Israel.

Pada 2000, politisi Israel Ariel Sharon memasuki situs suci ditemani oleh sekitar 1.000 polisi Israel. Dia dengan sengaja mengulang klaim Israel atas wilayah yang diperebutkan itu.

Kejadian itu bertepatan dengan negosiasi perdamaian yang ditengahi AS oleh Perdana Menteri Israel Ehud Barak, dan pemimpin Palestina Yasser Arafat. Perundingan dilakukan untuk membicarakan bagaimana kedua belah pihak bisa berbagi Yerusalem.

Masuknya Sharon ke kompleks tersebut memicu Intifada Kedua, yang menewaskan lebih dari 3.000 orang Palestina dan sekitar 1.000 orang Israel.

Pada Mei 2017, kabinet Israel mengadakan pertemuan mingguan di terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa, pada peringatan 50 tahun pendudukan Israel di Yerusalem Timur.

Kegiatan itu diklaim "untuk menandai pembebasan dan penyatuan Yerusalem," sebuah langkah yang membuat marah warga Palestina.

Israel telah membatasi masuknya Palestina ke dalam kompleks melalui beberapa metode, termasuk tembok pemisah, yang dibangun pada awal 2000-an. Ini membatasi masuknya warga Palestina dari Tepi Barat ke Israel.

Dari tiga juta warga Palestina yang menduduki Tepi Barat, hanya usia tertentu yang diizinkan mengakses Yerusalem pada hari Jumat. Sementara yang lain harus mengajukan izin yang sulit diperoleh dari otoritas Israel.

Pembatasan tersebut telah menyebabkan kemacetan dan ketegangan yang serius di pos pemeriksaan antara Tepi Barat dan Yerusalem. Sebab puluhan ribu orang harus melewati pemeriksaan keamanan untuk memasuki Yerusalem untuk berdoa.

4. Penutupan Masjid

Ketegangan di dekat Al-Aqsa masih terjadi beberapa tahun terakhir. Pada 2015, bentrokan terjadi setelah ratusan orang Yahudi mencoba memasuki kompleks masjid, untuk memperingati hari raya Yahudi.

Setahun kemudian, protes juga meletus setelah kunjungan kelompok pemukim Yahudi ke kompleks tersebut selama 10 hari terakhir bulan suci Ramadhan, yang bertentangan dengan tradisi.

Sebagian besar bentrokan di kompleks tersebut terjadi karena warga Israel mencoba beribadah di dalam kompleks tersebut, yang secara langsung melanggar status quo.

Ketegangan meningkat setelah Israel menutup kompleks Masjid Al-Aqsa untuk pertama kalinya sejak 1969, setelah baku tembak mematikan antara warga Palestina di Israel dan pasukan Israel.

Serangan yang terjadi pada 14 Juli 2017 itu berakhir dengan kematian dua petugas polisi Israel dan tiga penyerang Palestina.

Israel kemudian menutup situs tersebut untuk salat Jumat dan membukanya kembali pada hari Minggu berikutnya dengan pengamanan baru. Detektor logam dan kamera tambahan dipasang di pintu masuk kompleks.

Warga Palestina menolak memasuki kompleks tersebut sampai Israel menghapus pengamanan barunya.

Tindakan itu dipandang sebagai langkah terbaru oleh Israel, untuk memaksakan kendali dan Yudaisasi kota. Sementara itu, pengunjuk rasa berdoa di luar gerbang.

Saat shalat Jumat di bulan Juli 2017, ribuan warga Palestina keluar untuk shalat di jalan-jalan di luar Gerbang Singa, salah satu pintu masuk ke Kota Tua.

Ketegangan berkecamuk setelah demonstrasi damai ditekan dengan keras oleh pasukan Israel, mengakibatkan ratusan orang terluka.

Empat warga Palestina ditembak mati di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang diduduki, salah satunya ditembak oleh seorang pemukim Israel.

Israel telah mengerahkan 3.000 polisi Israel dan unit polisi perbatasan di sekitar kompleks tersebut.

5. Konteks yang lebih besar

Al-Aqsa adalah wilayah kecil di Palestina, tetapi secara simbolis merupakan bagian besar dari konflik antara Israel dan Palestina.

Meskipun masjid itu sendiri penting bagi umat Islam khususnya, umat Kristen Palestina juga memprotes perambahan Israel di kompleks tersebut.

Mereka bergabung dengan umat Islam dalam shalat di luar Gerbang Singa pada hari Jumat pada 2017 itu.

"Masalah al-Haram al-Sharif merupakan katalisator simbolis, tetapi sangat kuat dari rutinitas ketidakadilan dan penindasan yang dihadapi orang-orang Palestina di Yerusalem, dan itu menyebabkan ledakan kemarahan dan pemberontakan rakyat yang terus-menerus," kata Yara Jalajel, seorang mantan penasihat hukum menteri luar negeri Palestina, kepada Al Jazeera pada Juli 2017.

Dengan lebih banyak pembatasan ditempatkan pada akses Palestina ke kompleks dan seruan yang berlangsung oleh kelompok-kelompok agama Israel untuk mengizinkan orang Yahudi berdoa di situs tersebut, banyak orang Palestina kahwatir akan ada pemecahan atas kompleks tersebut.

https://internasional.kompas.com/read/2021/05/08/091212370/masjid-al-aqsa-titik-pertikaian-panjang-palestina-israel

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke