Salin Artikel

Melihat ke India sebagai Alternatif China

Jadi, ketika saya memulai perjalanan saya, dan saya pikir perjalanan ini wajib dimulai dari arah Selatan di Kawasan Cholas yang bersejarah, saya justru sangat kecewa. Sebab, veshti (pakaian tradisional untuk laki-laki) ternyata telah lama tergantikan oleh celana jins dan chino.

Sekarang India adalah perpaduan banyak hal yang riuh dan beragam – mulai dari Flipkart (e-commerce terbesar di India), taksi Ola, nyanyian rap Ranveer Singh dalam bahasa Hindi, diskriminasi kasta, dan hal-hal yang berasal dari masa lampau.

Anda akan menemukan Adivasi (masyarakat tribal), kasta Dalit, Muslim Sufi, komunitas Jat, dan Brahmana: semua hidup berdampingan namun juga senantiasa dalam konflik.

India juga merupakan tanah asal epik Ramayana dan Mahabharata – yang terukir di sejarah di seluruh Asia Tenggara. Di dataran Gangga, Anda dapat mencari jejak kehidupan dan kematian sang Buddha – sebuah ikatan yang vital dengan sekitar 150 juta umat Buddha di Asia Tenggara.

Tentunya, terdapat beragam kelompok dan agama yang telah meninggalkan pengaruhnya terhadap keyakinan, kepercayaan, dan praktik masa kini, yang berujung ke dunia yang penuh dengan kuil, gereja, sinagog, masjid, dan tempat pemujaan lainnya.

Jadi ketika saya berpergian dan mendengar berbagai bahasa dari Urdu ke Bengali, Marathi, dan Inggris – saya senantiasa sadar akan bayang-bayang yang telah ada sebelum saya.

Perjalanan saya sendiri tidak sekadar mengenai agama dan budaya, bahasa ataupun sejarah. Saya datang untuk mengeksplorasi sebuah “raksasa” yang sering disalahpahami—sebuah keberadaan ekonomi yang akan menjadi pemicu pertumbuhan penting bagi Asia Tenggara, mungkin juga untuk dunia.

Ekonomi India yang sebesar 9,449 triliun dollar AS (saat ini ketiga terbesar menurut perhitungan Keseimbangan Kemampuan Berbelanja atau PPP) dan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) senilai 7,3 persen (pertumbuhan tercepat di antara negara-negara G20), menunjukkan bahwa ketidakpedulian ini harus berakhir.

Berdasarkan dari penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa, India diprediksi akan mengungguli China sebagai negara dengan penduduk terpadat di dunia pada 2024–1,5 miliar penduduk pada 2030.

Angka kelas menengah juga meroket. Dua akademisi Universitas Mumbai, Sandhya Krishnan dan Neeraj Hatekar berpendapat dalam tulisan akademik mereka pada 2017, bahwa jumlah kelas menengah di India telah meningkat hampir dua kali lipat dari 304 juta pada 2004-2005 menjadi 604 juta pada 2011-2012, dengan catatan sebagian besar pertumbuhan ini terjadi di kelas menengah ke bawah.

Hal tersebut telah memicu ledakan besar baik di perkotaan maupun pedesaan karena permintaan untuk barang kebutuhan sehari-hari (FMCG: Fast Moving Consumer Goods) yang menjamur.

Mengingat bahwa minyak kelapa sawit adalah bahan utama di sebagian besar FMCG, India menjadi konsumen dan importir minyak kelapa sawit terbesar di dunia—sekitar 8,7 juta ton pada 2018.

Oleh karena impor sumber daya alam India yang besar (termasuk 31,5 juta ton batu bara per tahun), Indonesia sekarang menikmati surplus perdagangan terbesarnya (8 miliar dollar AS) dengan India.

Namun, mengingat kabut asap yang menyelimuti sebagian besar Delhi dan dataran Gangga–perlu dipertanyakan apakah ekspor batu bara termal untuk pembangkit listrik masih dapat dilakukan dalam jangka panjang.

Area lain yang juga memiliki potensi permintaan besar adalah sektor pariwisata. Organisasi Pariwisata Dunia memprediksikan bahwa India akan menghasilkan 50 juta wisatawan asing pada 2020—dengan estimasi pertumbuhan 10-12 persen per tahun.

Terdapat beberapa rute penerbangan baru antara kota-kota di India dengan negara-negara ASEAN. Sesungguhnya, saya berencana untuk berangkat dengan maskapai LCC lokal Indigo dari Varanasi ke Bangkok akhir bulan nanti.

Beberapa minggu sebelumnya, saya juga naik penerbangan Garuda Indonesia non-stop 7,5 jam dari Mumbai ke Denpasar. World Travel and Tourism Council memperkirakan bahwa pengeluaran pariwisata keluar dari India akan mencapai 28,06 miliar dollar AS pada 2028.

India merupakan kompetitor terbesar Filipina dalam sektor Business Process Outsourcing (BPO) yang bernilai lebih dari 23,8 miliar dollar AS per tahun bagi negara kepulauan tersebut.

Akan tetapi, saat kemajuan dalam Artificial Intelligence (AI) mengancam bisnis di Filipina, India yang unggul dalam sektor pembuatan perangkat lunak, IT, dan teknik justru berada di posisi yang lebih menguntungkan – terutama di kota-kota teknologi seperti Bangalore dan Hyderabad.

Meskipun saat ini tingkat perdagangan dan investasi ASEAN-India belum bisa menandingi level China, kekhawatiran yang berasal dari ambisi si “negara tengah” makin mendesak pentingnya negara di Asia Tenggara untuk memperluas pengetahuan tentang anak benua tersebut dan memperdalam hubungan dengan elit-elit politik dan bisnis India.

Intinya, jika kita lelah dengan "Kaisar" Xi Jinping, maka kita perlu membuat alternatif.
Namun, dengan adanya pemilihan umum pada Juni mendatang, Perdana Menteri BJP Narendra Modi—seorang pria dengan ambisi dan energi yang besar—akan menghadapi pertempuran yang berat dan sulit.

Mantan Menteri Kepala negara bagian Gujarat telah berhasil secara mengejutkan dalam menyatukan kubu oposisi melawan kebijakan “Hindutva” yang ekstrimis, konservatif, dan sektarian.

Memang putaran pemilihan majelis legislatif pada November lalu menunjukkan ayunan anti-petahana di beberapa bekas benteng pertahanan BJP—Rajasthan, Chhattisgarh, dan Madhya Pradesh.

Saya harus bertanya—sejauh mana kita di Asia Tenggara menyadari adanya perubahan yang sekarang berlangsung di Delhi dan di seluruh kawasan tersebut?

Apakah kita memahami bagaimana regionalisme—kepentingan elit-elit provinsi seperti partai Telangana Rashtra Samithi di negara bagian Telengana--telah menjadi faktor dominan dalam perhitungan pemilu?

Apakah kita masih 'membaca' para pemain utama—seperti generasi kelima dinasti Nehru-Gandhi, Rahul dan Priyanka?

Bagaimana dengan kedua wanita kuat asal Uttar Pradesh dan Benggala Barat: Mayawati dan Mamata Banerjee, yang keduanya jelas sama-sama tidak suka dengan Modi dan keluarga Nehru-Gandhi?

Jika Anda tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang potensi India, saya akan menjelajahi anak benua tersebut dari sudut pandang Asia Tenggara yang unik.

India sangat menonjol dalam sejarah Asia Tenggara. Dan tentunya penting terhadap masa sekarang kita.

Dengan China menjadi semakin eksploitatif, Asia Tenggara sangat membutuhkan India untuk memainkan peran yang lebih besar di masa depan kita—ekonomi dan bisnis hanyalah permulaan.

https://internasional.kompas.com/read/2019/02/13/14000051/melihat-ke-india-sebagai-alternatif-china

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke