Salin Artikel

"Melestarikan" Bahasa Indonesia di Queensland

Padahal, di era 90-an, Bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa asing yang cukup mendapat perhatian dari sekolah-sekolah di Australia.

Sebanyak 70 persen sekolah di Queensland tak meneruskan program Bahasa Indonesia sejak 2003.

Data itu dibeberkan Kathleen Turner, Direktur Australia Indonesia Business Council (AIBC) dalam tulisannya berjudul "The death of Indonesian language learning in Queensland" yang dimuat di thejakartapost.com pada 20 April 2017.

Kathleen menyebut Pemerintah Negara Bagian Queensland serta sekolah dan universitas setempat tidak melihat Bahasa Indonesia sebagai prioritas.

Dalam artikel itu pula, Kathleen menulis, mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tersisih oleh program Bahasa China dan Jepang, serta Perancis dan Jerman.

Di akhir tulisannya, Kathlen menyarankan agar Indonesia meningkatkan intensitas promosi  demi menghindari punahnya mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menengah maupun universitas.

(Baca: Di Pura Gunung Kawi, Obama Menawar Suvenir Pakai Bahasa Indonesia)

Sementara, menurut Alistair Gordon Welsh, doktor dari Deakin University dalam tesisnya mengungkap data, pada 2001 Bahasa Indonesia diajarkan di 28 dari 37 universitas di Australia.

Angka itu merupakan peningkatan yang signifikan sejak 1988 yang hanya diajarkan di 13 perguruan tinggi.

Pada 2011, masih menurut tesis Welsh, dari total 20 universitas, 15 di antaranya memiliki program sendiri untuk Bahasa Indonesia. Sementara, lima lainnya merupakan program kerja sama.

Pasca peristiwa bom Bali yang terjadi pada 1999 dan 2001, sebanyak enam universitas menutup program Bahasa Indonesia pada 2004.

Kondisi kritisnya pengajaran Bahasa Indonesia, baik di tingkat sekolah maupun di universitas diakui Ketua Umum Balai Bahasa dan Budaya Indonesia Queensland Halim Nataprawira.

Halim yang juga salah seorang tim penulis materi kurikulum Bahasa Indonesia di Department of Education and Training Queensland ini mengatakan, ada dua faktor mengapa pengajaran Bahasa Indonesia di Queensland menurun.

Pertama, kata dia, adalah faktor pandangan umum soal Indonesia. Menurut Halim, kasus bom Bali benar-benar menciptakan stigma dari masyarakat Australia terhadap Indonesia.

Hal itu berpengaruh kepada ajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.


"Saat itu, dukungan masyarakat dan orangtua terhadap pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sangat berkurang."

"Di sisi lain, banyak kepala sekolah yang menutup program Bahasa Indonesia," kata Halim saat berbincang dengan Kompas.com, akhir pekan lalu.

Kedua, lanjut Halim, adalah persoalan teknis. WNI yang sudah tinggal di Australia selama 30 tahun ini menuturkan, mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah seringkali bentrok dengan mata pelajaran lain yang dianggap lebih penting.

Menurut Halim, anak yang tertarik untuk belajar bahasa biasanya adalah siswa beprestasi yang memiliki ambisi karir yang tinggi.

"Biasanya mereka adalah siswa IPA yang harus memilih antara bahasa atau mata pelajaran lain yang menunjang pilihan dia di universitas. Misalnya sains, fisika, matematika tingkat tinggi atau kimia," ujar dia.

Kurikulum Bahasa Indonesia di Queensland disusun untuk tingkat kindergarten (TK) hingga kelas 12 (SMA). Mata pelajaran bahasa, saat ini diajarkan, di tingkat primary (SD) dan secondary (SMP dan SMA).

(Baca: Presiden Tsai Ucapkan "Selamat Idul Fitri" Pakai Bahasa Indonesia)

Mata pelajaran bahasa asing wajib untuk tingkat primary hingga kelas 9 di secondary.

Lalu, saat siswa menginjak kelas 10, bahasa menjadi mata pelajaran pilihan. Pemilihan bahasa asing yang diajarkan menjadi otoritas penuh kepala sekolah.

Halim mengungkapkan, saat ini, Bahasa Indonesia diajarkan di 30-40 sekolah dari hampir 500 sekolah menengah dan gabungan sekolah menengah dan dasar di Queensland.

"Jika mengacu pada analisa dr Kathleen, sebelum 2003 ada lebih dari 100 sekolah yang mengajar Bahasa Indonesia," kata Halim.

Di tingkat Universitas, kata Halim, Bahasa Indonesia juga tak lagi menjadi pilihan. Di University of Queensland misalnya, program pelatihan guru Bahasa Indonesia ditutup per tahun ini.

Padahal program tersebut banyak meluluskan guru Bahasa Indonesia di Queensland pada masa lampau.

"Jadi nanti dampaknya di Queensland tidak ada yang lulus sebagai guru bahasa indonesia."

"Seandainya nanti ada sekolah yang mencari guru Bahasa Indonesia, mereka harus cari dari negara bagian lain. Jadi lebih rumit," kata Halim.

Minat untuk belajar Bahasa Indonesia juga tidak terlalu tinggi. Kebanyakan yang belajar adalah mereka yang punya keterkaitan dengan Indonesia.

"Biasanya terkait pekerjaan atau yang sering berwisata ke Indonesia," kata Halim.

Balai Bahasa dan Budaya

Kondisi ini, kata Halim, membuat guru-guru Bahasa Indonesia di Queensland kerap membahas perlunya organisasi yang bisa bergerak untuk setidaknya mempertahankan angka pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.

Aspirasi para guru ini direspons Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Australia.

Pada akhir 2016, Duta Besar Indonesia untuk Australia saat itu, Nadjib Riphat Kesoema sengaja datang ke Brisbane untuk bertemu para guru Bahasa Indonesia.

(Baca: Jokowi Akan Resmikan Balai Bahasa Indonesia di Australia)

Pertemuan itu membuahkan kesepakatan bahwa organisasi tersebut harus terbentuk.


Kesepakatan ditindaklanjuti oleh Konsul Jenderal Indonesia untuk Negara Bagian New South Wales, Queensland dan South Australia, Yayan GH Mulyana.

Pada Maret 2017, Yayan bertemu guru-guru Bahasa Indonesia di Queensland dengan membawa AD/ART untuk membentuk Balai Bahasa dan Budaya Indonesia.

Saat itu juga secara aklamasi Halim terpilih sebagai ketua umum.

"Kami ini pelopor dan berniat untuk membentuk sistem yang baik untuk balai," ujar Halim.

Balai, kata dia, tak punya target kuantitas. Namun, BBBIQ akan berupaya mempromosikan pentingnya belajar Bahasa Indonesia untuk orang Australia.

"Strategi pertama adalah supaya angka yang ada saat ini tak tambah turun lagi. Kita akan pertahankan angka yang ada saat ini," kata Halim.

Balai juga ingin menjadi media yang bisa mengkoneksikan grup-grup budaya Indonesia dan sekolah-sekolah di Queensland.

"Kita ingin menjadi wadah atau tempat dimana ada sinergi antara sekolah dan stakeholder dengan grup-grup budaya supaya kita lakukan pemutaran kegiatan di antara sekolah dan grup-grup budaya," jelas Halim.

(Baca: Utamakan Bahasa Indonesia)

Halim menjelaskan, saat ini anggota balai masih bekerja atas dasar sukarela. Namun ke depannya, dia berharap ada sistem pembayaran.

"Agar kami profesional dan berkesinambungan," kata Halim.

BBBIQ, kata Halim, memiliki banyak program yang harus dijalankan.

Selain promosi Bahasa Indonesia ke sekolah-sekolah, Balai juga punya konsep pertukaran pelajar dan beasiswa untuk siswa Australia yang berprestasi dalam Bahasa Indonesia.

Ada pula konsep pembuatan film dokumenter terkait hubungan Australia dan Indonesia. Misalnya, hubungan dagang atau bisnis.

"Semua progam masih dalam tahap pembentukan," kata dia.

Australia dan Indonesia, jelas Halim adalah tetangga dengan budaya yang sangat berbeda.

Menurut dia, secara praktis, tak ada urgensi bagi orang Australia untuk belajar Bahasa Indonesia.

Sebab, ada sebuah penelitian yang menyebut, Bahasa Inggris orang Indonesia cukup bagus untuk berkomunikasi dengan orang Australia.

"Jadi untuk hubungan komunikasi sebetulnya tak ada masalah. Namun, untuk meminimalisasi kesalahpahaman karena perbedaan budaya, bahasa Indonesia menjadi penting agar orang Australia mengerti psikologi orang Indonesia," papar Halim.

Sister province

Di kesempatan yang lain, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah Gatot Bambang Hastowo mengakui, minat siswa di Queensland untuk belajar Bahasa Indonesia mengalami penurunan.

"Padahal, di era 90-an, Bahasa Indonesia diajarkan di banyak sekolah," kata Gatot saat ditemui Kompas.com di Brisbane, beberapa waktu lalu.


Jawa Tengah dan Queensland adalah sister province yang memiliki nota kesepahaman (MoU) di bidang pendidikan sejak 1993. MoU tersebut diperbarui per empat tahun.

Gatot adalah angkatan pertama pertukaran guru tersebut.

"Pada 93 saya ditempatkan di Cairns, di utara Queensland. Mengajar bahasa Indonesia di kelas dan belajar bahasa Inggris juga," ujar Gatot.

Menurut dia, saat itu, jumlah sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia berada di peringkat kedua, hanya kalah dari bahasa Jepang.

"Saat ini, kalah jika dilihat dari jumlah siswa dan sekolah yang mengajarkan. Kita di bawah China dan Jepang dan bahasa lainnya," ujar Gatot.

Berdasarkan informasi yang diterima Gatot, penyebab menurunnya ajaran Bahasa Indonesia di Queensland adalah karena motivasi yang kurang dari kepala sekolah.

"Di sini (Australia), kepala sekolah punya otoritas tinggi untuk memutuskan mata pelajaran pilihan, termasuk bahasa," papar Gatot.

Untuk itu, Gatot dan Pemprov Jawa Tengah berupaya agar bahasa Indonesia tetap diajarkan di beberapa sekolah di Queensland. Salah satunya lewat MoU yang bakal diperbarui tahun depan.

Dia berharap promosi budaya dan bahasa Indonesia bisa diterima oleh masyarakat pendidikan di Australia.

"Salah satunya lewat pertukaran guru dan siswa. Untuk pertukaran siswa, kami rencananya akan adakan lagi tahun depan," ujar dia.

(Baca: Bahasa Indonesia Jadi Bahan Ajar Sebuah Universitas di Hongaria)

Selain itu adanya pendekatan langsung, Gatot berharap ada intervensi dari pemerintah setempat ke kepala sekolah soal ajaran bahasa Indonesia.

"Kita akan pikirkan ini pada pembaruan MoU," ujar Gatot.

Gatot datang ke Queensland untuk mendampingi enam guru dari Jawa Tengah yang akan belajar bahasa Inggris dan mengajar bahasa Indonesia.

Keenam guru tersebut ditempatkan di Toowoomba. Mereka akan menimba ilmu bahasa Inggris di Queensland selama satu bulan.

https://internasional.kompas.com/read/2017/09/04/12203071/melestarikan-bahasa-indonesia-di-queensland

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke