Salin Artikel

Ketika Gedung Putih Terbelah dengan Wacana "Bloody Nose" ke Korut

Namun, negeri komunis tersebut tetap kukuh dalam mengembangkan senjata nuklir dan rudal balistiknya.

Karena itu, Presiden Donald Trump dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk melakukan serangan "Bloody Nose" kepada Korut.

Newsweek melansir Kamis (1/2/2018), Bloody Nose adalah wacana untuk mengirim operasi militer skala kecil ke Korut.

Secara jumlah, kebijakan tersebut tidak akan berimbas kepada deklarasi perang. Namun, efektivitas serangan tersebut diyakini bisa memaksa Korut melakukan denuklirisasi.

Wacana untuk melakukan "Bloody Nose" tersebut langsung membuat Gedung Putih terbelah.

CNN melaporkan, penasihat keamanan nasional, HR McMaster langsung menyatakan persetujuannya.

Dalam pandangannya, McMaster menyatakan bahwa mereka harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa sejak awal Korut tidak berniat untuk menggelar negosiasi damai.

"Mungkin, ini adalah waktu yang tepat untuk memberi Korut pelajaran lewat kekuatan kami," tegas McMaster.

Namun, dua menteri utama Trump, Menlu Rex Tillerson dan Menhan James Mattis, langsung meminta presiden 71 tahun tersebut agar meninjau ulang opsi militer.

Desakan peninjauan yang dilakukan Tillerson dan Mattis mendapat dukungan dari mantan menteri pertahanan era Barack Obama, Chuck Hagel.

Dalam wawancaranya dengan Military Times, Hagel berujar "Bloody Nose" adalah sebuah taruhan yang sangat berbahaya.

"Sangat naif jika berpikir Kim Jong Un tidak akan membalas serangan tersebut. Taruhannya sangat mahal bagi saya," tegas Hagel.

Dukungan juga datang dari Victor Cha, mantan penasihat hubungan Korea saat Presiden George W Bush.

Dalam tulisannya di Washington Post, opsi militer bakal menimbulkan perang di Semenanjung Korea, yang tentu saja membahayakan warga AS di Korea Selatan (Korsel).

"Dibandingkan dengan populasi AS di Jepang, warga kita di Korsel tidak mempunyai sistem pertahanan udara yang canggih," kata Cha.

Akibatnya, warga AS di Korsel yang jumlahnya hampir sama dengan Pittsburgh terancam jadi korban pembalasan Kim.

Namun, karena tulisannya, Cha dikabarkan tidak jadi diangkat sebagai Duta Besar AS untuk Korsel.

Keputusan tersebut langsung disayangkan oleh pengamat kebijakan nuklir, Catherine Dill. "Pembatalan status Cha menunjukkan AS butuh sosok yang bisa mendukung opsi militer," ujarnya kepada South China Morning Post.

Sebelumnya, Trump selalu mengancam bakal "membumihanguskan" Korut jika tidak melakukan denuklirisasi.

https://internasional.kompas.com/read/2018/02/02/20495331/ketika-gedung-putih-terbelah-dengan-wacana-bloody-nose-ke-korut

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke