Salin Artikel

Setelah Australia Merapat ke Jerusalem...

ISU relasi Israel-Palestina terus menjadi perbincangan dunia. Mulai dari konflik yang membara di Jalur Gaza, bencana kemanusiaan yang terus terjadi, hingga sengkarut perebutan wilayah di Jerusalem, menyedot perhatian publik.

Isu Israel-Palestina juga menjadi medan kontestasi kekuatan politik dan diplomasi antara negara-negara yang memiliki irisan kepentingan, yaitu Amerika Serikat (AS), China, Turki, Rusia, dan negara-negara Eropa.

Pemerintah AS mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Negara Israel. Bahkan, pemerintah AS telah memindahkan kantor kedutaan negaranya untuk Israel ke Jerusalem pada Mei 2018.

Pemindahan kantor kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem itu menimbulkan polemik panjang dan perdebatan di berbagai negara. Manuver Presiden AS Donald Trump ini juga memicu naiknya temperatur politik di perbatasan Israel-Palestina.

Belakangan, mengikuti Amerika Serikat, pemerintah Australia berencana memindahkan kantor Kedutaan dari Tel Aviv ke Jerusalem, merujuk rencana yang diungkapkan Perdana Menteri Australia Scott Morisson. 

PM Morrison menegaskan bahwa pemikirannya didasarkan pada diskusi panjang dengan mantan Dubes Australia untuk Israel, Dave Sharma.

Meski Sharma merupakan calon kelompok pemerintah untuk pemilu sela memperebutkan kursi yang ditinggalkan PM Malcolm Turnbull, Morrison membantah bahwa pernyataannya ditujukan untuk menggaet simpati dan dukungan dari komunitas Yahudi.

Lebih lanjut, PM Morrison menyatakan ingin mendorong diplomasi politik Australia dalam proses perdamaian Israel-Palestina, pada pewujudan solusi dua negara.

“Kami berkomitmen pada solusi dua negara, namun terus terang saja, keadaannya tidak begitu bagus, tak banyak kemajuan yang dicapai,” ungkap Morrison seperti dikutip BBC pada Selasa (16/10/2018).

PM Morrison mengakui, skenario politik Australia untuk masa depan Israel-Palestina adalah Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina dan Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel.

Menyikapi rencana itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan betapa rencana pemerintah Australia akan memicu konflik baru, serta mengancam stabilitas kawasan. Karenanya, dia meminta rencana itu tidak dilanjutkan.

“Untuk terus mendukung proses perdamaian Palestina-Israel sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah disepakati dan tidak mengambil langkah yang dapat mengancam proses perdamaian itu sendiri dan mengancam stabilitas keamanan dunia,” ungkap Retno.

Pernyataan ini disampaikan Retno Marsudi ketika menerima kunjungan Menlu Palestina, Riyad al-Maliki di Jakarta Selasa (16/10/2018). Pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah Israel, selama belum tercapai solusi dua negara dengan Palestina.

Two state solution

Manuver Scott Morrison dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah Australia ingin memainkan diplomasi internasional dalam isu Israel-Palestina.

Meski jangkauan politik untuk menarik simpati kelompok Yahudi di Australia juga tidak bisa ditutupi, ungkapan Morrison menyatakan bahwa solusi dua negara merupakan keinginan pemerintah Australia—walau proses menuju target tersebut susah terjadi.

Solusi dua negara (two state solution) merupakan tawaran diplomatik bagaimana kawasan Jerusalem—yang selama ini diperebutkan antara Israel dan Palestina—dapat dimiliki bersama. Warga kedua negara dapat hidup berdampingan dengan damai, saling mengisi, serta memiliki kesempatan yang sama.

Namun, solusi ini masih jauh panggang dari api. Kedua belah pihak—Israel dan Palestina—saling mengunci dengan tawaran masing-masing. Sementara itu, negara-negara lain juga saling memiliki kepentingan di tengah konflik, dengan tarikan dari isu ekonomi, politik, agama, hingga militer internasional.

Avi Shlaim, Professor Emeritus di Oxford University dan penulis buku Iron Wall: Israel and the Arab World (2015), mengungkap bahwa sekarang ini yang terpenting bukanlah isu dua negara atau satu negara.

“The question today is no longer one state or two states but the protection of basic Palestinian rights, both individual human rights and the collective right to national self-determination,” kata Avi Shlaim seperti dikutip Aljazeera pada Jumat (24/2/2017).

Meski demikian, Avi Shalim melempar kritikan berupa lemahnya otoritas kepemimpinan di Palestina. Konflik internal antara Fatah dan Hamas juga menjadi kendala tersendiri bagi upaya meningkatkan daya tawar diplomasi Palestina.

Lalu, bagaimana posisi Indonesia di tengah peta diplomasi internasional dalam isu Israel-Palestina?

Seperti tercermin dalam pernyataan resmi Presiden Joko Widodo, program-program Kementerian Luar Negeri, dan statemen Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Pemerintah Indonesia ingin berada di tengah-tengah, sebagai juru damai internasional.

Di tengah gelombang pasang populisme, Presiden Joko Widodo juga terlihat tidak mau terbelit isu Palestina yang menjadi isu sensitif bagi umat Muslim Indonesia. Presiden Jokowi tidak ingin kehilangan pesona sebagai juru damai, sekaligus tetap membela Palestina, terutama pada momentum politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Namun, sebenarnya di tengah sengkarut konflik Timur Tengah, khususnya relasi Israel-Palestina, Indonesia memiliki tokoh-tokoh publik yang selama ini bergerak pada isu perdamaian internasional.

Selepas generasi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), muncul sosok Gus Yahya C Staquf yang gagasan dan kiprahnya mulai dikenal dunia. Gus Yahya C Staquf menginisiasi program-program strategis dalam diplomasi kultural di ranah internasional untuk mencipta perdamaian dan menebarkan welas asih.

Jika diplomasi politik negara terbelit oleh jebakan-jebakan politik domestik dan tantangan kebekuan politik antar-negara, diplomasi melalui kekuatan jaringan ormas dan kebudayaan menjadi nilai plus bagi Indonesia di belantara politik internasional.

https://internasional.kompas.com/read/2018/11/06/08313411/setelah-australia-merapat-ke-jerusalem

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke