Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguatnya Pemberontakan Muslim Melayu di Thailand Selatan

Kompas.com - 14/12/2012, 16:34 WIB

KOMPAS.com - Lengahnya Pemerintah Thailand dalam menangani kekerasan berbagai kelompok separatis di provinsi-provinsi paling selatan yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan bersuku Melayu dalam satu dasawarsa ini telah memberi ruang konflik politik yang hanya menguatkan pihak pemberontak. 

Bangkok berdalih penanganan butuh kesabaran namun nyatanya serangan pemberontak telah makin canggih dan brutal sehingga korban jiwa pun bertambah.

Tiap kali kekuasaan di negara berjuta bhiksu ini berganti, pemerintahan yang naik condong mengulur-ulur isu Thailand Selatan yang merupakan salahsatu konflik internal paling mematikan di Asia Tenggara ini.

Respons mereka selalu memakai konsepsi kedudukan negara yang ketinggalan zaman dan diperkeruh perselisihan di dalam birokrasi serta persaingan politik skala nasional.

Untuk pertamakalinya kebijakan keamanan baru yang mengakui dimensi politik dalam konflik di kawasan itu diterbitkan tahun ini. Kebijakan ini juga mengidentifikasi desentralisasi dan dialog dengan pemberontak sebagai bagian dari solusi.

Namun, kebijakan ini butuh niat dari politisi-politisi Thailand untuk mendepolitisasi masalah Selatan ini, merangkul masyarakat sipil, membangun mufakat tentang devolusi kekuasaan politik dan mempercepat usaha untuk berdialog.

Dialog dan desentralisasi  mungkin adalah solusi-solusi yang enggan diterapkan para elit politik Bangkok sekarang namun perubahan yang diperlukan ini akan semakin sulit terjadi seiring perjalanan waktu.

Sengketa politik yang tak kunjung usai antara mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang dikudeta tahun 2006 dan kini berada di pengasingan, dengan lawan-lawannya di dalam tubuh militer, birokrasi dan istana kerajaan telah mengalihkan perhatian dari konflik di Thailand Selatan.

Namun, wilayah itu masih menjadi arena permainan politik. Pejabat sipil wilayah selatan dan di Bangkok terkebiri oleh perlunya menghormati kedudukan militer di kawasan itu dan terjebak dalam pencarian opsi yang dapat menghentikan kekerasan tanpa berkomitmen terhadap reformasi politik.

Pengerahan sekitar 60.000 aparat bersenjata, perumusan berbagai undang-undang keamanan khusus dan penganggaran miliaran dollar AS adalah langkah-langkah yang gagal menurunkan korban jiwa atau memangkas gerakan pemberontakan ini.

Dalam dua tahun belakangan ini, kekerasan terus berlangsung namun skalanya belum mengundang publik untuk menuntut pendekatan baru. Kadangkala ada peristiwa hebat yang sesaat merebut perhatian publik seperti yang terjadi tahun ini.

Pada 31 Maret lalu, serangkaian bom meledak pada hari yang sama di Pattani, Yala dan Hat Yai menewaskan sedikitnya 16 orang, termasuk seorang warga negara Malaysia, dan mencederai lebih dari 500 korban.

Media juga telah menyiarkan rekaman CCTV yang menunjukkan betapa beraninya pemberontak membunuh empat tentara pada siang bolong di distrik Mayo, provinsi Pattani pada 28 Juli lalu.

Tayangan sadis yang menunjukkan bagaimana 16 pemberontak tak hanya menembaki prajurit-prajurit itu tetapi juga melucuti senjata mereka itu memberi umpan bagi publik untuk mempertanyakan keabsahan kebijakan pemerintah selama ini.

Dengan mendinginnya sengketa politik nasional di Bangkok, isu Thailand Selatan kini naik kembali menjadi topik panas bagi media, birokrasi dan politisi. Sayangnya, perhatian baru ini belum mengerucut kepada pemikiran segar dalam mengatasi masalah yang ada.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com