Salin Artikel

Renungan Seorang Biksu Thailand

Ketika gurunya, Phra Upaseno, menahbiskannya sebagai biksu, ia mengambil arti nama yang sama dalam bahasa Pali, yakni “Visuddho”. Pali adalah bahasa yang digunakan dalam teks Buddha.

Lahir di Yaowarat, kawasan pecinan di Bangkok, Phra Visuddho adalah seorang Cina-Thai yang besar sambil membantu orangtuanya menjalankan sebuah toko buah di akhir pekan.

“Tiap kali saya harus membuka toko, saya akan bangun jam enam pagi,” Pisut mengawali ceritanya.

Seharian menjaga toko orangtuanya, seringkali pikiran muda Pisut beraksi. Mengamati orang yang datang dan pergi, ia penasaran apa yang membuat mereka tersenyum atau merengut.

“Pada umur sembilan tahun, saya sudah memikirkan apa makna dari ‘menjadi bahagia’. Itulah mengapa saya ingin menjadi biksu, untuk memahami kebahagiaan – tidak secara fisik, tapi lebih ke keabadian,” tuturnya.

Saat berusia dua belas tahun, dia dan keluarganya pindah ke pedesaan di Provinsi Nonthaburi. “Bangkok adalah tempat yang padat dan penuh polusi, sedangkan Nonthaburi banyak hutan. Udaranya sejuk, dan tidak ramai,” paparnya memberi alasan kenapa dia dan keluarganya pindah.

Meskipun begitu, Pisut selalu kembali ke Bangkok pada akhir pekan bersama ayahnya untuk mengurus bisnis keluarga.

“Saya harus bangun pagi sekali. Ini membantu saya bersiap untuk kehidupan sebagai biksu. Sebagai biksu, saya perlu bangun sebelum jam enam untuk bintabaht,” katanya. 

Bintabaht adalah sedekah berupa makanan yang diberikan kepada para biksu. “Sebelum tengah hari, saya bisa makan. Setelahnya, saya hanya bisa minum air atau jus,” katanya.

Di tahun terakhir SMP, Pisut memantapkan diri untuk belajar sosiologi. “Saya ingin mempelajari diri kita sendiri – sebagai manusia – dan tentang kehidupan,” tuturnya.

Dia kemudian belajar di Universitas Kasetsart di Bangkok. Ketika menginjak usia 22 tahun, kakak laki-lakinya sempat menjadi seorang biksu. Penahbisan secara singkat merupakan sebuah tanda kedewasaan untuk pemuda Buddha Thai.

Namun setelah 45 hari, dia kembali bekerja di toko buah keluarga. “Sebenarnya, ia ingin terus menjadi biksu. Namun keluarga saya memiliki pandangan yang berbeda. Di dalam tradisi China, salah satu anak lelaki harus merawat orangtua,” Pisut menjelaskan.

“Jadi ketika saya umur 23 tahun, saya memberitahu ibu saya kalau saya juga ingin menjadi biksu.” Sang Ibu berkata, “Oke, kamu bisa ditahbiskan, namun hanya untuk dua pekan… itu sudah cukup.”

Pisut tidak puas dengan periode singkat itu. Ia menolak tawaran ibunya tersebut. “Karena saya tidak menjadi biksu saat itu, saya pergi ke Inggris untuk pendidikan Master di Sosiologi. Saya masih penasaran pemikiran akan hidup,” katanya.

Lalu, ayahnya jatuh koma setelah enam tahun melawan kanker hati. Pisut langsung kembali ke Bangkok. Setelah sepuluh hari tak sadarkan diri, sang ayah pun wafat.

Kematian ayahnya mengubah pandangan Pisut terhadap kehidupan. Pisut, saat itu 23 tahun, kembali ke mimpinya untuk menjadi biksu, terusik dengan ide kematian.

“Jika saya menunggu saat yang tepat, itu tidak akan terjadi. Harus saat itu, atau tidak sama sekali,” tegasnya.

Saat ini, Pisut berusia 36 tahun dan tinggal di Wat Saket, Kuil Gunung Emas di Bangkok.
Phra Visuddho melihat konflik di wilayah Selatan sebagai penghalang terbesar untuk Thailand, dan juga untuk keyakinannya. Pandangannya – tak mengejutkan – cukup konservatif.

“Tiap kali saya mendengar kabar tentang kekerasan, saya selalu mengasosiasikan dengan pelaku yang ingin mendorong agendanya melalui aksi ekstrimis. Solusinya sulit,” papar Visuddho.

Walaupun ia bersikukuh tidak memiliki perasaan buruk terhadap penganut agama lain, biksu kelahiran Bangkok ini secara tidak langsung mengungkapkan sebuah pemisah penting di Asia Tenggara yang muncul dalam konflik pemeluk agama yang berbeda, yang kebetulan adalah representasi agama mayoritas dengan minoritas.

Para biksu menawarkan sebuah solusi segera yang ia percaya perlu diambil oleh Pemerintah Thailand. “Mereka perlu menjadikan Buddha sebagai agama negara,” ujarnya.

Tak hanya Phra Vissudho yang mendukung kebijakan yang dapat menciptakan konsekuensi buruk untuk Kawasan Selatan. Desakan untuk menjadikan Buddha sebagai agama nasional ke dalam konstitusi telah diajukan dua kali dalam sepuluh tahun terakhir.

Sejak 2004, provinsi seperti Pattani, Yala, Narathiwat, dan beberapa bagian di Songkhla telah mengalami peningkatan dalam kekerasan. Diduga, separatis Barisan Revolusi Nasional (BRN) telah memimpin serangan terhadap populasi Thailand yang mayoritas Buddha.

Agama lain yang bersanding dengan Buddha di Thailand, seperti Islam, memegang peranan penting dalam identitas Patani.

Kerajaan tersebut baru dianeksasi Thailand (saat masih menjadi Siam) pada 1902. Oleh karena itu, kawasan tersebut masih memegang identitas yang unik, adat, agama, dan bahasa yang berbeda.

Selama 14 tahun setelah kekerasan kembali marak, 7.000 orang telah tewas dan 12.500 terluka. Meskipun ada upaya juga dari pihak internasional dan domestik, masih belum ada titik terang dari konflik seabad ini.

Di saat yang sama, ia merasa bahwa metode yang digunakan oleh para separatis menjadi semakin brutal. Terutama ia khawatir akan penargetan guru-guru Buddha.

Ketika ditanya mengenai peran komunitas Buddha dalam mengakhiri kekerasan ini, jawaban Phra Visuddho seakan tak acuh dan juga tak dalam. “Buddha mengajarkan kasih dan bagaimana memahami sesama. Kami para biksu akan membantu mengurangi tensi antaragama,” katanya.

“Buddha akan mendukung agama lain. Buddha tidak memaksa,” paparnya lebih lanjut. Namun, kata Pisut, para kaum etnis dan agama garis keras perlu sadar bahwa tanggung jawab atas terbentuknya masyarakat yang damai dan progresif ada di tangan pihak mayoritas dan minoritas secara berimbang.

Semua memerlukan keseimbangan – sesuatu yang juga ditekankan dalam agama Buddha. Perdamaian di antara beragam kelompok etnis dan agama di Asia Tenggara tidak akan terjadi kecuali jika kaum minoritas diberi ruang untuk menganut kepercayaan, budaya, dan bahasa mereka, dalam rangka mencari tempat di negara mereka masing-masing.

Sepertinya untuk Buddha Thai sebagai mayoritas dan juga agama lain yang bersanding, mereka sangat perlu untuk lebih “melihat ke dalam”. 

https://internasional.kompas.com/read/2018/04/01/16230811/renungan-seorang-biksu-thailand

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke