Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Migran Kian Tinggalkan Beijing

Kompas.com - 18/09/2013, 14:14 WIB
Josephus Primus

Penulis

KOMPAS.com — Beijing, ibu kota China, memang tetap menjadi daya tarik bagi warga pekerja migran demi mencari nafkah. Kendati begitu, kota berpenduduk 20,7 juta jiwa itu kian ditinggalkan para warga migran.

Adalah koran Beijing News pada Rabu (18/9/2013) yang mewartakan pandangan pakar sosiologi Profesor Lu Jiehua. Menurut guru besar Universitas Peking itu, lantaran penduduknya banyak, biaya hidup di Beijing menjadi terlalu mahal.

Pada Mei lalu, harian pemerintah Global News merilis jajak pendapat seribu responden berusia 20-60 tahun dari tujuh kota besar di China, yakni Beijing, Shanghai, Guangzhou, Chengdu, Xi'an, Changsa, dan Shenyang. Mayoritas responden adalah karyawan kantor.

Hasilnya, para pekerja itu terlalu lelah lantaran tekanan pekerjaan. Rupanya, salah satu penyebabnya adalah ongkos kebutuhan hidup yang lumayan tinggi. Makanya, banyak dari pekerja memilih bekerja lembur. Survei itu juga mengatakan kalau kebanyakan responden baru keluar kantor selepas pukul 23.00 sejak masuk rerata pukul 08.00.

Dari tujuh kota besar itu, Beijing berada di puncak termahal untuk biaya hidup. Rerata, satu orang pekerja butuh ongkos Rp 14 juta andai disandingkan dengan mata uang yuan per bulan untuk biaya hidup. Di Shanghai pun begitu. Sementara, di kota-kota lainnya, ongkos biaya hidup cuma sekitar Rp 8 jutaan.

Distrik

Angka terkini menunjukkan jumlah pekerja migran sampai dengan akhir 2012 di Beijing ada 784.200 orang. Setahun sebelumnya, jumlah para pekerja migran ada 825.800 orang.

Kebanyakan, imbuh Lu Jiehua, penduduk migran tinggal di tiga distrik di Beijing. Pertama di selatan Beijing, Distrik Daxing. Kedua di tenggara Beijing, Distrik Tongzhou. "Di utara Beijing, warga migran paling banyak tinggal di Changping,"kata Lu Jienhua.

Sementara, soal polusi, Pemerintah Beijing tengah berusaha agar tingkat pencemaran itu tereduksi. Catatan terkini menunjukkan posisi 400 pada alat pembaca tingkat polusi milik Pemerintah China. Padahal, pedoman Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan angka tingkat polusi ideal paling banter 25. Angka itu menunjukkan rerata partikel polusi terkecil mestinya tak lebih dari 25 mikrogram per meter kubik udara. Nah, silakan bandingkan dengan angka 400 tadi!

Menurut WHO, udara yang tidak sehat memiliki batas minimal tingkat polusi di atas 100 mikrogram. Sementara, andai angka sudah menyentuh level 300, bahkan semua anak dan orangtua tak boleh berada di tempat terbuka.

BBC Awal tahun ini polusi di Cina melebihi ambang batas bahaya seperti yang ditetapkan WHO.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com