Salin Artikel

Pelajaran Pahit soal Demokrasi dari Amerika

Catatan Damar Juniarto yang selama 21 hari mengikuti Visitor Leadership Program (IVLP) 2018 bertema Cyber Policy and Online Freedom of Expression di Amerika Serikat.


SAAT hari pertama saya tiba di Amerika Serikat sebagai peserta International Visitor, siaran televisi sedang giat menayangkan rentetan berita apakah Brett Kavanaugh akan lolos menjadi Ketua Hakim di Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Pilihan Donald Trump pada hakim Kavanaugh tidak serta merta kemudian memuluskan jalannya menjadi hakim agung, karena Kavanaugh dituding sebagai pelaku penyerangan seksual, bukan hanya oleh satu orang, tetapi sejumlah korban.

Yang pertama, Christine Blasey Ford, seorang profesor di Palo Alto Universitas California. Yang kedua, Deborah Ramirez, relawan di Safehouse Progressive Alliance for Nonviolence (SPAN) yang bekerja bagi para korban KDRT dan menghubungkan dengan orang-orang yang bisa memberikan bantuan.

Doktor Christine mengatakan kepada media Washington Post bahwa Kavanaugh menahannya di sebuah pesta sekolah menengah pada 1980-an dan berusaha memerkosa dirinya, bahkan menutup mulutnya agar tidak melakukan protes.

Tuduhannya didokumentasikan oleh terapisnya dalam catatan dari sesi pada tahun 2012 dan 2013, di mana Christine Ford berbicara tentang "upaya perkosaan" dan diserang oleh siswa "dari sekolah anak laki-laki elitis."

Sementara Debbie Ramirez mengatakan kepada media New Yorker bahwa 35 tahun lalu, Kavanaugh melakukan aksi eksibisionis dengan memertontonkan alat kelaminnya ke wajahnya selama pertandingan minum-minum sebuah kelompok di sebuah pesta tahun pertama mahasiswa di Universitas Yale.

Baik Debbie Ramirez dan Christine Ford telah meminta penyelidikan FBI untuk memeriksa tuduhan mereka, tetapi Partai Republik telah menolak permintaan itu dengan mengatakan FBI tidak bisa menilai kredibilitas tuduhan.

Peristiwa ini memicu banyak aktivis perempuan yang berada di belakang gerakan #MeToo — yang beberapa kali muncul dalam persoalan pemerkosaan perempuan oleh laki-laki berkuasa — vokal sekali mengajak agar Amerika tidak menjadikan seorang dengan reputasi sebagai “pemerkosa” menjadi hakim tinggi di Mahkamah Agung.

Bahkan waktu saya melintas di depan gedung Mahkamah Agung di Washington D.C., poster-poster KAVA NO ditempelkan di ruang-ruang publik.

Sekalipun dengar pendapat dilakukan beberapa hari kemudian menyusul penolakan pencalonan Kavanough dan silang pendapat di media antara media partisan Partai Republik seperti Fox TV dan media partisan Partai Demokrat dan media-media yang independen.

Bahkan sempat pula saya menonton saat Kavanaugh menuding pengakuan-pengakuan itu adalah tak lebih dari aksi yang diorkestrasi untuk mencemarkan nama baik dirinya. Isi pikiran dan hati saya berharap orang ini tidak diberi jabatan strategis dalam mengisi kursi keadilan.

Namun pada akhirnya saya mendengar Kavanaugh tetap terpilih menjadi hakim agung dengan angka tipis, menang 2 suara. Saya sempat terpana, tidak menyangka ini terjadi di negeri yang sejak awal abad ke-19 sudah mengakui perempuan setara dengan laki-laki. Tapi Inilah pelajaran pertama dari Amerika.

Berjuang mempertahanan demokrasi

Gagasan-gagasan persamaan hak warga yang kami kunjungi di National Constitution Center dan gedung-gedung bersejarah di kota tua Philadelphia ternyata membutuhkan waktu lama untuk menjadi nyata di Amerika.

Pada kenyataannya, hingga hari ini, Amerika masih berjuang untuk memertahankan demokrasi di dalam negerinya sendiri.

Siapa yang menggerusnya dari dalam? Tak lain dari presidennya sendiri, Donald Trump dan tribal politik yang mendukungnya.

Tidak sulit bagi saya untuk memahami, Amerika saat ini sedang dilanda kegamangan luar biasa pada amandemen pertama dari konstitusi yang ditulis oleh para founding fathers negara ini.

Dalam amandemen itu dijamin kebebasan berkumpul, berpendapat dan perlindungan privasi warga, tetapi ketiganya seperti tengah mendapat cobaan luar biasa dari para elit politik yang memamerkan perilaku yang menodai makda demokrasi itu sendiri.

Majalah The Atlantic menurunkan edisi khusus bulan Oktober 2018 dengan tajuk “Is Democracy Dying?” dengan menunjukkan banyak cacat cela, mulai dari pemilu yang direcoki oleh peran Rusia untuk memengaruhi pilihan politik pada pilpres sebelumnya, tribalisme politik yang memecah belah bangsa Amerika, hingga kualitas demokrasi yang merosot di era Trump ditandai dengan politik identitas.

Di luar politik, semisal pada isu netralitas jaringan yang kerap dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan kami dengan instansi dan organisasi seperti Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Comission/FTC) dan Komisi Komunikasi Federal (Federal Communication Commision/FCC) sebetulnya memberi petunjuk jelas bagi saya bagaimana perlindungan privasi konsumen di Amerika sebenarnya didikte oleh perusahaan-perusahaan teknologi dan media.

Ketika para konsumen berteriak keras dan akhirnya didengar pada tahuh 2015 oleh FCC, itupun setelah Obama sebagai presiden memerintahkan FCC untuk segera memutuskan soal tidak boleh adanya pembatasan konten pada jaringan komunikasi atas dasar monopoli, kita melihat lambatnya negara hadir bagi publik. Tetapi berganti rezim, berganti pula kebijakannya.

Malahan ketika pembuat kebijakan di negara bagian California telah berupaya keras untuk melindungi warganya dari praktik pelanggaran privasi berupa pengambilan data konsumen online, negara bagian itu malahan dituntut oleh Jaksa Agung Federal karena dianggap membuat peraturan yang melampaui kewenangan negara bagian.

Ada sinyalemen bahwa di balik tuntutan Jaksa Agung Federal itu berdiri dua perusahaan media paling bergengsi di Amerika Serikat. Itu berarti, negara yang seharusnya berdiri untuk publik, justru takluk didikte oleh korporasi. Pelajaran kedua yang membuat saya geleng-geleng kepala.

Bahkan ketika ada desakan agar perusahaan-perusahaan media sosial menjadi “polisi konten” yang bertugas memblokir, menutup akun, melakukan take down, atas desakan politik dan kekuatan modal, mereka yang bersuara menentang bisa dihitung dengan jari.

Saya menaruh respek pada organisasi-organisasi masyarakat sipil yang masih mau berjuang di Amerika ini, meskipun menurut penilaian saya pribadi, sepertinya masyarakat Amerika sedang defisit pejuang hak-hak kebebasan berpendapat, berkumpul dan privasi.

Bagi saya, kejayaan demokrasi Amerika terbukti tak lebih baik dari film Rambo yang diperankan Silvester Stallone. Itu pelajaran ketiga yang saya dapatkan.

Tentu semua pelajaran itu tak melulu buruk. Saya melihat dalam kacamata reflektif dan menjadikan pelajaran-pelajaran ini sebagai palang-palang penanda yang tidak boleh terjadi di Indonesia. Indonesia harus belajar, jangan sampai menjadi seperti Amerika sekarang ini.

https://internasional.kompas.com/read/2018/10/19/17025631/pelajaran-pahit-soal-demokrasi-dari-amerika

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke