Salin Artikel

Mengapa Normalisasi Hubungan Saudi-Israel Bisa Berbahaya?

Langkah-langkah itu termasuk penangkapan belasan pangeran dan menteri serta menjalani proses normalisasi hubungan, setidaknya sebagian, dengan Israel.

Namun, mengambil langkah konkrie untuk mengakhiri boikot negara-negara Arab terhadap Israel tanpa menghasilkan solusi adil dalam isu Palestina akan merugikan baik bagi Palestina maupun Arab Saudi.

Pada Kamis (16/11/2017), Panglima AD Israel Gadi Eizenkot untuk pertama kalinya diwawancarai sebuah media terbitan Arab Saudi.

Dalam wawancara itu, Eizenkot mengatakan, Israel siap berbagi informasi intelijen tentang Iran dengan Arab Saudi.

Juga untuk kali pertama, Israel bersama Arab Saudi mensponsori resolusi tentang Suriah di Dewan HAM PBB pekan lalu.

Tak hanya itu, Menteri Komunikasi Israel Ayoub Kara juga mengundang Ulama Besar Arab Saudi Abdul Aziz al-Sheikh untuk mengunjungi Israel karena komentar sang ulama yang baik tentang negeri Yahudi itu.

Untuk melegitimasi langkah-langkah normalisasi hubungan dengan Israel, Arab Saudi memanggil Presiden Palestina Mahmoud Abbas ke Riyadh pekan lalu.

Di Riyadh, Pemerintah Arab Saudi mencoba meyakinkan Abbas untuk menerima rencana perdamaian yang disodorkan penasihat Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner.

Di dalam rencana yang disodorkan Kushner itu terdapat usulan kolaborasi Israel-Arab Saudi sebagai bagian integral dari rencana tersebut.

Menurut harian The New York Times, proposal itu selain berisi normalisasi hubungan Saudi dan Israel, juga menyodorkan beberapa hal lain.

Beberapa hal lain itu misalnya izin penerbangan untuk maskapai Israel, visa bagi pengusaha, dan jaringan telekomunikasi dengan Arab Saudi, Mesir, Jordania, dan Uni Emirat Arab.


Kerja sama Abbas amat penting bagi upaya normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel. Tanpa dukungan Palestina, langkah Saudi akan dianggap pengkhianatan oleh negara-negara Arab.

Meski tak banyak yang diungkap terkait kunjungan Abbas ke Riyadh, sejumlah laporan menyebut para pemimpin Saudi menekan Abbas untuk menerima tawaran Kushner atau mundur dari proses perdamaian.

Abbas berada dalam posisi yang sulit karena tekanan terhadapnya akan semakin tinggi saat rencana yang diusulkan Kushner dirilis dalam waktu dekat ini.

Abbas amat membutuhkan bantuan finansial Saudi dan AS agar Otorita Palestina yang dipimpinnya tetap bisa menjalankan fungsinya.

Di sisi lain, usulan proses perdamaian yang disodorkan Kushner ini tak memberikan keadilan bagi proyek nasional Palestina.

Namun, kesepakatan ini memberikan keuntungan strategis bagi Israel, seperti mengakhiri boikot Arab Saudi. Sementara bagi Palestina, kesepakatan ini hanya memberi sedikit keuntungan, seperti bantuan keunagan, pembebasan tahanan, dan penghentian sebagian pembangunan permukiman Yahudi.

Kesepakatan Kushner ini secara praktis merupakan baian dari Rencana Perdamaian Arab 2002 yang menawarkan normalisasi hubungan asal Israel menarik pasukannya dari wilayah yang diduduki sejak 1967.

Dengan menekan Abbas untuk menerima kesepakatan ini, para pemimpin Saudi justru merusak inisiatifnya sendiri karena menerima normalisasi hubungan sebagian dengan Israel dengan kompensasi mendapatkan aliansi melawan Iran.

Lebih dari itu, rencana Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel akan membuat rekonsiliasi internal Palestina semakin sulit.

Bertujuan untuk mengakhiri pengaruh Iran di Jalur Gaza, sekutu terdekat Saudi, yaitu Mesir, mensponsori atau memerintahkan rekonsiliasi Palestina yang menghasilkan penyerahan kekuasaan Hamas kepada Otorita Palestina.

Untuk menambah tekanan terhadap Abbas, Riyadh dikabarkan memanggil musuh bebuyutan Abbas, Mohammed Dahlan, pemimpin Fatah di Jalur Gaza.

Tujuan undangan itu seharusnya adalah untuk mendiskusikan rekonsiliasi internal Fatah. Dengan kata lain, Arab Saudi mengundang Dahlan ke dalam permainan untuk antisipasi jika Abbas menolak kesepakatan Kushner.

Dalam sebuah langkah yang dianggap sebagai perlawanan terhadap tekanan Saudi, sejumlah pengamat di Tepi Barat dan Jalur Gaza mengatakan, saat kembali ke Ramallah, Abbas langsung menangkapi pendukung Dahlan.

Namun, beberapa hari kemudian Otorita Palestina mendapat pukulan ketika pada Minggu (19/11/2017)ketika pemerintah AS tidak memperpanjang izin kantor perwakilan PLO di Washington DC.


Tuntutan Saudi membuat posisi Presiden Abbas amat sulit, sebab rakyat Palestina dipastikan menolak kesepakatan Kushner.

Situasi ini mengingatkan ketika Yasser Arafat menghadapi dilema di Kamp David pada 2000. Saat itu Arafat menghadapi desakan AS untuk menerima tawaran PM Ehud Barak yang akan menarik tentara Israel dari sebagian Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Setelah meneken kesepakatan Kamp David, Arafat disingkirkan dan dua tahun kemudian dia meninggal dunia secara misterius.

Satu hal yang jelas adalah, Arab Saudi akan melanjutkan upaya normalisasi hubungan dengan Israel, dengan atau tanpa dukungan Abbas.

Cara Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) menangani suksesi di dalam negeri dan eksalasi dengan Iran di luar negeri menggambarkan bahwa dia siap untuk mengambil sebuah langkah radikal.

Namun, langkahnya terhadap Israel kemungkinan besar tidak akan berjalan baik seperti langkah-langkah politiknya dan bahkan bisa jadi akan merugikan Arab Saudi.

Menuruti usulan Kushner berarti Arab Saudi akan melawan konsensus negara-negara Timur Tengah yang menolak normalisasi hubungan dengan Israel tanpa solusi yang adil bagi isu Palestina.

Arab Saudi kemungkinan mendapat dukungan dari UEA, Bahrain, Mesir, dan Jordania. Namun, tidak dari 57 negara berpenduduk mayoritas Muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Salah satunya adalah Kuwait yang di dalam negeri sudah menggelar berbagai aktivitas yang menentang normalisasi hubungan dengan Israel.

Jika MBS melanjutkan rencana ini, dia menciptakan risiko delegitimasi kepemimpinan Arab Saudi di dunia Islam.

Jika Arab Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel, MBS akan memberi peluang bagi Iran untuk "bermain keras" terhadap Riyadh dalam upaya menjungkalkan peran penting Arab Saudi di dunia Islam.  

Disarikan dari tulisan Ibrahim Fraihat, pakar resolusi konflik internasional di Program Pascasarjana Institut Doha dan profesor tamu Universitas Georgetown di Qatar, di Al Jazeera.

https://internasional.kompas.com/read/2017/11/20/21294641/mengapa-normalisasi-hubungan-saudi-israel-bisa-berbahaya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke