Salin Artikel

Para Korban yang Terlupakan dari Perang Tertinggi di Dunia

Zainab sedang berada di rumahnya ketika sekitar pukul 20.00 mereka menyaksikan bom meledak di puncak gunung.

"Kami langsung pergi mencari perlindungan di bunker," kenang Zainab akan peristiwa 20 tahun lalu itu.

Desa tempat Zainab tinggal, Ganokh, terjebak dalam baku tembak antara India dan Oakistan di etinggian pegunungan Himalaya.

Desa Ganokh berada di sisi Pakistan wilayah Kashmir yang diperebutkan kedua negara.

Dua dekade lalu, sebuah operasi rahasia yang dirancang para jenderal Pakistan digelar untuk merebut dataran tinggi Kargil dari tangan India.

Operasi ini kemudian memicu perang yang berakhir dengan kekalahan memalukan Pakistan yang jemudian berujung pada kudeta militer ketiga dalam 50 tahun di negeri itu.

Akibat lain perang ini adalah ribuan warga desa Ganokh kehilangan rumah dan kehidupan mereka akibat konflik itu.

Ribuan orang di sisi India juga mengalami hal yang sama, bedanya mereka bisa kembali ke desa dan menata hidup kembali setelah erang usai.

Sementara di sisi Pakistan, janji pemerintah untuk membantu rakyat usai peaang tak pernah terwujud.

Alhasil, hingga kini masih banyak warga yang harus tinggal di berbagai lokasi pengungsian.

Zainab mengenang, setelah malam pertama itu pengeboman semakin intensif selama beberapa hari. Hal berikutnya yang dia ketahui banyak orang yang dikenalnya sudah tewas.

Sebuah bom mendarat di ladang tempat kakek Zainab sedang menyirami tanaman andumnya. Sang kakek pun tewas seketika.

Bom lain jatuh di atap sebuah rumah dan menewaskan beberapa bocah yang sedang berjemur.

Di saat ketakutan semakin meningkat, personel militer di desa itu kemudian meminta warga untuk mengungsi.

"<ereka tak mengatakan kami harus ergi ke mana. Kami sungguh-sungguh sendirian," kata Zainab yang kini berusia 33 tahun kepada BBC Pakistan.

"Kami membawa barang yang bisa kami bawa, naik ke truk, berdesakan dengan para tetangga. Kami meninggalkan yak dan kambing kami ke tangan Tuhan," tambah dia.

Zainab dan wara desa Ganokh kemudian menuju ke kota Skardu yang berjarak 150 kilometer ke sebelah utara.

Di sana mereka tinggal selama dua bulan di gubuk yang diberikan warga setempat hingga Pakistan mengumumkan gencatan senjata dan menarik mundur pasukannya dari wilayah India.

"Saat perang berakkhir ada dua hal yang muncul di benak warga. Salah seorang tetangga yang kembali ke desa mengatakan sebagian besar rumah hancur, demikian juga kebun, dan sebagian besar ternak mati," kenang Zainab.

"Jadi suami saya memutuskan, kami akan pergi ke Islamabad di mana seorang teman berjanji memberikan pekerjaan untuknya," tambah dia.

Ghulam Mohammad, warga satu wilayah engan Zainab, juga memutuskan untuk tidak kembali ke desanya.

Saat perang pecah, Ghulam baru berusia belasan, terpaksa meninggalkan kebun aprikot dan ternaknya di desa Hargosel.

Kedua orangtuanya sudah meninggal dunia dan Ghulam tak memiliki saudara kandung atau kerabat lain juga milih pergi ke Skardu.

"Beberapa orang mendirikan tenda di gurun di luar kota. Beberapa lainnya bahkan tak memiliki tenda. Sungguh malam yang menyedihkan," kenang Ghulam.

Zainab Bibi dan Ghulam Mohammad berasal dari Karmang, sebuah lembah di wilayah Gilgit-Baltistan yang jatuh ke tangan Pakistan setelah Inggris membelah India pada 1947.

Namun, wilayah itu diperlakukan sebagai bagian dari wilayah Kashmir yang diperebutkan di bawah resolusi PBB yang terbit pada 1948.

Dua kali Pakistan mencoba mengirim pasukannya ke Kashmir untuk memicu pemberontakan terhadap India yaitu pada 1947 dan 1965.

Pakistan membantah keterlibatannya dan menyebut penduduk lokal Kashmir yang memerangi tentara India.

Perang di dataran tinggi Kargil juga dimulai dengan gaya yang sama.

Ribuan personel pasukan paramiliter Infantri Ringan Utara, yang berasal dari wilayah Gilgit-Baltistan dan amat ahli dalam pertempuran di dataran tinggi, dikirim di musim di gin untuk menduduki pos militer India yang kosong di bulan-bulan penuh salju di Himalaya.

Pasukan ini kemudian memperkuat posisi di ketinggian antara 2.000 hingga 6.000 meter di atas permukaan laut.

Posisi ini membuat mereka bisa mengawasi jalan raya Srinagar-Leh, sebuah jalur logistik utama untuk pasukan yang berada di gletser Siachen yang diduduki India sejak 1984.

Pakistan ingin memnutus pasokan logistik militer India ke Siachen, sehingga menimbulkan kerugian besar dan memaksa India untuk mengosiasikan masalah Kashmir sesuai dengan ersyaratan yang diajukan Pakistan.

Apalagi setahun sebelumnya Pakistan baru saja melakukan uji coba senjata nuklir. Sehingga, para jenderal Pakistan berharap India akan melunak di bawah ancaman nuklir.

Namun, India menyerang balik dengan mengirimkan pasukan infanteri dan serangan udara yang segera mengubah situasi menjadi konflik bersenjata berkskala penuh antara kedua negara sejak 1971.

Pada pertengahan Juni, posisi Pakistan mulai goyah dan dunia intrnasional mendesak agar Islamabad menarik mundur pasukannya.

Pada 26 Juli 1999, India kembali menguasai dataran tinggi Kargil dengan kehilangan sekitar 500 orang tentara. Sedangkan di sisi Pakistan jumlah tentara yang tewas antara 400-4.000 orang.

Selain itu, setelah PM Pakistan Nawqaz Sharif mengumumkan gencatan senjata, dua bulan kemudian pemerintahannya digulingkan militer.

Di sisi lain, sekitar 20.000 orang warga Lembah Kharmang masih menjadi pengungsi, 20 tahun setelah perang berakhir.

"Ini akibat buruknya program rehabilitasi pemerintah karena tangan mereka sudah dikuasai militer," kata Wazir Farman, seorang pengacara anggota Komisi Independen HAM Pakistan (HRCP).

Sehingga tak aneh jika warga yang menjadi korban perang Kargil merasa diabaikan pemerinatah.

"Saya tak punya uang untuk memperbaiki rumah sai perang," ujar Ghulam Mohammad.

"Tanah juga menjadi gersang dan sejak saya kehilangan sebagian besar tetangga, tak ada cukup tenaga untk mengolah tanah," tambah dia.

Sedangkan Zainab Bibi punya alasan lain untuk tak kembali ke desanya, meski orangtua dan beebrapa kerabatnya memilih pulang.

Seama beberapa tahun ini, suami Zainab sudah mampu membeli rumah dan menyekolahkan keempat anaknya di Islamabad.

"Kami sudah melalui hidup yag berat dan kini kami sudh mendapat yang terbaik. Kami berterima kasih keoada Tuhan," ujar Zainab.

"Saya terkadang merindukan Ganokh, tetapi tempat anak-anak saya adalah di Islamabad, tempat kami tinggal,' dia menegaskan.

https://internasional.kompas.com/read/2019/07/26/13402211/para-korban-yang-terlupakan-dari-perang-tertinggi-di-dunia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke