Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Khadafy Mulung Makanan pada Hari-hari Terakhir

Kompas.com - 08/11/2011, 11:54 WIB

KOLONEL Moammar Khadafy menghabiskan minggu-minggu terakhirnya dengan mengais-ngais makanan dan bersembunyi di rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya di kota kelahirannya, Sirte. Hal itu diungkap oleh salah seorang anggota klannya yang masih hidup, Mansour Dao.

Diktator Libya itu, yang telah menikmati kekayaan melimpah dan istana-istana mewah selama masa jaya pemerintahannya, pada hari-hari pelariannya hidup tanpa listrik atau TV. Ketika itu para pemberontak Libya terus merangsek masuk ke Sirte.

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan CNN yang disiarkan Senin (7/11/2011), Mansour Dao yang juga salah satu pejabat tinggi keamanan Khadafy, melukiskan kejatuhan mengejutkan pemimpin terlama Libya itu. Dao berbicara dari tempat tahanannya di Misrata. Ia mengisahkan bagaimana Khadafy bertahan hidup dengan memakan sisa-sisa persedian makanan yang ditemukan di rumah-rumah kosong dan bagaimana dia menjadi asyik baca buku yang ia tumpuk dalam koper-kopernya.

Dao menggambarkan perilaku 'tak terduga' Khadafy saat para pemberontak Libya merangsek ke Sirte, dan bagaimana ia merancang sebuah rencana untuk pergi ke tempat kelahirannya, Jaref, sebuah desa yang berjarak 20 kilometer di barat Sirte. Dao, yang menentang rencana ke Jaref itu, mengatakan, "Dia sangat khawatir dan serba tidak menentu - itu bisa jadi karena ia takut. Dia ingin pergi ke desanya, mungkin ia ingin mati di sana atau menghabiskan saat-saat terakhir di sana."

Dao mengatakan, mantan pemimpin yang terdelusi itu percaya bahwa dia tetap menjadi pemimpin Libya. Ia menjelaskan kondisi Khadafy itu dengan mengatakan, "Tidak mudah bagi seseorang yang telah berkuasa selama 42 tahun untuk percaya bahwa itu telah berakhir dalam sekejap."

Ketika ditanya, apakah Dao menyesal telah menjadi bagian dari rezim Khadafy? Dao menjawab, "Kadang-kadang saya menyesali segala sesuatu, saya bahkan menyesal tetap hidup. Tentu saja seseorang memiliki penyesalan pada suatu waktu dalam hidupnya dan melihat kembali ke belakang. Namun sayangnya, kadang-kadang Anda menyesal ketika (penyesalan) itu sudah sangat terlambat."

Dao, yang dikenal sebagai 'kotak hitam' dari rezim yang lalim itu karena pengetahuan yang mendalam tentang sejumlah rahasia gelap Libya, menghadapi dakwaan terkait dugaan perannya dalam pembantaian di penjara Abu Salim tahun 1996 dan keterlibatannya dalam merekrut tentara bayaran Afrika selama konflik yang berujung pada kejatuhan rezim tersebut. Namun dia membantah tuduhan itu.

Dalam wawancara sebelumnya seperti dilansir Daily Mail, Dao, yang bersama Mutassim (salah seorang putra Khadafy) dan rombongan berjumlah 24 loyalis yang siap mati mendampaingi Khadafy, menceritakan bagaimana Khadafy menyerahkan rencana pertempuran pada  putra-putranya. Khadafy sendiri, menurut Dao, lebih memilih untuk menyeduh teh di atas kompor batubara dan menuliskan catatan dalam jurnalnya. Dao mengatakan, "Dia (Khadafy) tidak memimpin pertempuran. Putra-putranya yang melakukan itu. Dia tidak merencanakan apa pun atau memikirkan rencana apapun."

Menurut Dao, pada hari penangkapan Khadafy, sebuah konvoi yang membawa para loyalis, mantan pemimpin Libya itu dan Dao yang naik sebuah Toyota Landcruiser, melesat keluar dari Sirte untuk mencoba melarikan diri. Namun mereka terhadang serangan udara NATO. Khadafy dan Dao terluka dan ditangkap. Diktator itu kemudian tewas pada hari itu juga.

Para pejabat Libya menyatakan, Khadafy tewas dalam baku tembak antara pejuang revolusioner dan loyalis. Namun rekaman video yang beredar telah menunjukkan bahwa Khadafy dipukul dan disiksa oleh para penangkapnya. Pemerintah sementara Libya telah setuju, atas tekanan internasional, untuk membuka penyelidikan terhadap kematiannya.

Dao mengatakan, ia sendiri tak sadarkan karena luka-lukanya sebelum penangkapan Khadafy dan ia tidak tahu apa yang terjadi pada Khadafy. "Saya merasa kasihan padanya karena dia meremehkan situasi itu," kata Dao. "Dia bisa saja pergi dan lari ke luar negeri lalu hidup bahagia."

Masih menurut Dao, selama di Sirte, sang tiran dan rombongannya berpindah tempat persembunyian setiap empat hari. Para loyalis di kota itu dipimpin Mutassim, yang semula memimpin sekitar 350 orang. Banyak dari mereka kemudian melarikan diri dan menjelang akhir pertempuran, kekuatan mereka hanya tinggal sekitar 150 orang.

Dao melukiskan kondisi terakhir Khadafy dengan mengatakan, "Dia tertekan, dia benar-benar marah. Seringkali ia hanya sedih dan marah. Dia percaya rakyat Libya masih mencintainya, bahkan setelah kami mengatakan bahwa Tripoli telah diduduki."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com