Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Pernah Ada Lagi Bom Atom di Dunia

Kompas.com - 01/12/2014, 12:42 WIB
Heru Margianto

Penulis


KOMPAS.com
 — Keiko Ogura (77) berumur delapan tahun saat tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat menjatuhkan sebuah bom atom di kota Hiroshima, Jepang, 6 Agustus 1945.

Pagi itu, ia hendak berangkat sekolah. Namun, ayahnya memiliki firasat tidak baik dan melarangnya pergi. Jadilah ia membolos sekolah hari itu.

Pukul 08.15, saat bermain di luar rumah, Ogura melihat kilatan cahaya berwarna putih seperti matahari kecil di angkasa, diikuti suara ledakan yang mahadahsyat. Hanya dalam hitungan detik, ia terempas oleh sapuan angin yang sangat kuat, seperti taifun, yang seolah berlari kencang bersama gulungan debu.

Padahal, Ogura berdiri 2,4 kilometer dari hiposentrum ledakan. Belakangan diketahui, kecepatan angin di titik ledakan mencapai 440 m per detik.

Ogura kecil terjatuh di dekat rumahnya. Suasana mendadak gelap. Potongan-potongan kayu dan aneka benda menjatuhi kepalanya.

Ia merangkak menuju rumahnya. Ia mendengar suara tangis saudara perempuan dan lelakinya dari dalam rumah. Pagi yang tenang hari itu seketika berubah menjadi bencana.

KOMPAS.COM/HERU MARGIANTO Replika bom atom yang terdapat di Hiroshima Peace Memorial Musem. Bom ini memiliki panjang 3 meter, dengan diameter 71 cm, dan berat 4000 kg.

Bom yang dijatuhkan panjangnya "hanya" 3 meter, dengan diameter 71 cm, dan berat 4.000 kg. Namun, dampaknya sungguh mengerikan.

Ledakan "little boy" yang setara dengan 13.000 ton TNT itu menghasilkan panas 3.000-4.000 derajat celsius di darat. Besi meleleh pada suhu 1.536 derajat celsius. Bangunan dalam radius dua kilometer rata dengan tanah, menyisakan puing.

Besi membara. Pohon-pohon menjadi arang. Tak lama setelah itu, dari arah kota, Ogura melihat ratusan orang berjalan dalam diam.

"Saya seperti melihat hantu. Ratusan orang dengan pakaian compang-camping berjalan dengan tangan diacungkan ke depan. Kulit tangan mereka terkelupas dan menggantung. Saya mencium bau daging terbakar," kata Ogura saat bercerita di hadapan puluhan wartawan dari berbagai negara Asia Pasifik di Hiroshima Peace Memorial Park, Rabu (26/11/2014).

Hibakusha

Ogura adalah seorang "hibakusha", sebutan bagi mereka yang selamat dari bom atom yang dijatuhkan tentara sekutu di Hiroshima dan Nagasaki. Ogura dan para hibakusha lainnya adalah saksi hidup yang tak lelah menceritakan pengalaman buruk hidup mereka agar dunia tidak lupa betapa kejamnya petaka yang diakibatkan bom nuklir. Para hibakusha menyerukan perdamaian abadi dan tidak ingin bencana kemanusiaan itu terulang lagi.

KOMPAS.COM/HERU MARGIANTO Keiko Ogura saat bercerita di hadapan puluhan wartawan dari berbagai negara Asia Pasifik di Hiroshima Peace Memorial Park, Rabu (26/11/2014).

Kisah bom atom Hiroshima dan Nagasaki bukan hal yang asing kita dengar. Cerita tentang itu bahkan diajarkan di bangku sekolah dasar. Namun, barangkali tak semua dari kita mampu membayangkan betapa dahsyatnya tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan

John Harsey, seorang wartawan lepas, menuliskan kesaksian enam korban hidup dalam serial tulisannya yang dimuat di The New Yorker. Dalam tulisan yang memenangkan hadiah Pulitzer tersebut ia menggambarkan kehancuran dahsyat yang terjadi.

"Jalan dipenuhi oleh reruntuhan rumah dan bangunan. Tiang-tiang kabel dan telepon juga ikut jatuh memenuhi jalan. Jika saja orang melewati sepuluh reruntuhan rumah, ia pasti mendengar suara orang-orang yang terkubur dan ditinggalkan dari dua atau tiga rumah yang dilewatinya. Kadang-kadang mereka berteriak dengan sopan, “Tasukete kure!” “Tolong selamatkan kami jika Anda berkenan!” Suara-suara itu sungguh menyayat hati. Namun, api sudah berkobar. Sudah terlambat untuk menolong mereka."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com