Maruli Tobing
KOMPAS.com - ”Kata-kata yang kami ucapkan tidak kamu hiraukan. Maka, saya akan berbicara dalam bahasa yang kamu pahami. Dengan darah kami, akan kami hidupkan kata-kata yang telah mati itu.’’ Sedikitnya 52 orang tewas dan ratusan orang lainnya cedera dalam peristiwa bom bunuh diri pertama di Inggris. London, kota supermodern dan pusat gaya hidup, dilanda panik dan ketakutan. Selama hampir satu bulan penduduk dihantui spekulasi akan munculnya serangan susulan. Empat pemuda pelaku—tiga berdarah Pakistan dan satu Jamaika—besar di lingkungan keluarga menengah. Mereka pernah bergabung dengan pengunjuk rasa menentang perang Irak dan menuntut penarikan pasukan Inggris. PM Tony Blair tidak meresponsnya. Maka, tidak ada pilihan lain bagi mereka, kecuali melalui ”jalan akhirat”. Rakyat Inggris terguncang, nyaris tidak percaya di negara dengan tradisi demokrasi, warganya meledakkan diri untuk membunuh saudara sebangsa. Sama seperti Presiden AS George W Bush, PM Tony Blair menolak disalahkan kebijakan invasi militernya di Afganistan dan Irak. Alhasil, lembaga pendidikan menjadi sasaran dan dituding tidak becus menanamkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan cinta negara kepada anak-anak imigran. Dua tahun lalu kalangan pengamat dan pejabat intelijen asing memuji prestasi Indonesia dalam mengatasi masalah terorisme. Mereka optimistis episode Kelompok Jemaah Islamiyah (KJI) dan jaringannya telah berakhir. Kini Indonesia aman dari serangan teroris dan aman bagi investasi. KJI sendiri hanya tinggal nama setelah pasukan antiteror Mabes Polri, Densus 88, menangkap para pentolannya dan mengobrak-abrik organisasi maupun jaringan KJI. Sejauh ini Densus 88 telah membekuk ratusan tersangka teroris ataupun mereka yang terkait.