Salin Artikel

Mawlamyine, Kota yang Ditinggalkan Penduduknya

Namun, seiring berjalannya waktu, kejayaan itu memudar dan kini tak lagi menjanjikan. Sebuah tempat yang sangat ingin ditinggalkan kaum muda demi mencari pekerjaan dan uang.

Kota berpopulasi kurang dari 300.000 penduduk ini merupakan ibu kota Negara Bagian Mon yang setidaknya memiliki populasi sebesar tiga juta penduduk. Kota ini memiliki hawa yang menyedihkan dan seakan terabaikan dari peradaban.

Tahun-tahun kejayaannya memang telah lewat lebih dari satu setengah abad yang lalu, antara 1826 dan 1852.

Pada saat itu, Inggris mengubah kota pelabuhan sepi yang terletak di pertemuan Sungai Salween, Ataran dan Gyaing ini menjadi sebuah pusat kota yang menyimpan kekayaan Burma di pesisir Tenasserim.

Mawlamyine berada di sekitar 300 kilometer tenggara Yangon atau enam jam perjalanan darat. Dahulu perjalanan antara Yangon-Mawlamyine jauh lebih sulit, namun perbaikan jalan raya nasional dan pembangunan jembatan-jembatan baru telah membawa kedua kota semakin dekat

Meski demikian, pembangunan sejauh ini belum menciptakan peningkatan signifikan di sektor industri atau lapangan pekerjaan. Alih-alih, hal ini tampaknya justru membuat orang-orang lebih mudah untuk meninggalkan Mawlamynie.

Terlebih lagi, dengan perbatasan Myanmar-Thailand di Mae Sot yang hanya empat jam ke arah timur bila melewati jalan raya yang baru diperbaharui, membuat Negara Gajah Putih ini semakin mudah diakses.

Mengingat jaraknya yang dekat, tidak mengherankan bila hampir semua orang yang ditemui Tim Ceritalah berharap mendapat peluang kerja di luar negeri. Diperkirakan sekitar 10 – 20% dari populasi Myanmar tinggal atau bekerja di luar negeri – statistik yang sebanding dengan yang terjadi di Filipina.

Negara Bagian Mon adalah daerah penghasil karet terbesar di Myanmar. Pada masa jayanya, karet akan menjadi sumber pendapatan utama daerah.

Namun, dengan harga global yang terus melemah, komoditas tersebut menjadi sama sekali tidak menguntungkan – bahkan bagi banyak pedagang yang memasok karet ke pasar Tiongkok yang cukup besar.

Pelabuhan yang terlihat indah juga sama sepinya. Hanya ada satu kapal yang merapat di dermaga selama Tim Ceritalah berkunjung ke Mawlamynie.

Sulit membayangkan bahwa kota ini dulunya merupakan pusat kegiatan daerah yang penting, dan juga pusat pembuatan kapal besar yang mengandalkan pasokan kayu jati yang dari hulu Sungai Salween.

Burma adalah salah satu koloni Inggris terkaya dan paling menguntungkan. Kaya akan sumber daya alam, Rangoon (Yangon) bahkan mampu menyaingi pelabuhan terbesar di koloni Inggris lainnya, dari Bombay, Singapura hingga Liverpool. Namun, kehadiran Inggris di Myanmar bukan untuk beramah-tamah.

Mereka adalah penjajah yang kejam – menghancurkan elit pribumi, menebang ribuan hektar hutan yang belum terjamah dan membuka sawah luas yang dikerjakan oleh buruh imigran dari India, terutama orang Bengal dan Tamil.

Myanmar masa kini, termasuk paranoia dan patologinya, harus dibaca dalam konteks masa lalunya yang sarat gejolak dan pertumpahan darah.

Salah satu dakwaan paling tajam terhadap Inggris ditulis oleh seorang penduduk Mawlamyine, Eric Blair (lebih dikenal sebagai George Orwell), seorang perwira polisi kolonial yang novelnya, “Burmese Days” (Hari-Hari di Burma), menangkap kemunafikan, rasisme dan kekerasan pada zaman itu.

Meski begitu, jejak-jejak sisa masa koloniallah yang tetap menarik. Dalam sebuah lingkungan dengan pengaruh Buddha yang kuat, ada jejak-jejak masa lalu yang lebih mendunia dengan keberadaan gereja-gereja Anglikan, Katolik dan Baptis, serta beberapa masjid.

Gereja Katolik St. Patrick, dengan lonceng abad ke-19-nya yang masih utuh, dan Gereja First Baptist, yang dinding kelabunya telah terkelupas dan menghitam oleh usia, masih memberikan pelayanan ibadah ke jemaat yang leluhurnya dibaptis oleh misionaris era Victoria.

Keluarga Joseph pertama kali menetap di wilayah Ayeyarwady setelah perang Inggris – Burma Pertama (1824 – 1826), menjadi salah satu dari banyak orang Katolik Tamil dari India Selatan yang bermigrasi ke Myanmar.

Komunitas tersebut kini berjumlah 50.000 jiwa, hanya setitik kecil dari populasi Myanmar yang sebesar 53,5 juta jiwa.

Lebih jauh ke utara gereja, Tim Ceritalah bertemu Hussein, seorang pria setempat berusia 63 tahun yang mengelola Masjid Surtee Sunni Jamae.

Dengan bangga dia bercerita bahwa komunitas Muslim Surti, yang berasal dari Gujarat, telah memiliki masjid itu sejak 1846, ketika dibangun oleh Inggris untuk pegawai sipilnya yang berasal dari Teluk Bengal.

Kakek Hussein berasal dari tempat yang sekarang adalah Pakistan – hal ini memberinya rasa keterikatan dengan masjid tersebut, yang terhubung dengan sejarah keluarganya.

Dua tahun lalu, gereja First Baptist memiliki sekitar 50 anggota. Namun, sejak kehilangan sebagian besar anggotanya yang memilih pergi ke Yangon, Singapura, Australia, Thailand atau Amerika Serikat untuk kesempatan kerja yang lebih menjanjikan, kini yang tersisa hanya sekitar 15 anggota.

Namun, Hussein dan Joseph tetap bertahan di kota tersebut – yang terdengar ironis mengingat latar belakang mereka yang berasal dari keluarga imigran.

“Saya ingin tetap tinggal dan merawat gereja ini,” kata Joseph, berdiri seperti penjaga di pintu gereja berwarna hijau yang terbuka itu.

“Orang-orang datang ke sini untuk menemukan Tuhan dan melihat bangunan tua ini. Mereka harus tahu sejarah gereja ini. Saya ingin merawatnya dan menceritakan kepada orang-orang tentang kisah dan budayanya,” tuturnya dengan senyum yang merekah.

 

https://internasional.kompas.com/read/2019/09/21/18185541/mawlamyine-kota-yang-ditinggalkan-penduduknya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke