Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengungsi Suriah: Antara Arab dan Eropa

Kompas.com - 27/08/2013, 19:29 WIB
Oleh: Agus Morales

Istanbul merupakan rumah bagi pengungsi asal Suriah yang jumlahnya terus bertambah; mereka dihadapkan pada dua pilihan: kembali ke kampung halaman begitu perang usai atau mencoba pergi ke Eropa

Duduk di sebelah kiri, dia adalah Yaman. Bocah pendiam berumur 12 tahun itu merupakan pengagum berat klub sepakbola Real Madrid. Dia mengungsi dari Suriah dan sekarang tinggal bersama keluarganya di sebuah basement di Istanbul, daerah barat laut Turki.  Dia rindu kampung halamannya, Al Kisswah, yang terletak di pinggiran kota Damaskus, dan ingin pulang ke negara mereka begitu perang usai. Ia bercita-cita menjadi seorang ahli matematika.

Duduk di sebelah kanan, Yanal, satu tahun di bawah kakaknya. Dia suka menjadi pusat perhatian dan idolanya adalah para penyerang FC Barcelona. Dia berangan-angan untuk meninggalkan Suriah dan Turki dan pindah ke salah satu ibukota negara Eropa. Yanal bercita-cita menjadi seorang jurnalis.

Dalam satu keluarga, perbedaan pendapat antara pulang ke kampung halaman atau mencoba peruntungan di tempat baru sering terjadi. Duduk di tengah-tengah, adalah sang Ayah, Hassan Nasser. “Jika kami pergi, kami ingin lewat jalur resmi,” ujar Hassan. “Banyak warga Suriah yang masuk ke Eropa secara ilegal, dengan memakai jasa penyelundup, tapi hal ini tentu sangat berbahaya. Kami tidak ingin seperti itu. Jika kami pergi ke Eropa, itu pasti setelah kami mengurus surat-surat dan dokumen resmi,” pungkasnya.

Hassan meringkuk di sofa, mencoba meredakan nyeri di punggungnya. Dia terlibat dalam protes awal anti-pemerintah pada Maret 2011. Tak berapa lama setelah aksi tersebut, pasukan keamanan datang ke rumahnya untuk menangkap Hassan. Hassan meloncat dari jendela lantai tiga rumahnya dan punggungnya cedera. Setahun berikutnya, dia dan keluarganya berhasil sampai di Turki. Masih belum pasti apakah ia perlu dioperasi atau tidak. “Kalau ada kesempatan, saya ingin pergi berobat ke Eropa,” ujar Hassan. “Andaikan saya bisa.” Tapi ia tetap pada pendiriannya semula bahwa keinginan terbesarnya adalah bisa segera pulang ke kampung halamannya begitu pertumpahan darah selesai.  

Ribuan pendatang dan pengungsi dari seluruh dunia telah menjadikan Istanbul sebagai rumah mereka. Banyak dari mereka yang melarikan diri dari negara mereka yang tengah berkonflik seperti Afganistan, Irak dan Republik Demokratis Kongo. Negara terakhir yang masuk daftar ini adalah Suriah. Sebagian besar pengungsi Suriah tinggal di kamp-kamp pengungsian yang dibangun di sepanjang perbatasan Suriah-Turki, namun jumlah pengungsi ini terus bertambah.

"Sebagian besar warga Suriah yang pernah kami temui sedang menunggu di Istanbul karena mereka kecukupan dari segi finansial,” ujar Ghassan Abou Chaar, koordinator MSF di Istanbul. “Kebanyakan dari pasien yang kami rawat dalam program kesehatan mental merupakan pengungsi perang. Ada ketakutan di antara mereka – mengarah ke paranoia – dalam memberikan informasi atau berbicara dengan pihak organisasi internasional atau dengan masyarakat Turki. Mereka tertutup. Mereka takut identitas mereka terbongkar dan dideportasi dari Istanbul.

Akibat cedera di bagian punggungnya, Hassan tidak bisa lagi bekerja. Dokter telah berdiskusi selama berbulan-bulan terkait perlu atau tidaknya melakukan operasi pada salah satu tulang belakangnya. Sementara itu, sumber pendapatannya terus berkurang. Sebelum perang meletus, Hassan memiliki sebuah toko pakaian di kota kelahirannya dan hidup sejahtera. Lalu konflik pecah. “Kami kehilangan segalanya,” ujar Hassan. “Dalam waktu singkat, saya kehilangan tidak cuma satu, tapi semua pelanggan saya. Pada masa awal revolusi, di kawasan tempat saya tinggal, orang-orang dengan pendapatan sangat rendah saja setidaknya masih bisa bertahan hidup, namun begitu perang meletus banyak dari mereka yang tidak lagi memiliki apa-apa dan terpaksa menggantungkan dari sumbangan.

Kisah seperti yang dialami Hassan menunjukkan bagaimana keluarga yang dulunya hidup dengan nyaman sekarang harus mengahadapi masa-masa sulit. Kemal Zori, seorang Kurdi Suriah, juga merasa bahwa masa jayanya sudah berakhir. Dia dulu memiliki sebuah restoran di Damaskus, dan keluarga mereka hidup sejahtera secara finansial, meski merasa didiskriminasi akibat status mereka sebagai orang Kurdi. “Kami rasanya berada di anak tangga kesepuluh dari strata sosial,” ujarnya. Meski tidak terkena dampak langsung dari perang di Suriah, dua anak laki-laki Kemal diminta untuk bergabung dengan pasukan pendukung Bashar Al Assad, yang kemudian membuat keluarga ini memutuskan untuk pergi. “Mereka akan berperang melawan siapa?” ia bertanya dengan nada ironis.

Kemal mengakui bahwa ia merindukan kehidupan mereka sebelum perang. Salah seorang saudara laki-lakinya lalu memetik kecapi, mencoba menghibur mereka semua. Mereka tengah menunggu waktu makan malam di sebuah flat yang luas di kawasan Kanarya, di pinggiran kota Istanbul. Kondisi keluarganya cukup baik, namun tetap menunjukkan tanda-tanda ketidakpastian masa depan, seperti para pengungsi lainnya. “Saya tidak pernah berpikir untuk pergi ke Eropa,” ujar Kemal. “Kami akan tinggal di sini, kami tak punya pilihan.”

Agus Morales, bekerja untuk Dokter Lintas Batas (Médecins Sans Frontières/MSF). Catatannya selama menjadi relawan kemanusiaan akan ditayangkan secara berkala di Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com