Salin Artikel

Kampus di Bangladesh Tangguhkan Seorang Mahasiswa karena Berstatus Pengungsi Rohingya

Peraturan yang berlaku di Bangladesh melarang pendidikan formal bagi para pengungsi.

Universitas Internasional Cox's Bazar mengumumkan telah menangguhkan status mahasiswa Rahima Akter Khushi (20) dan menyatakan bakal menyelidiki kasusnya.

Sementara media lokal melaporkan bahwa dia telah menyembunyikan identitasnya sebagai pengungsi Rohingya saat mendaftar.

"Rohingya tidak dapat diterima di universitas kami, karena mereka adalah pengungsi," kata Abul Kashem, kepala lembaga pendidikan internasional itu.

"Orang asing dapat belajar di sini, tetapi mereka harus mengikuti prosedur yang ada," tambahnya, dikutip AFP.

Kashem mengatakan, perempuan muda itu telah menggunakan dokumen yang menunjukkan bahwa dia menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di kota pelabuhan Chittagong, Bangladesh.

Khushi, yang mengambil bidang hukum, mengatakan kepada AFP, keputusan universitas telah menghancurkannya secara mental.

"Gadis lain mungkin sudah akan menyerah, tapi saya akan mencoba yang terbaik untuk menghadapi situasi ini," katanya.

Situs berita Rohingya Post mengatakan Khushi sempat menjadi target setelah melakukan wawancara pada 2018 dengan kantor berita internasional Associated Press, yang kemudian menjadi viral di Cox's Bazar, tempat kamp-kamp pengungsi berada.

Khushi mengatakan, kedua orangtuanya tiba di Bangladesh dari Rakhine pada tahun 1990-an dan dia lahir serta dibesarkan di Cox's Bazar.

"Saya ingin melangkah lebih jauh. Tetapi saya tidak tahu bagaimana saya akan melakukannya," kata Khushi kepada AFP.

Pemimpin Rohingya yang berbasis di Brisbane, Mojib Ullah mengatakan, penangguhan status mahasiswa Khushi tidak akan membawa pada apa pun selain membunuh potensi di masyarakat, yang memiliki kesempatan terbatas untuk belajar di Rakhine.

Kasus penangguhan status mahasiswa seorang pengungsi Rohingya oleh kampus di Bangladesh ini terjadi setelah upaya pemulangan terakhir yang dilakukan pemerintah bersama dengan Myanmar kembali tidak membuahkan hasil.

Tidak ada satu pun pengungsi yang secara sukarela bersedia menyeberang perbatasan dan kembali ke Myanmar.

Pemerintah Bangladesh juga menugaskan kembali pejabat senior pemerintah yang mengizinkan sekitar 200.000 Rohingya untuk ambil bagian dalam demonstrasi yang menandai peringatan dua tahun eksodus massal pada 25 Agustus, beberapa hari setelah upaya pemulangan.

Otoritas Bangladesh sejak saat itu telah memerintahkan penutupan layanan telepon seluler di kamp-kamp pengungsi, sementara layanan internet juga telah ditangguhkan di malam hari.

Langkah pemerintah dalam membatasi layanan komunikasi dan informasi itu menuai kritikan dari kelompok hak asasi manusia, Human Rights Watch, yang mendesak pemerintah Bangladesh untuk mengakhirinya, mengatakan bahwa hal itu hanya akan memperburuk keadaan.

"Pihak berwenang harus mengambil pendekatan di tingkat kepala daripada bereaksi berlebihan terhadap ketegangan dan protes dengan mengisolasi para pengungsi Rohingya di kamp-kamp," kata direktur HRW Asia, Brad Adams, dalam sebuah pernyataan.

Sekitar 740.000 warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kampung halaman mereka di Rakhine ke Bangladesh tenggara setelah tindakan keras militer Myanmar pada Agustus 2017.

https://internasional.kompas.com/read/2019/09/08/23061081/kampus-di-bangladesh-tangguhkan-seorang-mahasiswa-karena-berstatus

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke