Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Horor Fotografer Peliput Imigran di Laut Tengah

Kompas.com - 27/04/2015, 13:39 WIB
KOMPAS.com — Melalui foto-fotonya, Juan Medina telah melaporkan kepada dunia mengenai kisah para imigran gelap yang mencoba menjangkau Eropa selama dua dekade terakhir. Setelah insiden yang menewaskan ratusan imigran di dekat Pulau Lampedusa, pada pertengahan April ini, fotografer pemenang World Press itu membeberkan pengalamannya.

"Saya mulai mengabadikan foto-foto imigran karena saya bermukim di Fuerteventura di Kepulauan Canary. Di sana saya bekerja sebagai fotografer untuk surat kabar setempat.

Pada 2004, para imigran berdatangan dari kawasan sub-Sahara Afrika. Apa yang terjadi tiada bedanya dengan apa yang telah dan akan terjadi.


Juan Medina/BBC Sepanjang tahun 2015 yang belum berjalan sampai empat bulan ini saja, diperkirakan 900 pengungsi tewas saat berupaya menyeberangi Laut Mediterania.
Perjalanan melintasi Laut Mediterania ditempuh banyak orang demi kehidupan yang lebih baik. Sewaktu-waktu kapal bisa terbalik, kehabisan bahan bakar, mesin bisa mengalami kerusakan karena rentan dengan cuaca dingin.

Pada suatu hari, para imigran memenuhi sebuah kapal kecil atau disebut patera. Mereka telah berada di situ selama berjam-jam.

Begitu mereka mencapai Kepulauan Canary, patroli perbatasan menunggu untuk menangkap mereka. Para imigran mulai menuju kapal yang lebih besar. Namun, selagi mereka bergerak, kapal mereka terbalik.

Sebanyak 29 orang bisa diselamatkan, sedangkan 9 orang tewas.

Semua penumpang adalah laki-laki. Kebanyakan datang dari Mali, sebagian dari Pantai Gading, dan sebagian lain dari Ghana.

Saya tahu apa yang menimpa dua penumpang kapal itu, Isa dan Ibrahim. Saya bertemu dengan mereka ketika mereka diselamatkan. Mereka saya abadikan dalam foto ketika diangkat dari laut.

Mereka dikirim ke Spanyol. Isa ke Valencia, Ibrahim ke Murcia.

Mereka menjelaskan apa yang terjadi di kampung halaman mereka di Mali. Mereka berasal dari keluarga besar. Isa, misalnya, bergantung pada hasil panen setiap tahun. Pekerjaan jarang ada. Mereka tidak punya kesempatan.


Juan Medina/Reuters Di perbatasan Eropa, keberadaan polisi makin banyak. Namun, orang-orang masih tewas.
Meski ada begitu banyak risiko, mereka memutuskan untuk menempuh perjalanan. Bagi mereka, itulah satu-satunya jalan keluar. Mereka berpikir perjalanan ke Eropa patut dicoba untuk membantu keluarga. Mungkin mereka tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada mereka menit demi menit, tetapi mereka paham itu berbahaya.

Saya pergi ke rumah mereka di Mali untuk bertemu dengan keluarga mereka. Saya disambut dengan tangan terbuka, dengan begitu banyak cinta, kebalikan dengan bagaimana cara orang Spanyol menyambut para imigran.

Keluarga mereka menceritakan kisah mereka sehingga saya paham mengapa Isa dan Ibrahim mempertaruhkan nyawa ke Eropa.


Juan Medina/Reuters Meski ada begitu banyak risiko, mereka memutuskan untuk menempuh perjalanan.
Hal utama yang mengejutkan saya ialah kondisi hidup di kampung halaman mereka. Mereka bisa tewas di laut, tetapi mereka menghadapi tekanan yang lebih besar saat bertahan hidup di kampung halaman. Mereka melakukannya karena tiada jalan lain, bukan karena mereka mencari petualangan.

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, orang-orang bertolak ke gerbang Eropa, seperti halnya yang para budak alami pada abad ke-17.

Sebagian besar tenggelam di laut, terjebak di kapal rapuh yang rawan.

Setelah 20 tahun melaporkan berita mengenai imigran yang mencoba ke Eropa, orang-orang masih tenggelam setiap pekan, tiada yang berubah.

Kalaupun ada perubahan, itu adalalah perubahan yang memburuk. Setiap ada tragedi kapal tenggelam rasanya lebih menyakitkan karena orang-orang kehilangan nyawa mereka.

Di perbatasan Eropa, keberadaan polisi makin banyak. Namun, orang-orang masih tewas."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com