Salin Artikel

Konflik Israel-Palestina (1): Zionisme dan Imigrasi Bangsa Yahudi

Berbagai kelompok di Palestina sudah menyatakan kemarahannya terhadap Amerika Serikat dan Israel begitu pula sejumlah negara di dunia.

Yerusalem merupakan ganjalan utama dalam perdamaian Israel-Palestina karena kedua negara sama-sama mengklaim kota tua itu sebagai ibu kota.

Langkah AS ini dikhawatirkan akan menambah panjang konflik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Palestina.

KOMPAS.com — Namun, berbicara soal konflik modern Israel-Palestina sebaiknya kita merunut hingga akhir abad ke-19 sebelum pecahnya Perang Dunia I.

Saat itu, Timur Tengah merupakan wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki selama lebih dari 400 tahun.

Menjelang akhir abad ke-19, Palestina atau saat itu disebut Suriah Selatan dipecah menjadi Provinsi Suriah, Beirut, dan Yerusalem oleh penguasa Ottoman.

Saat itu Palestina didominasi warga Arab Muslim dengan sedikit warga Kristen Arab, Druze, Sirkasian, dan Yahudi.

Meski hidup di bawah penjajahan bangsa Turki, kehidupan di kawasan ini bisa dikatakan jauh dari konflik dan kekerasan.

Sementara itu, nun di Benua Biru, warga Yahudi yang banyak tersebar di Eropa Tengah dan Eropa Timur sudah sejak lama memimpikan "kembali ke Zion" atau sederhananya adalah kembali ke tanah yang dijanjikan Tuhan.

Namun, imigrasi ke Palestina atau yang mereka sebut sebagai Tanah Israel baru dilakukan secara individual atau kelompok-kelompok kecil dan niat mendirikan sebuah negara Yahudi belum tebersit.

Niat mendirikan negara Yahudi muncul sekitar 1859-1880 ketika gelombang anti-Semit mulai melanda Eropa dan Rusia. Inilah yang memicu terbentuknya Gerakan Zionisme pada 1897.

Gerakan ini menginginkan pembentukan sebuah negara Yahudi sebagai suaka untuk semua bangsa Yahudi di berbagai pelosok dunia.

Kelompok ini pernah mempertimbangkan beberapa lokasi di Afrika dan Amerika sebelum akhirnya memilih Palestina sebagai tujuan akhir.

Seperti disinggung di atas, Palestina saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki.

Gerakan Zionisme yang didukung Dana Nasional Yahudi kemudian mendanai pembelian tanah di Palestina yang masih menjadi jajahan Ottoman Turki untuk pembangunan permukiman para imigran Yahudi.


Gelombang imigrasi Yahudi setelah terbentuknya Organisasi Zionis Dunia kini menjadi lebih terorganisasi dengan tujuan yang jauh lebih jelas pada masa mendatang.

Pada awalnya, imigrasi warga Yahudi dari Eropa ke Palestina tidak menimbulkan masalah di kawasan tersebut.

Namun, dengan semakin banyaknya imigran Yahudi yang datang, semakin banyak pula tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan permukiman. Konflik dan sengketa perebutan tanah tak jarang terjadi di antara kedua bangsa ini.

Jadi, kekerasan pertama yang menimpa para imigran Yahudi pada 1880-an di Palestina, khususnya yang dilakukan Ottoman Turki, adalah karena mereka dianggap sebagai bangsa Rusia atau Eropa, bukan karena mereka adalah Yahudi.

Sementara itu, langkah menentang imigran Yahudi pun dilakukan penduduk lokal, khususnya warga Arab.

Mereka mulai memprotes akuisisi tanah oleh pendatang Yahudi. Atas aksi protes ini akhirnya membuat Kekaisaran Turki Ottoman Turki menghentikan penjualan tanah kepada para imigran dan orang asing.

Meski demikian, pada 1914 jumlah warga Yahudi di Palestina sudah berjumlah 66.000 orang, separuhnya adalah pendatang baru. (bersambung)

https://internasional.kompas.com/read/2017/12/11/07000091/konflik-israel-palestina-1-zionisme-dan-imigrasi-bangsa-yahudi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke