Salin Artikel

Melihat dari Dekat Kehidupan Porak Poranda Pengungsi Marawi

Ali Nur, sopir becak berusia dua puluh lima tahun yang berbadan kekar dan penuh tato bercerita dengan terpatah-patah. Sambil melirik Orick, istrinya yang berusia tiga puluh tahun, Ali Nur mengusap kening dan mata lelahnya saat dia mulai mengisahkan usahanya menyelamatkan diri dari kekacauan Marawi.

Orick yang berdagang buah dan sayuran terlihat kurang ekspresif. Dia tampak peduli merawat salah satu dari lima anak mereka.

"Tetapi, hari kedua sewaktu pengeboman dimulai, itu benar-benar sangat menakutkan. Kami sadar sudah saatnya kami segera pergi menyelamatkan diri. Aliran listrik dibatasi sehingga kami tidak bisa mengisi baterai telepon genggam kami. Kami tidak punya makanan," kata Ali.

Menurut Ali, kelompok Maute mengirim orang-orangnya keluar mencari para lelaki untuk berperang. "Saya pun bersembunyi. Mereka bahkan mengutus anggota perempuannya untuk mendapatkan dan merekrut paksa penduduk,” lanjut Ali. 

Akhirnya, di hari ketiga, keluarga Ali bisa lolos. Ali tidak bisa membawa semua anak-anaknya menggunakan sepeda motor miliknya. Jadi, sepeda motor akhirnya dia tinggal dan memilih membawa anak dan istrinya naik truk. 

"Kami lalu berdesak-desakan menaiki truk Hilux milik ipar saya bersama dengan keluarga istri saya. Kami tidak membawa apapun kecuali baju yang melekat di badan kami,” kenang Ali. 

Tak ada lagi yang tersisa. Ali sudah kehilangan semuanya, termasuk uang 13.000 peso Filipina (sekitar Rp 3,3 juta). Rumah yang berada tepat di pusat kota di lingkungan Barangay Marinaut musnah dibakar.

"Saya melihatnya di TV. Saya mengutuk apa yang terjadi di Marawi. Saya tidak ingin kembali. Saya hanya ingin anak-anak saya bisa sekolah lagi. Saya menjual beberapa makanan kalengan yang biasa dibagikan di tempat penampungan setiap hari, untuk membayar sekolah anak-anak," kata Ali.

Kami berada sekitar 35 kilometer dari pusat pertempuran di Marawi, Mindanao. Di sini, tempat yang dijuluki sebagai "Kota Tenda", berdekatan dengan gedung Sekolah Menengah Atas yang masih berfungsi, terdapat 169 keluarga atau tepatnya 752 orang pengungsi.

Ali Nur menempatkan keluarganya jauh dari keramaian di aula gedung, yakni di beranda depan ruang kelas. Lokasi penampungan yang terletak di luar pusat industri kota Iligan, sesungguhnya terasa ganjil.

Pertumbuhan PDB di kawasan ini mencapai 7,6 persen, melampaui tingkat PDB nasional sebesar 6,9 persen. Pusat perbelanjaan Robinson's Place yang luas pun berdiri megah, di dalamnya penuh dengan toko-toko dan gerai makanan cepat saji ber-AC.

Ketika pertempuran di Marawi dimulai, sebagian besar dari 200.000 penduduknya melarikan diri ke tempat-tempat seperti "Kota Tenda" ini, satu dari sekian banyak pusat pengungsian di Mindanao.

Banyak juga yang kemudian pindah untuk ikut dengan teman dan saudaranya, namun sekitar 40.000 lainnya memilih tetap tinggal di pengungsian. Tempat pengungsian itu sendiri terlihat sederhana namun memadai.

Suasana di sana cukup menyenangkan. Sebagian besar keluarga telah berada di sana sejak akhir Mei. Mereka bisa memasak, juga tersedia toilet dan peralatan mencuci. Bahkan di dekat pintu masuk aula terdapat area untuk urusan administrasi.

Di situ terpasang papan buletin yang menampilkan berbagai informasi seperti gambar anak-anak, catatan sumbangan dan komite, termasuk juga komentar keluhan. Seorang pengungsi bahkan dengan giat mendirikan sebuah warung atau yang biasa disebut "sari-sari".

Ketika saya bertanya tentang tatonya yang rumit dan apakah dia anggota sebuah geng, dia berpaling sebelum menjawab, "Saya tidak ingin pulang ke rumah ketika saya remaja. Saya dulu anak nakal. Ayah saya sampai harus mengurung saya selama enam bulan dan saat itulah saya mendapatkan tato ini. Saya sadar setelah saya menikah."

Karena otoritas Manila mengalami kondisi naik turun, kaum lelaki (dan juga perempuan) seperti Duterte secara harfiah adalah “hukum” di daerah kekuasaannya masing-masing. Namun, jika Anda berkendara beberapa kilometer dari Davao, "Pax Duterte" benar-benar menghilang, tak ada pengaruhnya.

Di satu sisi, terdapat sebuah akronim yang "susah dipahami” dari kelompok Muslim seperti MNLF (Moro National Liberation Front) dan MILF (Moro Islamic Liberation Front). Memang, sebagian anggota kelompok Maute merupakan pecahan dari kelompok MILF yang dipimpin oleh Abdullah Maute, yang disebut juga sebagai pendiri "Negara Islam" di Lanao.

Di sisi lain, Mindanao juga merupakan panggung utama bagi para pejuang komunis, NPA. Ini menjadi sesuatu yang membingungkan untuk memahami situasi di Mindanao antara situasi yang dipicu oleh persoalan agama, ideologi, separatisme, dan kriminalitas.

Konflik Marawi meletus pada Mei 2017 ketika pemerintah Filipina melancarkan operasi pemburuan untuk menangkap Isnilon Hapilon, seorang "Emir" atau pemimpin militan ISIS di Filipina. Pasukan Hapilon kemudian membalasnya dengan memanggil sekutu-sekutu mereka termasuk kelompok Maute.

Pada 23 Mei 2017, lebih dari 500 pejuang menyerang tentara Filipina di Camp Ranao, menguasai beberapa gedung pemerintah, dan menyandera masyarakat sipil. Saat pertempuran kian memanas, kota Marawi dengan cepat dikosongkan.

Meskipun demikian, pasukan pemerintah tidak dapat sepenuhnya mengusir para militan.

Penduduknya bahkan dapat dikatakan sangat independen dan umumnya menentang kewenangan pihak otoritas.

Berbicara dengan penduduk setempat telah membuat saya melihat konflik itu bukan sebagai pertikaian besar antar kelompok yang berbeda budaya, seperti ISIS menyerang masyarakat Filipina yang beragama Katolik.

Namun, pertikaian itu lebih sebagai konflik antargangster yang menggunakan kekerasan brutal dan mengatasnamakan keagamaan.

Namun bagi Ali Nur, Orick, dan kelima anaknya, kehancuran kehidupan mereka sangatlah nyata.

Hidup mereka telah terenggut. Pendidikan anak-anaknya ikut terganggu meski untungnya tidak sampai terhenti.

"Memenangkan" pertempuran Marawi dan mengembalikan perdamaian di Mindanao pada akhirnya akan sangat bergantung pada pulihnya kembali kehidupan para puluhan ribu pengungsi seperti Ali Nur dan keluarganya.

https://internasional.kompas.com/read/2017/08/22/21295611/melihat-dari-dekat-kehidupan-porak-poranda-pengungsi-marawi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke