Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

China, Raksasa yang Rapuh

Kompas.com - 23/05/2017, 23:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

KEBANGKITAN China telah mengubah kita semua, terutama di Asia Tenggara, menjadi sejarawan yang amatir.

Percaya atau tidak, inisiatif "One Belt One Road (OBOR)” yang dicanangkan Presiden Xi Jinping berakar di masa lalu.

Keanggunan, retorika dan tentu saja substansi dari acara megah, "Belt and Road Forum for International Cooperation" pekan lalu di Beijing tidak akan dapat dipahami jika Anda memilih untuk mengabaikan sejarah.

Hidup seperti kita yang berada di bawah "ketiak" China, membuat orang-orang Asia Tenggara tidak memiliki pilihan lain kecuali belajar lebih banyak tentang Middle Kingdom.

Mengingat kuatnya fokus maritim dalam OBOR, penting juga untuk memahami tantangan yang berubah-ubah di lautan China, yang membentang dari kekuasaan dinasti Han, Tang dan Ming hingga masa anti asing yang menakutkan dari dinasti Qing Manchu.

Dalam kaitan ini, “The Sea and Civilization: a Maritime History of the World" karya Lincoln Payne setebal 744 halaman memberikan suatu gambaran hebat tentang bagaimana peradaban besar menghadapi tantangan di lautan.

Menelusuri pasang surutnya keterlibatan China dalam maritim, saya berhasil mendapatkan lima poin penting.

Pertama, tidak adanya konsistensi yang jelas dalam hubungan China dengan negara Asia Tenggara. Lebih dari berabad-abad, hal itu telah berubah dari ketertarikan besar terhadap isolasionisme, yang terkadang terjadi dalam jarak beberapa tahun.

Menyaksikan kecepatan armada Ming yang hebat di bawah pimpinan Admiral Zheng He (1405-1433), secara tidak terduga justru berhadapan dengan ketatnya larangan perdagangan luar negeri.

Artinya adalah bahwa kita tidak dapat bergantung pada kepentingan jangka panjang China di wilayah kita.

Hal ini mengarah pada poin kedua saya, sejarah telah membuktikan bahwa para pemimpin China mudah terganggu ketika stabilitas internalnya terancam. Mengingat ukurannya, sumber daya yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan semacam itu telah menguras dana negara dalam jumlah sangat besar dan konstan.

Rentannya situasi di wilayah perbatasan utara dan barat China serta adanya ancaman pemberontakan dari para petani, mengharuskan dilakukannya kesiapan militer yang terus-menerus, hingga menguras sumber daya lebih banyak.

Oleh sebab itu, keberadaan aparat kepolisian selalu dibutuhkan, dan ini tidak berubah dari dulu bahkan hingga kini di era Xi Jinping.

Ketiga, pentingnya fungsi-fungsi strategis dari sungai-sungai di China, yang telah lama menjadi bagian penting dari konektivitas internal, keamanan domestik dan perdagangan, telah banyak memberikan kekuatan.

Selama berabad-abad, sungai-sungai besar seperti sungai Yangtze, Mutiara dan Kuning, telah dikembangkan untuk irigasi, mencegah banjir dan kemudahan transportasi.

Sebuah jaringan kanal dan jalur air domestik telah dibangun, hingga menyatukan negara. Yang paling terkenal adalah Grand Canal, menghubungkan bagian Selatan yang subur akan pertaniannya dengan bagian utara yang gersang di sekitar Beijing.

Contoh kanal yang kurang dikenal namun sesungguhnya fenomenal adalah Kanal Lingqu sepanjang 36,4 kilometer yang dibangun dengan mengorbankan nyawa yang luar biasa banyaknya selama selama Dinasti Qin dari 219-214 SM.

Jalur strategis ini menghubungkan lembah Sungai Yangtze dan Sungai Mutiara, serta menyediakan sarana untuk perjalanan dengan kapal dari Chang'an (ibu kota dinasti kuno) menuju Guangzhou, yang jaraknya lebih dari dua ribu kilometer.

Untuk Kepentingan kita, penting untuk diingat bahwa tingginya tekanan aktivitas di sungai telah mengabaikan besarnya kebutuhan mengembangkan industri perkapalan laut yang kuat dan terhalangnya perdagangan dengan negara-negara Asia Tenggara selama berabad-abad.

Keempat, di era sebelum munculnya mesin uap, pelayaran harus mengikuti angin musim yang sangat penting.

Di musim dingin, ketika daratan lebih dingin dari pada air, angin musim Timur Laut akan bertiup dari China dan bagian selatan Jepang, lalu akan berbalik pada musim panas, saat daratan menghangat sehingga membuat daerah dengan tekanan lebih tinggi dan juga hujan deras dari Selatan.

Sehingga, angin musim akan menentukan jadwal waktu berlayar dan memastikan kerangka waktu tertentu untuk rute perdagangan antara China dan Asia Tenggara.

Sementara angin musim di seberang Samudra Hindia sulit dipastikan, artinya para pelancong yang berharap bisa mencapai pantai Malabar yang kaya, terpaksa harus menunggu di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara untuk peralihan arah angin, sehingga memperlambat rute perdagangan antar Asia.

Hal ini menyuburkan kehidupan di sepanjang Asia Tenggara oleh para pedagang China yang harus tinggal selama beberapa bulan sebelum mereka kembali ke pelabuhan Guangzhou dan Quanzhou.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com