Salin Artikel

Agen Wanita Korut yang Ledakkan Pesawat Korsel Beberkan Kisahnya

Kim Hyon Hui adalah salah satu dari dua agen Korea Utara yang meledakkan penerbangan 858 dari Baghdad menuju Seoul yang menewaskan 151 penumpang dan awaknya.

Pesawat Boeing 707 itu jatuh di Laut Andaman lepas pantai Myanmar pada 29 November 1987, sekitar enam bulan sebelum Olimpiade Seoul digelar.

Kepada CNN yang mewawancarainya di sebuah tempat yang dirahasiakan, Kim Hyon Hui mengatakan, aksinya tersebut  adalah perintah langsung dari pemimpin Korea Utara saat itu Kim Jong Il.

"Tujuannya adalah menggagalkan Olimpiade Seoul 1988," kata perempuan berusia 55 tahun itu.

Peristiwa mengenaskan itu sudah terjadi hampir tiga dekade lalu, tetapi Kim memperingatkan bahwa negeri itu belum berubah sejak dia menjadi agen mata-mata Korea Utara.

Sejak saat itu, Korea Utara belum menyatakan permintaan maaf atau pertanggungjawaban atas tragedi tersebut.

Sebelum menjalankan tugasnya, Pemerintah Korea Utara melatih Kim selama tujuh tahun untuk menjadi seorang agen rahasia.

Kim dipilih langsung dari universitas saat baru berusia 18 tahun berkat kemampuannya berbahasa asing.

Kemudian Kim menghabiskan waktu satu tahun menjalani latihan di sebuah fasilitas rahasia di pegunungan.

Di sana dia dilatih ilmu bela diri, menembak, komunikasi radio, dan bertahan hidup di alam liar.

Lalu Kim belajar bahasa Jepang dari Yaeko Taguchi, perempuan Jepang yang menurut dia diculik Pemerintah Korea Utara.

Untuk mengasah kemampuannya berbahasa Jepang, Kim tinggal selama dua tahun bersama Yaeko Taguchi.

Selanjutnya, Pemerintah Korea Utara mengirim Kim ke kota Guangzhou, China, untuk memperlancar bahasa Mandarin.


Pada November 1987, Kim tiba-tiba dipanggil pulang ke Pyongyang dan diputuskan dia sudah siap untuk menjalankan misi berbahaya.

Penugasan itu diterima Kim pada tengah malam langsung dari pemimpin tertinggi dinas intelijen Korea Utara.

Setelah menerima pengarahan, Kim dan rekan prianya, Kim Seung Il, dikirim ke Vienna, Austria, dengan menyamar sebagai pasangan asal Jepang.

Di ibu kota Austria itulah kedua agen Korea Utara itu mendapatkan bom yang akan ditaruh di dalam sebuah pesawat milik Korean Air.

"Bom itu berupa sebuah radio Panasonic kecil. Di belakangnya terdapat beberapa baterai. Separuh baterai itu merupakan peledak kimia dan sisanya adalah baterai biasa," papar Kim.

Setelah menerima bom itu, mereka lalu membawa benda berbahaya itu ke Baghdad, Irak.

Namun, saat mereka hendak naik ke atas pesawat Korean Air yang menjadi target, petugas keamanan sempat mengambil baterai itu dari radio.

Kim gugup karena tanpa baterai itu bom berupa radio transistor tersebut tak akan bekerja.

"Saya kemudian mengambil kembali baterai itu, memasangnya kembali, dan menyampaikan keluhan kepada petugas," kenang Kim.

"Saya lalu menyalakan radio itu dan setelah radio menyala, saya katakan kepada petugas bahwa mereka terlalu berlebihan," tambah Kim.

Akhirnya, petugas keamanan mempersilakan Kim membawa radio itu ke dalam pesawat.

"Saya sempat berpikir setelah melihat para penumpang. Saya sempat berpikir bahwa mereka semua akan tewas. Saat itu saya merasa lemah karena memikirkan hal tersebut. Saya melakukan ini demi unifikasi Korea," lanjut Kim.

Kim lalu menaruh radio tersebut di tempat penyimpanan barang di atas kepalanya dan menelan pil untuk menenangkan diri.

Pesawat itu kemudian meninggalkan Baghdad dan melakukan transit di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Di kota itulah Kim dan rekannya turun dari pesawat.

Sesaat kemudian penerbangan 858 melanjutkan perjalanannya menuju Seoul. Di atas Laut Andaman, bom radio itu meledak dan mengakibatkan pesawat berisi 115 penumpang itu jatuh ke laut.


Sesuai rencana, Kim dan rekannya harus melarikan diri lewat Roma dan Vienna. Namun, rencana tersebut gagal setelah mereka ditangkap di Bahrain.

Akhirnya, mereka terpaksa melaksanakan rencana "B", yaitu menelan pil berisi racun sianida yang disembunyikan di dalam filter rokok.

"Kami dilatih bahwa jika seorang agen gagal melaksanakan tugas, dia harus bunuh diri. Kami harus menelan pil sianida untuk menjaga rahasia," lanjut Kim.

"Kami tahu, jika kami tak melakukannya, keluarga kami di Korea Utara akan menderita, jadi kami memilih menelan pil itu meski sempat terlintas hidup saya selama 25 tahun harus berakhir."

Kim dan rekannya kemudian menelan pil itu. Namun, pil itu ternyata tidak menewaskan Kim meski rekannya meninggal.

Setelah ditangkap, Kim diekstradisi ke Seoul dan selama delapan hari dia mencoba bertahan dengan membantah semua tuduhan yang dilontarkan kepadanya.

Namun, akhirnya agen perempuan itu menyerah, diajukan ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman mati pada Maret 1989.

Namun, kemudian presiden Korea Selatan saat itu mengampuni Kim meski keputusan itu ditentang partai oposisi.

Presiden Roh menilai, Kim adalah korban rezim Korea Utara, sama dengan seluruh korban Korean Air penerbangan 858.

"Saat saya mengetahui telah diampuni, saya tak merasa bahagia, tetapi saya memikirkan ibu saya di Korea Utara. Dia pasti bahagia putrinya tidak jadi dihukum mati," ujarnya.

"Namun, saya merasa sebagai seorang pendosa. Seharusnya saya juga mati," dia menegaskan.

Setelah menerima pengampunan, Kim bekerja untuk dinas rahasia Korea Selatan sebelum menikah dengan salah seorang pengawalnya dan kini memiliki dua anak.

Kim pernah menulis sebuah memoir yang mengisahkan seluruh pengalaman hidupnya. Dia kemudian mendonasikan hasil penjualan bukunya kepada korban Korean Air 858.

"Sebagai saksi hidup kejahatan Korea Utara, saya beberkan kebenaran dan saya berada di garis depan untuk mencegah serangan semacam ini terjadi kembali," kata dia.

"Korea masih dalam kondisi perang jika dilihat dari sisi ideologi dan cara berpikir," papar Kim.

https://internasional.kompas.com/read/2018/01/24/13000021/agen-wanita-korut-yang-ledakkan-pesawat-korsel-beberkan-kisahnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke