Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

90 Orang Tewas akibat Longsor di Lokasi Tambang di Myanmar

Kompas.com - 22/11/2015, 13:21 WIB
YANGON, KOMPAS.com - Setidaknya 90 orang tewas dalam bencana tanah longsor di sebuah area tambang terpencil di Myanmar utara saat orang-orang sedang memulung di antara gunungan sampah tambang untuk mencari batu giok yang berharga.

Hal tersebut dilaporkan media negara itu, Minggu (22/11/2015).

The Global New Light of Myanmar melaporkan bahwa "setidaknya 30 mayat berhasil diangkat dari tempat yang terkena tanah longsor, sementara masih banyak yang belum berhasil ditemukan." Bencana itu sendiri terjadi di Hpakant, Kachin, pada Sabtu kemarin, laporan Global New Light yang mengutip apa yang disampaikan pemerintah lokal.

Namun kantor berita AFP, Minggu, melaporkan bahwa jumlah korban tewas sedikitnya sudah mencapai 90 orang.

Regu penyelamat masih berupaya menggali gunungan sampah tambang pada hari Minggu. Ditakutkan bahwa jumlah korban akan meningkat pesat dalam kecelakaan mematikan yang mempengaruhi industri batu giok tersembunyi Myanmar yang bernilai jutaan dollar di derah Kachin yang terkoyak perang itu.

Mereka yang tewas diduga sedang memulung diantara gunungan sampah tambang yang dibuang mesin digger yang digunakan perusahaan tambang di daerah itu untuk menggali batuan yang paling berharga di Myanmar.

Tanah longsor merupakan musibah yang kerap terjadi di daerah itu. Di daerah itu banyak orang tinggal di dekat area industri. Mereka berupaya memulung diantara gunungan limbah dalam kegelapan dan berharap bisa menemukan sepotong giok berharga ribuan dollar.

Menurut penduduk setempat, tahun ini saja sudah banyak orang yang tewas.

Kebanyakan perusahaan tambang itu terkait dengan para elite junta militer, dan sudah meluaskan operasinya di Kachin.  

Myanmar merupakan sumber batu giok terbaik dunia, sebuah batu hijau yang tembus cahaya yang dihargai amat tinggi dibanding material lain di negeri tetangganya, China.

Dalam laporan pada bulan Oktober, grup advokasi Global Witness memperkirakan bahwa nilai giok yang diproduksi tahun 2014 saja mencapai 31 miliar dollar, setara hampir setengah dari GDP negara.

Namun nilai tersebut sekitar 10 kali nilai penjualan resmi batu berharga tersebut tahun lalu, sebesar 3,4 miliar dollar, dalam sebuah industri yang sudah lama diselimuti kerahaasiaan. Banyak batu gio terbaik dari daerah itu diduga langsung diselundupkan ke China.

Penduduk setempat di Hpakant mengeluhkan sederetan kekejaman terkait industri pertambangan, termasuk sejumlah kecelakaan dan penyitaan tanah.

Daerah itu telah berubah menjadi lingkungan yang rusak dan bolong-bolong setelah digger-digger raksasa menggali tanah untuk mencari giok.

Para petambang migran dari penjuru Myanmar berdatangan karena iming-iming kekayaan dan menjadi korban penjualan obat bius di Hpakant. Di siti heroin dan methamphetamine dijual murah di jalan-jalan.

"Pertambangan skala industri oleh perusahaan -perusahaan besar dikontrol keluarga dan perusahaan militer, kroni, dan bos obat bius telah membuat Hpakant bak neraka dimana penduduk sungguh mengalami perampasan tanah di bawah kaki mereka," kata Mike Davis dari Global Witness, yang menyerukan pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan ini atas kecelakaan yang terjadi.

Grup itu menginginkan industri giok yang telah lama terkena sanksi dari Amerika Serikat menjadi bagian dari Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), sebuah skema global yang dirancang untuk meningkatkan transparansi manajemen sumber daya alam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com