Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa Lagi Setelah Mubarak dan Mesir?

Kompas.com - 12/02/2011, 14:49 WIB

KOMPAS.com — Zine al-Abidine Ben Ali menguasai Tunisia selama 23 tahun, tetapi sekarang tumbang. Hosni Mubarak memerintah Mesir selama hampir 30 tahun, teapi sekarang juga tumbang. Apakah kediktatoran di dunia Arab dan Timur Tengah memang satu per satu akan rontok? Jika itu yang sedang terjadi, lalu siapa korban berikutnya?

"Satu-satunya yang ingin saya sampaikan kepada Anda adalah angin perubahan sedang melanda Timur Tengah," kata Ketua Liga Arab Amre Moussa, mantan Menteri Luar Negeri Mesir, kepada CNN. "Bagaimana angin itu akan bergerak serta ke mana arahnya, kapan, dan di mana, saya tidak dalam posisi untuk menilai sejauh mana itu akan terjadi. Namun, menurut saya, angin perubahan itu sudah mulai," katanya.

Di negara tetangga Mesir, Libya, telah muncul di halaman di Facebook pengumuman tentang demonstrasi damai yang dijadwalkan pada hari Senin. Moammar Khadafy, yang telah memerintah negara itu selama hampir 40 tahun, beberapa hari lalu masih menegaskan dukungannya terhadap Mubarak.

Di seberang Laut Merah, ribuan orang telah memprotes Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, yang telah memerintah Yaman selama 32 tahun. Saleh telah berjanji tidak maju lagi dalam pemilihan berikutnya saat masa jabatan yang sekarang ini, dimulai tahun 2006, berakhir tahun 2013. Di Jordania, Raja Abdullah II telah merombak kabinetnya pada minggu lalu. Minggu ini ia memasukkan beberapa tokoh oposisi dan media ke dalam kabinet baru yang dipimpin seorang pensiunan jenderal.

Namun, para pengamat memperingatkan untuk tidak terlalu berharap banyak pada "angin perubahan" itu. "Apa kesamaan antara Tunisia dan Mesir? Militer membuat keputusan untuk tidak melakukan intervensi," kata Jamie Rubin, diplomat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) pada era Presiden AS Bill Clinton, sebagaimana dikutip CNN. "Anda lihat Iran dan kita melihat sejumlah besar orang turun ke jalan beberapa waktu lalu. Namun, pihak keamanan siap untuk membunuh, menangkap, atau menempatkan mereka ke dalam penjara. Dan jika pergi ke Suriah, Anda akan melihat rezim militer yang pada masa lalu bersiap untuk melakukan pembunuhan massal. Jadi, kita harus membuat perbedaan-perbedaan di sini," tuturnya.

"Mereka membuat keputusan untuk campur tangan, tetapi tidak dengan kekerasan. Mereka membuat keputusan untuk membiarkan revolusi terjadi dan tidak menopang status quo. Keputusan mereka untuk tidak menggunakan kekuatan terhadap rakyat memungkinkan orang menerobos hambatan rasa takut," kata Rubin tentang kondisi di Tunisia dan Mesir.

Fouad Ajami, ilmuwan kelahiran Lebanon dan ahli masalah Timur Tengah, mengatakan, orang-orang di kawasan itu selama puluhan tahun telah kehilangan kekaguman dan ketakutan kepada pemerintahnya. "Lihatlah episode-episode yang ada. Ada sebuah lubang laba-laba. Saddam Hussein keluar dari lubang laba-laba tahun 2003. Lalu muncul tontonan tentang pengadilannya," kata Ajami.

"Jadi, saya pikir banyak pemerintah Arab yang khawatir. Mereka layak khawatir karena mereka memperlakukan rakyat dengan buruk. Mereka menyiksa rakyat. Mereka menjarah uang. Tidak ada kontrak sosial di banyak negara itu. Jadi, saya pikir mereka memang pantas untuk khawatir," ujarnya.

Namun, beberapa dari rezim yang lebih keras bahkan telah berbicara tentang perubahan dalam terang protes rakyat yang melanda kawasan itu baru-baru ini. Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika, yang telah berkuasa selama 12 tahun terakhir, misalnya, "dalam waktu dekat" mencabut status negara dalam kondisi darurat yang telah berjalan selama hampir 20 tahun, menurut laporan kantor berita negara itu minggu lalu. Langkah ini merupakan satu dari beberapa hal yang dituntut para demonstran dalam protes baru-baru ini terhadap pemerintah. Undang-undang itu diterapkan sebagai tindakan keras terhadap partai politik Islam pada tahun 1992.

Presiden Suriah Bashar al-Assad mengambil alih kekuasaan tahun 2000 setelah kematian ayahnya, yang memerintah sejak tahun 1971. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan minggu lalu di harian The Wall Street Journal, ia mengatakan bahwa para pemimpin Timur Tengah harus "melihat perlunya reformasi" sebelum protes seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia pecah.

Bagaimanapun, yang terpenting dari efek domino di Timur Tengah dan sebagian Afrika itu adalah tidak ada yang benar-benar yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebelum kepergian Mubarak yang dramatis dan cepat menyusul Ben Ali, banyak ahli bahkan sangat meragukan bahwa Mesir akan mengikuti jejak Tunisia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com