Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusia Kini Bangsa Berbahaya

Kompas.com - 07/03/2014, 08:17 WIB
BRUSSELS, KOMPAS.COM — Rusia kini berubah menjadi bangsa yang berbahaya. Presiden Lituania Dalia Grybauskaite, Kamis (6/3/2014), di Brussels, Belgia, memperingatkan, setelah menginvasi Ukraina, mereka akan menyerbu Moldova dan selanjutnya negara lain. Rusia terus berupaya menggeser dan memperluas perbatasannya.

Peringatan Grybauskaite itu disampaikan di sela-sela pertemuan darurat Uni Eropa untuk membahas sanksi bagi Rusia yang sejak sepekan terakhir terang-terangan menginvasi negara berdaulat Ukraina. Meski terus disangkal oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov, kenyataan keberadaan 16.000 tentara Rusia di Semenanjung Crimea tak bisa disangkal.

Crimea sejak sepekan terakhir praktis dikuasai militer Rusia. Mereka mengendalikan semua pusat pemerintahan dan gedung parlemen serta mengepung basis-basis militer dan menjadikan tentara Ukraina terpenjara di negerinya sendiri. Kecaman dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa dianggap sepi oleh penguasa Kremlin yang beralasan mereka melindungi kepentingan dan etnis Rusia di negara berdaulat Ukraina.

Di Brussels, para pemimpin negara-negara blok ekonomi Eropa yang beranggotakan 28 negara, kemarin, berdiskusi dengan ketat tentang sanksi yang hendak dijatuhkan kepada Moskwa. Sanksi bisa dihindari jika Rusia menarik pasukannya dari Crimea atau menunjukkan kesungguhan dialog untuk meredakan tensi di negara yang dahulu menjadi bagian dari Uni Soviet itu.

”Kami harus menyampaikan pesan yang jelas kepada Pemerintah Rusia bahwa apa yang terjadi sungguh tidak dapat diterima dan harus ada konsekuensinya,” ujar Perdana Menteri Inggris David Cameron.

Kanselir Jerman Angela Merkel yang punya hubungan khusus dengan Putin menambahkan, ”Apakah (sanksi) akan mulai berlaku tergantung juga pada bagaimana proses diplomatik berlangsung.”

Sementara itu, di Simferopol, ibu kota Republik Otonom Crimea yang menjadi bagian dari Ukraina, parlemen meminta menjadi bagian dari Federasi Rusia. Parlemen Crimea mengatakan, jika permintaan itu dikabulkan, mereka akan menggelar referendum pada 16 Maret.

Crimea, semenanjung yang menjorok ke Laut Hitam, menjadi duri dalam daging Ukraina. Di wilayah itu, penduduk beretnis Rusia mendominasi dengan 58,5 persen. Sementara etnis Ukraina (24,4 persen) dan Tatar (12,1 persen) justru menjadi minoritas.

Tak punya legitimasi

Perdana Menteri Ukraina ad interim Arseniy Yatsenyuk, di Brussels, secara tegas mengatakan, referendum oleh Parlemen Crimea itu tidak mempunyai legitimasi. Yatsenyuk juga meminta Rusia untuk tidak mengindahkan permintaan itu.

Yatsenyuk juga mendesak Rusia untuk menarik pasukannya dari tanah Ukraina dan mengembalikan ke barak. ”Kami tidak akan pernah menyerah,” katanya.

”Kami meminta Rusia untuk menanggapi apakah mereka siap untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas di Eropa atau (apakah) mereka siap untuk memicu provokasi lain dan ketegangan lain dalam hubungan bilateral dan multilateral,” ujar Yatsenyuk.

Saat Yatsenyuk tampil di Brussels, Uni Eropa dan Amerika Serikat sedang menghadapi situasi pelik setelah pertemuan antara Menlu AS John Kerry dan dan Menlu Rusia Sergei Lavrov di Paris, Perancis, Rabu lalu, tidak menghasilkan kesepakatan penting untuk menurunkan tensi di Ukraina, khususnya di Crimea. Lavrov bahkan menolak duduk berdialog dengan Menlu Ukraina ad interim Andriy Deshchytsya karena menganggap pemerintahan Kiev saat ini hasil kudeta.

Baik Kerry maupun Lavrov hanya bersepakat, penyelesaian krisis Ukraina harus dicapai melalui upaya diplomasi. Mereka akan bertemu kembali di Roma, Italia, Kamis malam waktu setempat.

Di antara sanksi yang mungkin diluncurkan di antaranya penundaan dialog liberalisasi visa dan beberapa kesepakatan ekonomi. Langkah lebih drastis, seperti pembekuan aset dan pelarangan perjalanan terhadap pejabat Rusia, bisa pula diterapkan. (AFP/AP/Reuters/joy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com