Salin Artikel

Amandine Mareschi dan Kehangatan Indonesia di Sudut Swiss

Namun, siapa sangka di kota yang terletak di sudut timur laut negeri itu terdapat sosok yang amat mencintai Indonesia.

Dia adalah Amandine Mareschi, seorang perempuan yang sejak berusia amat belia sudah mencintai Indonesia dan budayanya.

Jurnalis yang kini bermukim di Swiss, Krisna Diantha Akassa mengajak pembaca Kompas.com berkenalan dengannya.

GERIMIS jatuh perlahan di kota Saint Gallen, Swiss Timur. Suhu udara melorot hingga 6 derajat Celcius.

Langit gelap dan embusan angin dingin dari Laut Utara mulai menghampiri kota yang terkenal degan sosis sapinya itu.

Semua bergegas, menuju rumah atau tujuannya masing masing. Pada Desember, di saat petang  datang lebih cepat, banyak orang memilih menghabiskan waktu di dalam rumah ketimbang di jalanan.

Tidak terkecuali Kompas.com yang juga bergegas menuju ke sebuah jalan kecil agak temaram di antara toko-toko sepeda yang berjarak hanya 10 menit dari stasiun kereta api Saint Gallen.

Di situlah Kompas.com akan berjumpa dengan seseorang di sebuah apartemen yang pastinya amat hangat jika dibanding suasana jalanan yang temaram dan basah itu.

Dan, saat pintu apartemen di lantai empat itu dibuka, wajah jelita seorang perempuan langsung memberikan kehangatan.

Bukan hanya kehangatan ruangan apartemen tetapi kehangatan Indonesia yang nota bene berjarak 12.000-an kilometer dari tempat itu.

"Ayo, silahkan masuk. Asal tak takut dengan kucing," kata perempuan itu dengan amat ramah dalam bahasa Indonesia dengan aksen Swiss.  

Bau dupa semerbak di ruangan sederhana berlantai kayu itu.  Eclipse, seekor kucing berbulu abu-abu nan tebal mendekatinya.

Seekor kucing lainnya, Simba, memilih bersembunyi di balik selimut. „Dia pemalu, kalau ada tamu, biasanya sembunyi dulu," katanya.


Perempuan pemilik dua ekor kucing itu, memang cukup terikat jiwa raganya dengan Indonesia, khususnya Bali dan Yogyakarta.

"Kalau saya boleh mimpi, suatu saat ingin menetap di Yogyakarta,“ imbuhnya.

Perempuan yang bermimpi ingin tinggal di Yogyakarta itu bernama Amandine Mareschi. Dari nama keluarganya, ada darah Italia mengalir di nadinya. Sementara nama depannya condong ke Perancis.

Tak salah, bapaknya berdarah Italia namun lahir di Perancis, dan Pascale, ibunya, asli Swiss. Amandine  lahir di Jenewa, 30 tahun silam.  

Di Saint Gallen, saat gerimis menyiram kota yang tak jauh dari Jerman dan Austria itu, Amandine sedang menjalani praktik kerja di pengadilan tinggi kota tersebut.

"Tapi, itu tadi, hati saya Indonesia,“ desisnya.

Semua bermula saat plesiran di Bali, ketika Amandine masih berusia 6 tahun. Bukan hanya pura, pantai dan kuliner Pulau Dewata yang menarik hatinya. "Tapi juga budayanya, khususnya bagaimana orang Bali menari,“ akunya.  "Saya ingin seperti mereka, saya ingin menjadi penari, saya jatuh cinta,“ kenangnya.

Kembali ke Jenewa, kepalanya penuh dengan kenangan betapa indahnya orang orang Bali menari.  Apalagi, ibu bapaknya membeli kaset gamelan Bali.

"Tiap hari saya menari, sekenanya, karena memang belum bisa,“ katanya.  

Kesempatan belajar menari Bali tiba ketika di Jenewa, Swiss, ada festival musik. Dari kejauhan, kenang Amandine, terdengar alunan gamelan.

Ke asal suara itulah, Amandine menemukan tiga pemain gamelan, sekaligus minta, jika ada, mengajarkan bagaimana agar bisa menari Bali. "Saat itulah, masih enam tahun, saya belajar menari Bali, “ kenangnya.

Waktu berlalu, dan hari berganti.  Dari anak kecil, imut,  mekar remaja. Tapi hatinya, tetap ke Indonesia.

Setiap kali musim liburan tiba, keluarga ini menyempatkan diri berlibur ke Indonesia,  atas permintaan Amandine. 

Tak hanya makin memperdalam tarian Bali, tapi juga menetaskan persahabatan dengan  orang Bali.

"Lalu saya belajar bahasa Indonesia, sekenanya saja, tanpa guru, hanya dari kamus," katanya.

Saat itu usianya 15 tahun. Gamelan, baik gamelan Jawa dan Bali, juga dipelajarinya. Kemampuan tari Balinya, mencapai 12 buah, sementara empat tari Jawa dia kuasai.

Meskipun kini berada di Swiss, Amandine menganggap Indonesia adalah separuh tanah airnya. "Ya, hati saya ini, untuk Indonesia,“ katanya.

Meskipun banjir pujian publik, lulusan jurusan komunikasi Universitas Jenewa ini, merasa belum sempurna. Taksu, aura magis penari Bali, belum dikuasainya.

"Legong Condong masih sangat sulit, harus saya akui, saya belum bisa. Sulit, sulit dan sulit. Sekaligus menguras tenaga," akunya.  

Amandine, di sela sela kesibukan magangnya di Saint Gallen, sesekali kembali ke Jenewa. Di kota yang menjadi markas besar berbagai organisasi Internasional itu, Amandine menjadi guru tari untuk masyarakat Jenewa.

Apakah dia merasa lelah? "Tentu saja," katanya.  

Namun, semerbak asap dupa dan dua kucingnya, siap menenteramkan hatinya.  Jika sudah demikian, kerinduannya untuk Indonesia, untuk sementara, terobati.


https://internasional.kompas.com/read/2018/12/29/09531661/amandine-mareschi-dan-kehangatan-indonesia-di-sudut-swiss

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke