Versi lain disampaikan seorang sumber Reuters dari kalangan penegak hukum Mesir, para tahanan tersebut tewas karena sesak napas saat harus berdesakan di dalam van polisi yang membawa mereka ke penjara.
Dari 830 korban tewas berdasarkan versi Pemerintah Mesir, korban dari petugas keamanan tercatat 70 orang. Tragedi ini merupakan peristiwa politik paling berdarah di sejarah negara itu. Pembantaian bermula dari upaya paksa otoritas kemanan Mesir dengan dukungan kekuatan militer mengusir para demonstran yang terus menggelar aksi setelah Mursi yang terpilih sebagai Presiden dalam pemilu Juli 2012 digulingkan militer pada 3 Juli 2013.
Terpisah,
Panglima Militer Mesir Jenderal Abdel Fattah Asisi menyerukan pada pendukung Mursi, "Ada ruang untuk semua orang Mesir." Namun dalam pemunculan publik pertamanya yang disiarkan langsung oleh televisi pemerintah, dia meminta pendukung Mursi meninjau ulang posisi nasional mereka. Asisi pun menyatakan kepada pendukung Mursi bahwa legitimasi adalah milik rakyat, diberikan kepada orang yang rakyat kehendaki, dan bisa dicabut kembali kapan pun rakyat inginkan. Menyusul tragedi "Rabu berdarah", Kantor Berita MENA melaporkan 79 orang tewas dalam demonstrasi Sabtu (17/8/2013) dan 549 orang terluka. Sebelumnya, dikabarkan hanya satu orang tewas dalam unjuk rasa Sabtu yang disambut dengan tembakan penembak jitu militer Mesir.Pembantaian oleh militer Mesir ini mengundang kritik keras, bahkan dari sekutu militer Mesir, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Meski demikian Amerika tetap tak pernah menyebut tindakan militer menggulingkan Mursi sebagai kudeta. Sementara itu, negara-negara kaya di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, menyatakan dukungan terhadap Pemerintah Mesir, dengan dugaan mereka khawatir kemenangan kubu Mursi akan membawa kebangkitan gerakan Islam sampai ke negaranya.