Salin Artikel

Kiprah Laksamana Cheng Ho, Pimpin Armada Agung hingga Bawa Agenda Tersembunyi

KOMPAS.com – Nama Laksamana Cheng Ho tidak asing bagi orang Indonesia. Cheng Ho diyakini ikut menyebarkan agama Islam di Nusantara melalui ekspedisinya antara 1405 hingga 1433.

Melansir Historia, Cheng Ho memiliki nama asli Ma Ho. Dia lahir dari orangtua dari Etnik Hui di Yunan pada 1371.

Etnik Hui merupakan etnik yang bermayoritas beragama Islam. Mereka berasal dari campuran Mongol-Turki.

Pasukan Dinasti Ming pada 1381, bersama Jendral Fu Yu-te, menduduki Yunan dan menangkapi semua lelaki dewasa dan anak-anak.

Dalam buku Arus Cina-Islam-Jawa, Sumanto Al Qurtuby menulis bahwa ketika Jendral Fu Yu-te menduduki Yunan, mereka tak segan memotong alat kelamin para pria.

Hal itu dilakukan agar para pria di sana tunduk pada negara, tak terkecuali Ma Ho.

“Dalam perkembangannya, Ma Ho tampil seperti raksasa dengan tinggi lebih dari dua meter yang mungkin disebabkan defisiensi hormon lelaki akibat emaskulasi,” tulis Sumanto sebagaimana dikutip Historia.

Kemunculan Cheng Ho

Ketika tumbuh dewasa, Ma Ho membantu Ceng Chu merebut takhta Dinasti Ming dari keponakannya, Kaisar Kien Wen alias Jianwen.

Pada 1402, upaya tersebut berhasil dan Ceng Chu diberi mahkota atas Dinasti Ming dan namanya berubah menjadi Kaisar Yun Lo alias Yongle. Jianwen lari dan menjadi pelarian politik.

Karena jasanya, Kaisar Yongle mengganti nama Ma Ho menjadi Cheng Ho.

Tak hanya itu, Cheng Ho juga diberi mandat untuk memegang komando tertinggi atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana.

Menurut Sumanto, Kaisar Yongle mengubah diplomasi politik era Jianwen dari jalur darat menjadi jalur laut.

Karena perubahan diplomats itulah, pada masa kepemimpinannya, Kaisar Yongle memerintahkan pembangunan armada kapal untuk Dinasti Ming.

Untuk membangun armada iu, dibutuhkanlah tempat dan bahan baku untuk membuat berbagai macam kapal baik itu kapal dagang, kapal perang, dan kapal penunjang.

Sang kaisar menunjuk Longjiang sebagai lokasi tempat pembuatan mega proyek armada kapal Dinasti Ming.

Bahan kayu pembuatan kapal didapatkan dari pohon sekitar Sungai Min. Setelah melakukan persiapan matang, Kaisar Yongle mengutus Laksamana Cheng Ho memimpin ekspedisi jalur laut.

“Sebagai commander in chief-nya diserahkan kepada Cheng Ho lewat sebuah Dekrit Kerajaan dengan wakil Laksamana Muda Heo Shien (Husain), sekretaris Haji Ma Huan dan Fei Shin (Faisal), juru bahasa Arab selain Ma Huan adalah Hassan, seorang imam pada bekas ibu kota Sin An (Changan),” tulis Sumanto.

Armada tersebut mencakup 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran kecil) dan puluhan ribu orang.

Puluhan ribu orang yang ikut ekspedisi tersebut terdiri atas perwira, prajurit, politisi, juru tulis, pembuat peta, tabib, ahli astronomi, ahli bahasa, ahli geografi, dan ahli agama.

Ekspedisi

Pada 11 Juli 1405, Cheng Ho mulai memimpin pasukannya. Ibu kota dinasti Ming, Nanking, menjadi saksi awal berkumpulnya seluruh pasukan sang laksamana.

Pelayaran armada agung tersebut mulanya singgah di Kota Liuhe. Di tempat persinggahan itu, semua armada dipersiapkan secara maksimal dengan mengondisikan pasukan.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati muara Sungai Min menuju ke Champa (Vietnam masa kini), kemudian dilanjutkan ke Nusantara yang meliputi Jawa, Malaka, Aru, dan Samudra Pasai.

Ketika berada di Nusantara, Cheng Ho sempat mengunjungi Sumatra. Selain itu, armada Cheng Ho juga mengunjungi Majapahit yang ketika itu terjadi perang saudara antara Wikramawardana dan Bhre Wirabumi.

Kala itu, sekitar 170 pasukan rombongan Cheng Ho ikut terbunuh. Ketika mendatangi berbagai daerah di Indonesia, Cheng Ho dan pasukannya memberikan beberapa upeti kepada raja-raja sebagai penghormatan karena telah diperbolehkan melakukan kunjungan.

Daerah yang disinggahi armada Cheng Ho juga mendapatkan kemajuan dalam hal bercocok tanam, beternak, berdagang, seni ukir, dan seni lainnya sebagaimana dilansir Kompas.com.

Setelah meninggalkan Nusantara pada sesi pertama pelayarannya, Cheng Ho dan pasukannya berlayar menyeberangi Samudra Hindia.

Pada 1407, Laksamana Cheng Ho berniat kembali ke kampung halamannya setelah sebelumnya mengunjungi Malaka.

Di Malaka, Cheng Ho dan pasukannya mendapatkan serangan dari bajak laut Chen Zuyi di Palembang. Namun, kekuatan armada Cheng Ho bisa memberikan perlawanan terhadap aksi para perompak.

Sekitar 5.000 bajak laut tewas dan 10 kapal perompak dibakar, sedangkan tujuh kapal lainnya ditangkap.

Chen Zuyi mendapatkan hukuman mati. Setelah berhasil memukul mundur perompak, mereka kembali ke Dinasti Ming pada 2 Oktober 1407.

Ekspedisi tersebut sukses dan dilanjutkan ekspedisi pelayaran kedua dan ketiga yang menjangkau Jazirah Arab dan Afrika Timur.

Hingga akhirnya, ekspedisi ini berlangsung tujuh kali sampai berakhirnya masa kepemimpinan Kaisar Yongle dan digantikan Kaisar Xuande.

Agenda tersembunyi

Melansir Historia, misi ekspedisi Cheng Ho tersebut menjalin persahabatan dengan negara-negara lain serta menunjukkan supremasi politik dan ekonomi bangsa Tiongkok.

Namun, selain kedua misi tersebut, ekspedisi Cheng Ho sebenarnya juga membawa agenda tersembunyi.

Penempatan konsul, diplomat, dan duta keliling mesti dibaca dalam penegakan otoritas politik. Demikian pula penempatan konsul dagang mesti dilihat dari aspek ekonomi.

“Juga persebaran para juru dakwah Islam di hampir setiap kota yang disinggahi adalah upaya melakukan misionarisme Islam (Islamisasi),” ujar Sumanto.

“Singkatnya, ekspedisi besar itu menyimpan hidden agenda (agenda tersembunyi) baik untuk kepentingan pragmatis Kekaisaran Ming maupun kepentingan ‘primordial Islam’ Cheng Ho,” sambung Sumanto.

Sebagai contoh di Palembang, Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam. Sebenarnya di era Kerajaan Sriwijaya, wilayah itu sudah banyak didiami orang-orang Tionghoa.

“Barangkali di Palembang-lah masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan di Jawa, Semenanjung dan Filipina,” tulis Sumanto.

Ketika armada Cheng Ho singgah di beberapa tempat di pesisir Jawa, terutama pada pelayaran pertama pada 1405 dan ketiga pada 1413, mereka disambut cukup antusias oleh masyarakat Islam setempat, terlebih para pemuka agamanya.

“Hampir di setiap pesisir Jawa sejak Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara sampai Tuban, Gresik dan Surabaya, Cheng Ho selalu menempatkan orang-orang Islam dari Tiongkok,” tulis Sumanto.

Kendati demikian, sejarawan Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistyono, mengatakan kepada Historia bahwa dia belum menemukan bukti kalau Cheng Ho melakukan misi Islamisasi.

“Misi pelayarannya untuk meneguhkan kekuasaan kekaisaran Tiongkok di kawasan laut selatan,” kata Singgih kepada Historia.

Cheng Ho meninggal pada 1433. Selama masa hidupnya, dia telah melakukan pelayaran sebanyak tujuh kali dan mengunjungi 37 negara.

Negara-negara tersebut mulai dari Champa sampai India, sepanjang Teluk Persia serta Laut Merah hingga pesisir Kenya, termasuk Nusantara.

Sumber:

Historia (Penulis: Aryono)

Kompas.com (Penulis Aswab Nanda Pratama | Editor Inggried Dwi Wedhaswary)

https://internasional.kompas.com/read/2021/04/18/165609070/kiprah-laksamana-cheng-ho-pimpin-armada-agung-hingga-bawa-agenda

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke