Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelas Menengah di Depan Kamera

Kompas.com - 08/07/2013, 01:37 WIB
BANGKOK, KOMPAS.com--Mungkin masih ada yang keliru sangka tentang “kelas menengah”. Istilah itu sering membuat orang membayangkan warga yang serba kecukupan, bermobil, tiga kali setahun bertamasya ke Eropa atau Amerika, dan tinggal di apartemen mewah. Padahal yang dimaksud adalah mereka yang tidak lagi miskin. Lepas dari kemiskinan menahun bukan berarti mampu membeli berbagai barang dan jasa yang mahal. Kehidupan warga yang katakanlah “baru tahap cukup” itulah yang disampaikan oleh sebuah pameran foto di Bangkok sepanjang bulan Juni 2013 yang lalu. Pergelaran seni  ini akan diboyong ke Singapura dan Kuala Lumpur.

Pameran berlangsung di Bangkok Art and Culture Centre di kawasan kota berwajah modern yang bernama Siam City. Pusat kebudayaan ini berada di satu lantai  dengan restoran dan berbagai toko kebutuhan sehari-hari. Ruangan yang dipakai untuk berpameran ini luas, bersih, dan nyaman. Meski demikian ini bukan ruangan khusus, bahkan menjadi kawasan lalu lalang pengunjung gedung tersebut yang berisi berbagai macam kegiatan. Foto-foto seukuran jendela minibus dipajang di dinding ruang yang melengkung seturut bentuk luar gedungnya.

Meski kurang terkesan “wah”, tidak seperti yang gampang didapati di Jakarta, namun pameran ini bergizi. Tidak ada gadis-gadis cantik penjaga pameran yang mengajak kita mengisi buku tamu dan menawarkan buku-buku katalogus pengiring pameran. Mereka yang tidak punya waktu untuk mencari kontak dengan penyelenggara pameran, harus puas dengan poster serta tulisan pengantar yang dicetak di salah satu bagian dinding. Pengunjung atau mereka yang hanya kebetulan lewat cukup nyelonong begitu saja.

Foto-foto itu memaparkan sebuah hasil riset panjang tentang kehidupan kelas menengah di tiga kota besar Asia Tenggara: Bangkok, Singapura, dan Kuala Lumpur. Pendekatannya sosiologis, hasilnya adalah wajah kehidupan yang menarik. Tidak ada penanda kota yang disertakan di dalam foto-foto tersebut sehingga sulit memastikan apakah foto yang kita tatap bercerita tentang masyarakat kota yang satu atau lainnya. Meski demikian sempat muncul satu dua petunjuk, misalnya tentang etnis asal mereka.

Siapakah “kelas menengah” itu? Sang fotografer yang asal Perancis, Francoise Huguier, punya jawaban yang sederhana seperti terbaca di dalam teks di dinding: mereka yang tidak lagi miskin, namun juga belum bisa dikatakan kaya. Anda tidak perlu setuju dengan definisi yang terkesan gampangan namun sesungguhnya operasional itu. Dengan berbekal penggolongan tersebut dia menentukan sasarannya, melakukan studi awal sambil mencoba memasuki kehidupan mereka secara lebih dalam. Katakanlah, ia melakukan semacam tugas seorang peneliti terlibat, yang berlangsung ber bulan-bulan sebelum tombol kamera benar-benar dipencet.

Secuwil kisah di dalam proses perburuan karya itu terus membayangi ketika kita menikmati hasilnya. Seluruh foto yang ditampilkan tentu mewakili pandangan sang seniman tentang obyek buruannya tersebut: mereka tinggal di kota besar, tidak berjejalan seperti di kampung kumuh, bahkan kesan yang muncul adalah suasana sepi. Kameranya tidak menangkap kegiatan bersama antar-warga –mungkin ini tidak termasuk di dalam konsep yang ia pegang  tentang “kelas menengah”. Setiap foto umumnya hanya menyajikan satu sosok manusia sebagai aktor tunggal di dalam serial kisahnya.

Kesan awal tentang foto-fotonya lebih menunjuk ke satu arah, bahwa warga kelas menengah (yang sesungguhnya “belum kaya”) punya privasi yang terjaga. Anda juga boleh membacanya bahwa hal itu merupakan dampak dari kesibukan kota besar yang menyulitkan mereka berinteraksi satu sama lain seperti halnya kehidupan di pedesaan atau di kalangan warga masyarakat yang lebih miskin. Dalam hal ini makna “tetangga” mungkin harus didefinisikan ulang. Demikian juga dengan makna kehangatan sebuah keluarga atau “home sweet home”.  

Sebuah foto yang dipamerkan misalnya berisi tentang seorang pria setengah umur yang duduk di atas kursi roda tengah menyingkap korden. Ia sendirian di sana. Dari situasi ruangan kita bisa menebak bahwa pria setengah umur ini hidup di sebuah kamar di lantai atas, tak jelas lantai yang keberapa. Letaknya yang di ketinggian itu tampak dari caranya mengintip dari balik korden.  Namun, di mana sebenarnya ia tinggal tampaknya tidak menjadi relevan lagi. Ia pasti hidup di kota besar, mungkin bersama keluarga, mungkin juga sendirian.

Sebuah foto lainnya tak kalah menarik, menampilkan seorang perempuan paruh baya dengan baju muslim –umumnya menunjuk pada etnis Melayu-- tengah menunggu sesuatu. Tak ada orang lain di sebidang gambar itu. Mimik wajah dan sorot matanya membuat orang gampang merasa akrab. Di sebelahnya  terpajang foto sebagian ruang tidur yang tampak sederhana namun bersih dan rapi, dengan dua perangkat telepon selular tergeletak di atas kasur bersprei warna kebiruan. Telepon selular di ketiga kota besar itu telah menjadi sandangan para warga tak ubahnya baju atau sepatu.

Foto-foto ini menyimpan sejumlah pertanyaan. Apakah telepon selular hanya bisa dimiliki oleh mereka yang paling sedikit sudah masuk kategori kelas menengah, atau boleh juga bagi mereka yang belum benar-benar tinggal landas dari kondisi kemiskinan? Di berbagai kota besar Indonesia perangkat komunikasi tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari sopir angkutan kota, penjaja sayur keliling, kuli bangunan, dan pembantu rumah tangga. Apakah mereka ini juga tergolong kelas menengah? Banyak yang menuding hal ini sebagai dampak dari watak konsumtif yang diserap habis-habisan oleh warga Indonesia dari segala golongan ekonomi.  

Belasan lembar foto yang lain juga menyimpan kisah masing-masing. Seorang perempuan muda dengan punggung terbuka yang penuh dengan tattoo, bisa dilihat sebagai wajah masa kini  etnik India. Foto  yang lain berisi seorang gadis remaja duduk di mobil, sendirian, hanya berteman beberapa boneka “hello kitty” seukuran anak-anak menunjukkan bagaimana, boleh dianggap sebagai cermin remaja berbagai kota Asia yang sulit menghindari dari globalisasi. Tattoo dan boneka “hello kitty” jelas punya sejarah yang berbeda, dan kini melengkapi kehidupan warga kelas menengah.

Kehidupan seperti apa yang kita hadapi? Sang seniman punya salah satu jawaban lewat sebuah foto yang menampilkan sebuah ruangan yang unik. Tampak berkas cahaya yang terang benderang masuk melalui dua buah lubang jendela di kiri kanan. Di bagian tengah kamar satu sosok pria sedang berbicara. Kita menyangka ada kehidupan di sana, namun ternyata itu hanya “semacam kehidupan” atau “seolah-olah kehidupan”, karena sosok pria tersebut muncul di layar televisi. Tentu kehidupan seperti itu bukanlah yang menjadi dambaan.

Sebagai penanda pameran sang seniman memilih sebuah foto unik, berisi  sosok pria bertelanjang dada mengenakan topeng mahluk monster seperti di film anak-anak, dengan latar dapur lengkap dengan perabotannya. Kita senang boleh melongok dapur warga kelas menengah, tapi mengapa topeng monster? Mungkin itu juga bagian dari kiat sang seniman untuk menandaskan pilihannya akan kelas menengah:  betapapun tampak jelas sosoknya, ia tetaplah kelompok yang masih mengandung teka-teki,  apakah akan terus berada di atas garis kemiskinan atau bakal terjatuh menjadi papa. Tampaknya di berbagai kota dunia, kelompok kelas menengah yang berada di bagian bawah tetaplah rentan terkena guncangan ekonomi. Kelas menengah di Indonesia tak terkecuali.***

(Efix Mulyadi, wartawan, tinggal di Jakarta)
Jakarta, 6 Juli 2013

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com