Salin Artikel

Perempuan Berdaya: Sejarah Revolusioner Wanita Pertama China, Qiu Jin, yang Mati Dipenggal

KOMPAS.com - Sejumlah penduduk desa menyaksikan dengan ngeri saat Qiu Jin dieksekusi secara brutal.

Di desa asalnya, Shanyin, perempuan berdaya berusia 31 tahun itu kepalanya dipenggal, setelah dituduh melakukan kejahatan melalui 2 karya puisi yang menghasut. Kematiannya mengejutkan bangsa.

Berdasarkan sejarah China, Jin dikenal sebagai revolusioner, martir, dan penyair wanita asal China.

Ia dianggap oleh banyak orang sebagai feminis pertama di negara itu, seperti yang dilansir dari The Culture Trip.

Sebelum kematiannya, ia bekerja mendirikan serta mengelola sekolah dan majalah feminis.

Dia mendorong para perempuan untuk berdaya dengan mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, dan menjadi pribadi dengan kemandirian finansial.

Sekarang ini, Qiu Jin dikenang sebagai "Joan of Arc China" dan simbol kemerdekaan bagi perempuan berdaya.

Tekanan tradisi

Qiu Jin, lahir pada 8 November 1875 di keluarga yang cukup berada yang secara turun-temurun di Shanyin, Provinsi Zheijang.

Qiu tumbuh dengan minat membaca, menunggang kuda, menggunakan pedang, dan melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.

Seperti kebanyakan wanita muda di China dahulu, Jin dipaksa membungkus kakinya dengan kain ketat untuk membuat bentuknya tetap ramping. Suatu praktik yang menyakitkan dan melelahkan peninggalan nenek moyang.

"Melepaskan kakiku, aku bersihkan seribu tahun racun, dengan hati yang menggebu membangkitkan semangat wanita," tulis Qiu Jin dalam catatannya seperti yang dilansir dari Medium (19/9/2020).

Pada usianya ke 21 tahun, ia dipaksa untuk menikah dengan Wang Tingjun, putra bungsu dari seorang pedagang kaya di provinsi Hunan.

Jin tidak mencintainya. Ia membenci suaminya. Disebutkan bahwa Jin sering menuliskan catatan tentang suaminya yang memperlakukannya dengan rendah.

Kepercayaan dirinya pun menjadi terguncang dan keinginannya untuk menjadi penyair yang diakui, memudar karena tekanan mertuanya yang konservatif dan berorientasi pada keuntungan, serta suaminya yang tidak berbakat.

Dia menghabiskan waktu sebanyak yang dia bisa untuk cinta pertamanya dalam membaca dan menulis.

Namun, tidak menutupi kepedihannya dalam hubungan pernikahannya, yang hancur pada akhirnya, ketika Wang Tingjun memilih untuk mengunjungi rumah bordir dari pada keluarganya sendiri.

China sendiri sedang mengalami transisi besar saat itu. Pada 1896, tahun pernikahan Jin adalah tahun ke-300 Dinasti Qing (Manchu). Banyak yang ingin melihat perubahan dan revolusi besar terjadi.

Pada 1903, Jin melakukan hal yang tidak terpikirkan. Dia meninggalkan suami dan 2 anaknya, Wang Yuand dan Wang Guifen.

Dia menjual perhiasannya, membeli tiket sekali jalan ke Tokyo, Jepang dan pindah sendiri ke negeri asing.

Dia mendaftar di sekolah praktik wanita, di mana dia berdiri terpisah dari teman-teman sekelasnya dengan pakaian pria Barat dan mengembangkan ketertarikannya pada permainan pedang.

Dia paling dikenal, bagaimanapun, karena keterlibatannya dalam perkumpulan rahasia anti-Manchu, seperti yang dipimpin oleh bapak China modern, Sun Yat-sen.

Mulan modern

Di Jepang, dia bergabung dengan beberapa perkumpulan rahasia yang semuanya memiliki agenda yang sama, yaitu untuk menggulingkan pemerintah China dan pemulihan pemerintah Han.

