Salin Artikel

Mekkah dan Madinah Kini “Ijo Royo-royo"

Tidak hanya dari akibat kebijakan Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad Bin Salman (MBS) yang membolehkan kaum wanita mengemudi mobil, yang juga boleh bekerja di perusahaan yang berkaitan dengan layanan publik, seperti penjualan.

Ada yang sangat terasa, perubahan tampilan gurun pasir, bukit-bukit batu di sekitaran Kota Mekkah dan Madinah, yang kini “ijo royo-royo”. Rumput, perdu, tumbuh di mana-mana sampai ke puncak bukit yang sebelumnya gersang dan berbatu.

Gambaran bahwa negeri Arab adalah negeri gurun pasir sirna sama sekali. Pepohonan tumbuh – masih dalam ukuran pendek – di sepanjang sisi jalan raya antara Mekkah dan Madinah sepanjang 480-an kilometer. Pemandangan yang sama sekali belum pernah terjadi sejak belasan abad lalu.

Dua dekade lalu, seorang sahabat yang tinggal di Jeddah berceritera, ketika ia pulang kampung ke Wonogiri pertama kali setelah merantau lebih dari 10 tahun, anak-anaknya yang lahir di Saudi takjub melihat hujan. Boleh dikata seumur hidup mereka tidak pernah merasakan kehujanan dan melihat air mengucur deras dari langit.

Kadang kali terjadi Masjidil Haram kebanjiran. Pernah ketika sebagian jemaah haji masih ada di Padang Arafah, hujan turun deras yang bahkan membawa batu dan kerikil dari puncak bukit di sekitarnya.

Namun tak sampai esoknya, bekas hujan tidak tampak lagi, terserap oleh gurun yang haus air. Itu pula sebabnya kenapa kota-kota di Saudi itu tidak punya selokan di sepanjang sisi jalannya, karena semua air hujan langsung ditelan bumi.

Setidaknya sejak tiga bulan terakhir ini, hujan sering membasahi Tanah Suci, membawa banjir di kota-kota. Dan, ketika air hujan sudah membuat bumi basah kuyup, tumbuhan pun mulai muncul.

Kini Mekkah dan Madinah mulai memiliki pemandangan kehijauan, tidak lagi gurun pasir gersang yang memantulkan panas terik.

Perubahan demi perubahan terjadi, tetapi kebanyakan merupakan hasil kerja manusia. Hujan ini karunia Allah, yang bahkan sesekali mengirimkan hujan salju, yang jelas menghapus derita akibat badai pasir seperti sebelumnya.


Azan empat menara

Dibanding November tahun 1975, sudah banyak perubahan dalam kaitan ibadah haji atau umrah, baik di Mekkah maupun Madinah. Pertama kali tiba di Madinah, ada hal yang sangat berkesan.

Saat waktu shalat tiba, empat menara di Masjid Nabawi mengumandangkan azan dari empat muazin yang berbeda. Mereka memulai dan mengakhiri azan bersama-sama, namun nada dan alunannya berbeda, syahdu sekali.

Di tahun 1975 itu, di Masjidil Haram masih ada petugas pria yang mengatur jemaah agar jemaah lelaki dan wanita terpisah, tetapi “boleh” memegang wanita tanpa kesucian wudhunya batal.

Mereka ini mengenakan jubah hitam, dengan kain putih seperti selendang melilit pinggang, bertopi hitam khusus, dan membawa tongkat. Beda dengan pria Arab umumnya, wajah mereka bersih tanpa kumis atau jenggot.

Konon mereka memang disiapkan orangtuanya sejak kecil, dan untuk itu mereka dikebiri agar tidak memiliki nafsu terhadap lawan jenis, sehingga boleh bersentuhan dengan wanita bukan muhrimnya. Menjelang tahun 1986, pemandangan itu sudah tidak tampak.

Sama juga soal sumur zamzam, yang bisa disaksikan siapa pun yang sedang beribadah di Masjidil Haram, ketika sumur itu masih dalam bentuk asli di bagian bawah di belakang Maqom (tempat berdiri) Ibrahim. Menuruni belasan anak tangga, jemaah bisa melihat satu sumur berdiameter hampir dua meter dengan beberapa pipa masuk ke dalamnya.

Tahun 1975 itu orang hanya bisa minum air zamzam di banyak pancuran kecil dekat sumur, kini air zamzam sudah bisa diambil di drum-drum yang ada di sisi luar pelataran Ka’bah, di sepanjang jalur Sa’i antara Bukit Shawfa dan Marwa dan di luar Mesjidil Haram.

Bahkan air suci itu sudah tersedia pula di Masjid Nabawi di Madinah yang dikirim lewat pipa-pipa besar antara dua kota suci itu.

Air zamzam tersedia setiap waktu. Tidak pernah berhenti mengucur walau jemaah haji membanjir yang jumlahnya sekali berkumpul bisa sampai di atas tiga juta orang. Tetapi di luar musim haji, sumur zamzam juga tidak meluap karena kelebihan pasok.


Baso Mang Udin

Keadaan dekade 1970-an sangat berbeda dengan Arab Saudi setelah 2000. Ketika itu kondisi Saudi masih belum sekaya sekarang, masih belum merasakan gelegar minyak bumi yang dimulai tahun 1976-an.

Tahun-tahun itu penginapan jemaah haji lebih mirip kandang kambing, atau kandang unta dan Jemaah dijejalkan di sana.

Jemaah haji Indonesia zaman itu selalu dibekali sekarung perlengkapan yang isinya antara lain kasur lipat, berbagai makanan kaleng dan beras serta bumbu-bumbu, selain uang biaya hidup 1.500 riyal. Banyak jemaah yang sengaja membawa cobek untuk membuat sambal, juga kompor, panci dan sebagainya.

Saat menunggu kepulangan di bandara Jeddah yang saat itu letaknya masih di tengah kota, banyak orang baduy Arab yang berpakaian sarung menutup lutut, berjubah dan bersorban, datang dan membeli kasur-kasur bekas jemaah. Lumayan laku antara 5 riyal sampai 10 riyal, dan pemandangan seperti itu sudah tidak terlihat lagi sejak penghujung abad ke-20.

Hingga menjelang tahun 2000-an, jemaah haji Iran paling mudah dikenali. Kaum ibunya selain muka dan tangannya dihias tato, juga selalu membawa batu setelapak tangan untuk alas sujud mereka. Karena jemaah haji lelaki tidak boleh menggunakan penutup kepala, perjalanan antara Madinah dan Mekkah pun mereka hanya mau naik bus tanpa atap.

Kini jemaah Iran selalu diperiksa di tiap pintu masjid dan jika kedapatan membawa batu, petugas akan membuangnya karena dianggap menyalahi aturan agama. Pemerintah Saudi pun sudah tidak menyediakan lagi bus-bus tanpa atap, dan jemaah haji Iran juga tidak mampu protes.

Dulu jemaah Indonesia paling suka berbelanja macam-macam ke Pasar Seng di dekat Bukit Marwa, yang nama sebenarnya Souk el Lail, pasar malam hari. Disebut pasar seng karena atap bangunan pasar yang selalu penuh sesak itu memang berupa seng.

Kini pasar seng sudah musnah, digusur untuk pelebaran halaman Masjidil Haram, juga Baso Mang Udin yang terkenal di ujung depan pasar seng. Pemerintah Saudi juga memberi kemudahan dengan membangun jalur kereta api cepat antara Madinah dan Mekkah, terus ke Padang Arafah.

Jalur kereta api pernah dimiliki Kerajaan Saudi sebelum ditutup tahun 1960-an. Di tahun 1975 masih ada sisa-sisa depo lokomotif kereta uap di Madinah.

Lama perjalanan darat antara dua kota itu tahun 1975 sekitar delapan jam, tahun 80-an belum berkurang, tahun 2010 tinggal lima jam. Kini dengan kereta api jarak 486 kilometer itu bisa ditempuh dalam tiga jam.

Bagi banyak jemaah, rangkaian ibadah wukuf, thawaf, sa’i dan perjalanan darat ratusan kilometer terasa ringan saja. “Yang berat itu oleh-olehnya,” kata Ny Ratnasari, seorang jemaah umroh.

https://internasional.kompas.com/read/2018/12/24/14071101/mekkah-dan-madinah-kini-ijo-royo-royo

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke