Salin Artikel

Pertaruhan Dalam Pemilihan Paruh Waktu Filipina

Seorang pria dengan tubuh terikat pada sebuah salib seukuran badannya, mengernyit kesakitan saat logam menembus telapak tangannya.

Tak ada darah pada tangannya itu. Seorang pria lain berdiri di dekatnya, berpakaian layaknya pasukan Romawi dengan palu di genggamannya.

Bertepatan saat Jumat Agung, Tim Ceritalah sedang berada di Pampanga, sekitar dua jam perjalanan ke Barat Laut Manila, Filipina.

Daerah ini merupakan kawasan pertanian subur yang juga merupakan jantung dari Pulau Luzon.

Bagi umat Nasrani, khususnya umat Katolik, Minggu Suci – ditujukan untuk memperingati wafat dan kebangkitan Yesus Kristus – merupakan perayaan terbesar dalam kalender liturgi gereja.

Setiap tahunnya, puluhan orang yang menyesal akan dosa-dosanya–di Filipina dikenal dengan ritual Mandarame–menyerahkan dirinya untuk disalibkan. Seringkali mereka melakukan Mandarame sebagai bentuk penepatan janji.

Di tempat lain, kelompok-kelompok Mamalaspas (kaum flagella–orang yang biasa mencambuk dirinya sebagai penebusan dosa) mencambuki dirinya sembari memeragakan kembali adegan-adegan dari Alkitab, sebagai bentuk penebusan dosa.

Ritual-ritual berdarah ini–yang sebetulnya tidak pernah disetujui Gereja Katolik Roma (80 persen penduduk Filipina merupakan penganut Katolik Roma)–menarik perhatian ribuan penonton.

Tetap saja, inilah Filipina. Segala sesuatu yang duniawi tidak pernah jauh dari hal-hal yang suci.

Sang negara republik berkekuatan 108 juta penduduk ini kini dibanjiri oleh poster-poster dan padatnya kegiatan kampanye, beberapa hari sebelum Pemilihan Paruh Waktu Filipina digelar pada 13 Mei 2019.

Sekitar dua ribuan kursi posisi legislatif yang tak terhitung jumlahnya akan diperebutkan. Dari banyaknya kursi tersebut, pertaruhan paling besar berada di perebutan 12 kursi Senat– setengah dari jumlah Senat di Filipina.

Walau kedengarannya mungkin biasa saja, namun terdapat pertaruhan yang lebih besar dari yang terlihat di mata publik.

Senator dipilih melalui pemungutan suara secara nasional dan oleh karena itu, mereka bisa menjadi tokoh politik pan-Filipina, dari Batanes di ujung utara hingga Tawi-tawi di selatan Filipina.

Jadi, ketika masyarakat Filipina memberikan suara mereka pada 13 Mei, secara tidak langsung mereka juga akan mengurapi calon pengganti yang potensial atas Presiden Rodrigo Duterte yang kontroversial.

Putrinya, Walikota Davao yang ambisius, Sara Duterte, kebetulan mencalonkan diri sebagai kandidat senator melalui partai yang dia bentuk, Hungpong ng Pagbabago (HNP).

Seberapa banyak ‘pertaruhan senatorial’ yang berhasil menembus kursi di ‘Magic 12’ akan menjadi indikator utama, apakah masyarakat Filipina masih mendukung dirinya dan kebijakan-kebijakan kontroversialnya.

Hal ini termasuk ‘perang’ terhadap gembong narkotika, kemesraan hubungan dengan China yang dianggap tidak populer, serta ledakan-ledakan amarahnya terhadap awak media dan Gereja Katolik.

Namun menariknya, salah satu umat flagella mamalaspas dari Pampanga, Franko yang berumur 37 tahun merupakan pendukung kuat Presiden Duterte.

Franko yang bekerja sebagai penjaja makanan pinggir jalan, telah ikut serta dalam perayaan Jumat Agung selama 17 tahun terakhir dengan mencambuki dirinya di sepanjang jalan San Pedro.

Sambil menenggak bir saat beristirahat, Franko dengan tegas mengatakan bahwa Presiden Duterte telah melakukan banyak hal baik, seperti menyingkirkan gembong narkoba dari jalanan dan membangun infrastruktur.

Penyaliban dan pencambukan pada peringatan Jumat Agung tampaknya merupakan lambang keagamaan yang cukup kontradiktif: seringkali menggambarkan sifat dualistik kehidupan masyarakat Filipina.

Di satu sisi, Filipina sebagai negara Republik yang mayoritas beragama Katolik seharusnya memiliki kepatuhan terhadap nilai-nilai agama yang berbudi luhur.

Singkatnya, Filipina merupakan Amerika Serikat versi Asia Tenggara. Sebuah negara yang dipimpin oleh kelompok elit dari Manila dan kawasan Forbes Park.

Ada beberapa dinasti politik dengan nama-nama yang cukup dikenal seperti Aquino, Macapagal, dan Roxas, layaknya keluarga Bush, Clinton, dan Kennedy di Amerika Serikat.

Di sisi lain, terdapat kelaziman – yang cukup cepat menyebar – dari kegiatan masyarakat lokal yang mengakar dalam takhayul dan sikap-sikap kejantanan seperti penyaliban dan jimat ‘gaib’ anting-anting yang dijual di luar gereja.

Dan memang, keluarga Duterte yang menjadi pusat perhatian karena sifat keras namun bersahaja ini, merupakan bagian penting dari dunia.

Seolah-olah, “wajah” Filipina telah terombang-ambing di antara persaingan dua narasi dan persona ini. Mana yang sebenarnya mewakili Filipina? Siapa yang nantinya akan memenangkan ‘perang’ untuk menentukan jiwa Filipina?

Tak dapat dipungkiri bahwa negara ini telah beradaptasi, dan dalam banyak kasus, menumbangkan norma- norma internasional terkait politik dan kepemimpinan.

Perjuangan Filipina untuk meraih identitas nasional, kebebasan dan martabat bertumpu pada tulisan-tulisan mutiara oleh ilustrado (kaum elit berpendidikan pada era kolonial) seperti Jose Rizal, dan juga upaya berani dari tokoh yang putus sekolah seperti Andrés Bonifacio.

Dominasi Kekaisaran Manila (Maynilang Imperyal) telah diguncangkan oleh orang-orang dari daerah pedalaman seperti Davao di Mindanao. Persaingan dan rasa sakit hati yang membisikkan federalisme, belum berhasil meredam hal ini.

Setiap masa kepresidenan Macapagal dan Aquino selalu didahului atau diikuti oleh Ferdinand Marcos, Joseph “Erap” Estrada atau Duterte.

Di era Duterte, sepertinya “probinsyanos”–orang provinsi/daerah–sekarang lebih berpengaruh dari pada “manilenyos’, atau orang Manila.

Memang, hitungan survei terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar kandidat yang berpotensi menembus “Magic 12” setidaknya ‘ramah’ bagi pemerintahan Duterte.

Mengapa? Sederhana saja, karena rakyat biasa Filipina memandang Presiden Duterte sebagai bagian dari mereka, dibandingkan elit Manila yang kaya raya (bisa dibilang sebagai keturunan ilustrados) yang takut menghadapi kegilaan sang pemimpin negeri.

Franko mungkin telah berhasil menemukan pencerahan saat dia menjelaskan tujuan dirinya menjadi flagella. “Seseorang harus mempunyai hati dan niat yang murni ketika melakukan ini,” ucapnya dengan tegas.

Duterte menampung dan menyalurkan perasaan dan aspirasi dari rakyat kecil Filipina yang umumnya terabaikan—dia adalah matapang: seorang yang pemberani, gigih dan pantang menyerah. Masyarakat tahu–atau setidaknya merasakan–Duterte akan berada di sisi mereka.

Kemenangan di Pemilu Paruh Waktu untuk calon-calon pendukung Duterte tidak hanya akan memungkinkan dia untuk mendorong langkah-langkah ambisius seperti reformasi pajak, namun juga mengatur panggung untuk kemungkinan munculnya dinasti baru jika dan ketika putrinya Sara mencalonkan diri sebagai Presiden.

Mungkinkah matapang baru–entah dari probinsyanos atau (ironisnya) dari elit yang mereka singkirkan–akhirnya akan muncul menantang mereka?

Apapun yang terjadi, Filipina akan selalu bertindak dengan aturannya sendiri.

https://internasional.kompas.com/read/2019/05/24/20481841/pertaruhan-dalam-pemilihan-paruh-waktu-filipina

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke