Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjahat Perang Rwanda Dibui Seumur Hidup

Kompas.com - 08/07/2011, 11:20 WIB

DEN HAAG, KOMPAS.com - Pengadilan banding Belanda, Kamis, menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada seorang pria Hutu karena kejahatan yang mencakup pembunuhan ratusan wanita dan anak di sebuah kompleks gereja saat genosida tahun 1994 di Rwanda.

Joseph Mpambara dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh sebuah pengadilan pidana pada Maret 2009 karena penganiayaan atas orang-orang dari etnik Tutsi pada tahun 1994, tapi pada waktu itu dibebaskan dari (tuduhan) kejahatan perang. Penuntut dan Mpambara, yang menyatakan tidak bersalah, sama-sama naik banding atas putusan itu. Pengadilan banding tersebut digelar berdasarkan hukum Belanda yang membolehkan penuntutan tersangka penjahat perang yang tinggal di negara itu.

"Kejahatan dalam kasus ini dapat dianggap sebagai kejahatan paling serius yang diadili oleh seorang hakim Belanda sejak Perang Dunia II," kata pengadilan banding itu dalam menghukum Mpambara.

Kejahatan Mpambara termasuk pembunuhan sejumlah wanita dan anak, serangan dan penculikan di negara Afrika tengah itu (Rwanda), tempat  800.000 minoritas Tutsi dan orang-orang Hutu yang secara politik moderat, dibunuh dalam 100 hari pembunuhan besar-besaran oleh para milisi Hutu.

Terdakwa berusia 43 tahun itu dihukum karena terlibat dalam pembunuhan "sedikitnya ratusan" pengungsi Tutsi yang meminta perlindungan di sebuah kompleks gereja Seventh Day Adventist, dengan memukul, melukai dan menembak mereka. Pengadilan itu memutuskan bahwa Mpambara mengambil bagian dalam pembunuhan dua wanita Tutsi dan anak-anak mereka yang dilukai dan dipukuli hingga tewas, dengan parang dan pentungan saat mereka berusaha untuk melarikan diri dalam sebuah mobil ambulans.

Ia juga dihukum karena mengancam seorang dokter Jerman, isterinya yang orang Tutsi dan bayi laki-laki mereka di sebuah rintangan jalan. Pengadilan telah menyerahkan pada mereka ganti rugi. Pengacara Liesbeth Zegveld, yang mewakili korban dalam kasus itu, mengatakan vonis tersebut merupakan "ekspresi masyarakat internasional".

Mpambara, yang memakai celana jins, kemeja putih dan sepatu karet, meminta suaka di Belanda pada 1998 dan ditangkap tahun 2006, tetap bungkam saat putusan dibacakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com