Dia teguh dalam pendapatnya bahwa revolusioner tidak dapat terjadi sampai pria dan wanita setara.

Dia mengagumi Hua Mulan, seorang pahlawan wanita China terkenal yang diceritakan berpakaian seperti laki-laki untuk masuk militer.

Begitu terpikatnya Jin dengan Mulan, dia belajar seni bela diri dan mengenakan pakaian pria, sama seperti Mulan.

Dia juga mengenakan pedang dan menyebut dirinya "Jin Xiong" yang diterjemahkan sebagai "mampu bersaing dengan pria".

"Tubuhku tidak akan mengizinkanku bergaul dengan pria, tetapi hatiku jauh lebih berani dari pada pria," sepenggal syair yang ditulisnya menggambarkan tentang dirinya dan kekuatan patriarki.

Aksi perlawanan

Saat gerakan revolusioner terjadi, para siswa yang tinggal di Jepang menyerukan tindakan yang dibagi dalam 2 jalur, yaitu kembali ke tanah air atau tetap berada di Jepang untuk mempersiapkan revolusi China.

Jin dengan tegas memilih untuk "pulang dan mengambil kendali". Pada 1906, bersama 2.000 siswa dari Jepang, Qiu Jin kembali ke tanah air mereka.

Ketika dia kembali ke China pada 1906, Jin telah berubah menjadi seorang pemimpin revolusioner yang tak kenal takut, terkenal dengan pemain pedang, dan keterampilan membuat bom, seperti yang dilansir dari History.

Dia tidak membuang waktu untuk mendirikan majalah feminis radikal pertama di China, Jurnal Wanita China (Zhongguo nu bao), yang diterbitkan bersama penyair wanita lainnya.

Namun, majalah itu hanya berumur pendek, ditutup oleh otoritas China pada 1907.

Di majalah itu, ia berbicara soal tradisi-tradisi yang telah ia alami dan ia tentang, seperti perjodohan dan pengikatan kaki.

Dia juga bekerja sama dengan sepupunya Xu Xilin untuk membantu menyatukan kelompok aktivis radikal.

Xu adalah pendiri Sekolah Datong, yang seolah-olah merupakan pusat pelatihan bagi guru pendidikan jasmani, tetapi pada kenyataannya merupakan fasilitas perekrutan dan pelatihan bagi kaum muda revolusioner.

Qiu mengambil alih kepemimpinan sekolah pada 1907 dan segera mengetahui nasib Xu karena membunuh gubernur provinsi Manchu di Anhui.

Pada Juli 1907, Xu Xilin ditangkap oleh pihak berwenang sebelum pemberontakan terjadwal di Anqing.

Xilin disiksa dan mengaku melakukan banyak kejahatan yang dituduhkan padanya. Dia juga akan mengungkapkan nama rekan-rekannya termasuk Qiu Jin.

Qiu tahu bahwa waktunya telah habis juga, dan alih-alih melarikan diri, dia tetap di Shaoxing.

Enam hari kemudian, Jin ditangkap dan dikirim untuk mengaku. Jin menahan penyiksaan dan menolak untuk mengakui keterlibatan apa pun dalam pemberontakan yang direncanakan di Anqing.

Pihak berwenang kemudian menggunakan tulisan Jin sendiri sebagai tuduhan terhadapnya. Beberapa hari kemudian, dia dipenggal di depan umum di desa asalnya.

Dia berusia 31 tahun pada saat kematiannya.

Kejahatan resminya adalah menulis dua puisi yang menghasut. Dokumen yang ditemukan di rumahnya telah menyatakan bahwa dia adalah seorang nasionalis dan feminis revolusioner.

Qiu meninggalkan warisan feminisme revolusioner, yang belum pernah ada sebelumnya di China.

Dia juga meninggalkan portofolio puisi kecil, tapi mengesankan, yang berisi refrein, "Tubuhku tidak akan mengizinkanku bergaul dengan pria, tetapi hatiku jauh lebih berani dari pada pria."

https://internasional.kompas.com/read/2021/03/24/171338870/perempuan-berdaya-sejarah-revolusioner-wanita-pertama-china-qiu-jin

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke