Salin Artikel

"Jika Shamima Menyesal Gabung dengan ISIS, Mungkin Kondisinya Bakal Berbeda"

Dal Babu misalnya. Mantan Kepala Pengawas Kepolisian Metropolitan berkata, Shamima merupakan korban dari upaya cuci otak.

"Harus diingat bahwa Nona Begum sudah mendapat pengaruh sejak kecil untuk menjadi perempuan radikal," ulasnya dilansir BBC Kamis (14/2/2019).

Lord Carlile, mantan peninjau legslasi terorisme mengungkapkan, Shamima harus diterima kembali di Inggris jika dia tak menjadi warga negara manapun.

Sebab berdasarkan hukum internasional, Carlile menjelaskan sangat sulit jika seseorang harus dibiarkan tanpa kewarganegaraan.

Sir Peter Fahy, eks kepala polisi yang memimpin pencegahan terorisme saat Shamima kabur pada 2015 berkata, dia maklum jika London tak tertarik memulangkan gadis itu.

Fahy merujuk kepada pernyataan Shamima ketika diwawancarai jurnalis The Times Anthony Loyd bahwa dia tidak menyesal bergabung dengan ISIS.

"Saya bukan lagi gadis konyol 15 tahun yang kabur empat tahun silam. Saya tidak menyesal datang kemari (ISIS)," ungkap Shamima.

Reaksi tersebut mendapat tanggapan dari Menteri Keamanan Ben Wallace yang menyatakan pemerintah tidak akan mengambil risiko untuk berusaha memulangkan Shamima.

"Jika saja Shamima menyatakan penyesalan bergabung dengan ISIS, mungkin situasinya bakal berbeda," ujar Fahy kepada Radio BBC 4's Today.

Sebab untuk memulangkan Shamima, dibutuhkan biaya yang cukup besar serta memberi tantangan bagi polisi yang bertugas mengawalnya.

Para polisi lokal tentu tidak ingin proses pemulangan Shamima bakal menjadi magnet bagi anggota ISIS maupun kelompok ekstremis lainnya.

Sementara di Bethnal Green, kota tempat Shamima tinggal, terdapat reaksi yang menyatakan remaja 19 tahun itu seharusnya diperbolehkan pulang.

Siswa 18 tahun bernama Shakil kepada The Guardian memandang seharusnya Shamima dilindungi oleh polisi dan diberikan rasa aman tinggal di lingkungannya.

Sementara ibu rumah tangga Amina Mohamed yang sudah hidup selama 16 tahun di kota kawasan London Utara itu mengaku terkejut ketika mendengar Shamima pergi ke Suriah.

"Saya sangat khawatir tentangnya. Dia masih bocah. Dia adalah korban dari orang-orang yang memengaruhinya," ujar perempuan 52 tahun tersebut.

Dia mendesak pemerintahan Perdana Menteri Theresa May melakukan segala upaya untuk mengembalikan Shamima ke Bethnal Green.

Menurutnya ketika bergabung dengan ISIS, usianya masih 15 tahun. "Itu bukan salahnya. Tidak ada yang bisa membuat keputusan ketika seseorang berusia 15," terangnya.

Pendapat sama juga disuarakan warga lain bernama Salaga. London harusnya tidak melupakan fakta dia masih berusia 15 tahun ketika berangkat ke Suriah.

"Jika dia sudah berumur 18 tahun, saya tak bakal berkata begini. Namun faktanya, dia meninggalkan Suriah saat masih berada di bawah umur," tutur Sala.

Sementara Stuart mengaku setuju dengan sikap Wallace yang tak ingin membahayakan pasukan Inggris hanya untuk menjemput Shamima.

"Namun saya kira dia harus diizinkan pulang. Dia harusnya ditanyai, bukan diinterogasi, dan solusi perlu dipikirkan untuk mencegah insiden lain di masa depan," paparnya.

Sebelumnya dalam wawancara dengan Loyd, Shamima mengaku ingin kembali pulang setelah empat tahun bergabung dengan ISIS.

Dia menuturkan menyeberang ke Suriah dari Turki pada 2015 bersama Amira Abase dan satu temannya lagi, Kadiza Sultana.

Di Raqqa, dia menikah dengan seorang anggota ISIS asal Belanda bernama Yago Riedijk, dan menjalani kehidupan yang "normal".

"Sejak saat itu hingga sekarang terdengar suara bom. Namun, bagi kami itu adalah hal biasa," ujar Shamima yang tinggal di kamp pengungsi al-Hawl.

Dia mengaku tidak pernah menyaksikan eksekusi secara langsung. Namun pernah melihat ada kepala yang dibuang di tong sampah.

Dia menuturkan keputusannya untuk pulang ke ISIS dikarenakan dia tidak ingin bayi yang dikandungnya meninggal dalam kamp pengungsi.

Shamima mengungkapkan, dia sudah melahirkan dua anak. Namun, mereka meninggal ketika usianya baru menginjak delapan dan 21 bulan.

Kehilangan dua anak membuatnya sangat terguncang. "Saya sangat terkejut dan pada akhirnya saya tidak bisa menerimanya," ujarnya.

Dia juga kehilangan sahabatnya Kadiza yang diyakini terbunuh di Raqqa dalam serangan udara Rusia pada Mei 2016 meski hingga saat ini laporan tersebut belum terkonfirmasi.

Terkait dengan ISIS, Shamima menegaskan dia tidak menyesal meninggalkan Inggris dan bergabung dengan kelompok itu pada 2015.

"Namun, saya tidak berharap tinggi. Jumlah mereka saat ini semakin mengecil. Selain itu, korupsi dan penindasan membuat mereka tak layak menang," lanjutnya.

https://internasional.kompas.com/read/2019/02/15/08401361/jika-shamima-menyesal-gabung-dengan-isis-mungkin-kondisinya-bakal

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke