Salin Artikel

Hanya Dokter yang Bisa Merajah, Seniman Tato di Jepang Gundah

TOKYO, KOMPAS.com - Para Seniman tato di Jepang tengah diliputi dilema besar.

Hal itu menyusul keputusan pengadilan Jepang yang hanya memperbolehkan tenaga medis profesional merajah tubuh manusia.

Anda tidak akan menemukan warna hitam pada dinding salon tato milik Ron Sugano, yang terletak di wilayah Meguro, barat daya Tokyo.

Di kawasan ini banyak rumah berbentuk "tak lazim" berdiri berjajar di sepanjang jalan.

Selain itu, gambar-gambar tindikan telinga dan pekerjaan tinta ekstrem tidak terpajang di kawasan itu. Padahal, area tersebut biasanya memamerkan berbagai jenis tato dari seluruh dunia.

Hiasan kayu Bali, buku panduan perjalanan Lonely Planet, dan kilauan cahaya alami, malah membuat salon tato Shi Ryu Doh terasa seperti spa.

Hal itu bukan karena disengaja.

Baca: Yang Harus Dipertimbangkan Sebelum Membuat Tato

Tato di negeri Matahari Terbit itu sudah lama berkaitan dengan stigma organisasi kriminal Yakuza, yang menyatakan kesetiaannya dengan cara merajah seluruh tubuh.

Konsekuensinya, siapa pun yang bertato, tanpa memandang profesinya, tidak bisa berenang dan berendam di kolam air panas umum, berjemur di pantai, dan melakukan aktivitas di tempat kebugaran.

Sugano tidak memiliki kaitan dengan Yakuza, walaupun dia memiliki dekorasi zen (identik dengan Yin dan Yang) yang praktis menarik perhatian turis asing.

Namun, hal tersebut tidak cukup meyakinkan pemerintah Jepang untuk membiarkan dia menlanjutkan bisnis tatonya.

Pengadilan Osaka pada bulan lalu, mengabulkan permohonan aturan tentang tato dan memutuskan hanya dokter yang secara legal bisa membuat tato di tubuh manusia.

Artinya, seniman seperti Sugano bisa dikatakan telah melakukan perbuatan kriminal setiap kali mereka merajah tubuh pelanggannya.


Penangkapan seniman tato

Krisis pengetahuan muncul pada 2015, ketika seniman tato Taiki Masuda ditangkap karena tidak mengetahui aturan yang berlaku.

Polisi mendatangi salon tatonya karena berkaitan dengan kasus kriminal yang menimpa sebuah apotek, tempatnya membeli berbagai bahan yang berkaitan dengan tato.

Nama Masuda berada dalam daftar pelanggan apotek tersebut. Itulah yang menyebabkan polisi mendatangi seniman tato tersebut.

Kemudian, polisi menyelidiki bisnis tatonya. Masuda yang saat ini berusia 29 tahun, lantas ditahan atas pelanggaran hukum, yang melarang siapa pun selain dokter untuk melakukan 'praktik medis'.

Pada 2001, Kementerian Kesehatan, Buruh, dan Kesejahteraan Jepang mengeluarkan aturan mengenai tato.

Penggunaan laser perontok bulu dan penghilang kulit mati, dianggap sebagai praktik medis karena melibatkan jarum tindik di kulit.

Baca: Dikritik, Seleksi Masuk SMK Wajibkan Calon Siswa Buka Pakaian untuk Periksa Tato

Peringatan keras itu sudah disampaikan kepada seniman tato, yang mengklaim pekerjaan mereka merupakan bentuk ekspresi diri dan dilindungi konstitusi Jepang.

"Menjadi dokter itu menghabiskan banyak tenaga dan waktu. Itu hal yang konyol ketika harus mendapatkan lisensi medis untuk menjadi seniman tato," kata Masuda.

Pada 2015, setelah Masuda didenda sekitar 300.000 yen atau Rp 36 juta, dia memutuskan untuk naik banding dan membentuk sebuah LSM Penyelamatan Tato di Jepang.

LSM itu berafiliasi dengan 200 seniman tato. Mereka menyuarakan hak untuk mempraktikkan keahlian mereka dan pembebasan atas seni tubuh.

Kiyoshi Shimizu, yang juga bergabung dengan Masuda, mengatakan, ada sekitar 20 seniman tato yang mengalami hal serupa. Sebanyak 10 di antaranya, pernah terkena sanksi denda sebesar 300.000 yen.

Padahal, pemerintah Jepang menargetkan dapat mendatangkan 40 juta turis menjelang Olimpiade 2020.

Di sisi lain, berapa banyak warga asing yang menyadari tato bisa berdampak negatif saat mereka berada di Jepang?

Seorang guru asal Wales, Kelly Thorp, menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Okinawa, sebuah pulau semitropis indah yang kerap disebut "Hawaii-nya Jepang".

Thorp yang tinggal di Hongkong, sudah diperingatkan temannya mengenai tato kupu-kupu besar di punggungnya yang bisa menimbulkan masalah.

"Kami berkeliling mencari hotel yang bisa menerima orang bertato untuk menggunakan kolam renang atau onsen (air panas alami)."

"Tapi mereka semua mengatakan 'tidak'," ucapnya, seperti yang dilansir dari CNN, Kamis (19/10/2017).

Lantas, dia memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan.

"Ada peringatan besar 'Tato dilarang masuk' pada meja resepsionis dan di kolam renang.

Baca: Tato Bersuara, Konsep Baru Seni Rajah Tubuh

Kebijakan itu diterapkan di seluruh Jepang, menandakan dalamnya akar budaya kecurigaan terhadap tato.

Jiuko Taniguchi, direktur permandian air panas Sayano Yudokoro di utara Tokyo, juga memilih untuk tidak menerima konsumen bertato.

"Aturan ini murni bertujuan untuk menyingkirkan orang-orang yang terlibat dalam organisasi kriminal," katanya.

"Mereka saling mengintimidasi dengan menunjukkan tatonya," tambahnya.

Alih-alih secara eksplisit melarang Yakuza, akan lebih mudah untuk menolak keberadaan semua pemilik tato.

Masyarakat Jepang juga tidak mengecam aturan itu.

"Tato tidak diterima oleh masyarakat Jepang," kata Taniguchi.

"Tapi harus ada sebuah sikap di Jepang, terutama berkaitan dengan generasi muda, modernisasi, dan peningkatan jumlah kedatangan turis, pejabat harus mulai berpikir ulang tentang kebijakan itu," lanjutnya.

Bahkan, para wisatawan pun harus menutupi tato kecil mereka dengan plester.

https://internasional.kompas.com/read/2017/10/19/15342811/hanya-dokter-yang-bisa-merajah-seniman-tato-di-jepang-gundah

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke