Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Wang Yan dan Haji Ma Ibrahim

Kompas.com - 12/07/2009, 06:21 WIB

Jimmy S Harianto

KOMPAS.com — Ketika seorang gadis remaja China berjilbab berkelebat masuk gerbang Masjid Huaisheng di Guangzhou selepas dzuhur, pertengahan Juni 2009, kami pun lalu menggamitnya. Gadis berparas polos itu pun tersipu-sipu malu.

"Wang Yan," kata remaja usia 17 tahun yang mengaku masih duduk di bangku sekolah menengah di Guangzhou itu. Wang Yan adalah anak ke-4 dari lima bersaudara di keluarganya, empat di antara mereka perempuan.

”Semuanya Muslim,” katanya ketika ditanya, apakah kakak, adik, dan juga kedua orangtuanya juga pemeluk agama Islam.

Selama perjalanan, kami lebih dari sepekan, dari Beijing di China utara lalu ke Chongqing di China barat, lalu ke Guangzhou dan Senzhen di selatan, memang sangat jarang berpapasan dengan perempuan Chinaapalagi remajamengenakan jilbab. Kecuali di sekitar masjid, seperti yang bisa Anda jumpai di masjid besar Niujie, masjid terbesar di Beijing. Atau di Masjid Huaisheng Guangzhou. Itu pun boleh dikata tak banyak jumlahnya (di China ada sekitar 40.000 masjid).

Maka, tak perlu heran jika teman-teman wartawan Indonesia, begitu melihat Wang Yan siang itu, langsung menggamitnya untuk berfoto. Wang Yan pun tersipu ketika wajah cantiknya dipotret di gerbang Masjid Huaisheng, salah satu masjid tertua di dunia yang bangunan induk dan minaretnya sudah berusia lebih dari 1.300 tahun di Guangzhou, China selatan.

”Kami turun-temurun keluarga Muslim,” ungkap Haji Ma Ibrahim, 73 tahun, imam masjid dan mantan Ketua Asosiasi Muslim China, yang juga ditemui di kompleks Masjid Huaisheng siang itu. Kata ”Ma” memang mengunjuk bahwa si penyandang nama adalah seorang China Muslim. Mungkin seperti halnya nama depan Muhammad di Indonesia.

Ketika tahu kami dari Indonesia, Haji Ma Ibrahim yang aslinya bernama Ma Yu Jun ini pun berbinar-binar dan tak ragu mengucapkan salamnya. ”Assalamualaikum...,” sapanya. Indonesia di matanya adalah ”negara Islam” (meski sebenarnya, negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia) yang tak asing baginya.

”Saya pernah ke Indonesia, diundang ke rumah Habibie (waktu itu presiden), tahun 1998,” tutur Haji Ma Ibrahim. Tak hanya itu. Bahkan, mendiang presiden pertama RI, Soekarno, pun ia pernah menemuinya.

”Soekarno 50 tahun lalu juga ke China, menemui Mao Zhedong (mereka selalu menyebut Mao sebagai ’Sang Ketua Mao’ atau dalam bahasa Inggrisnya ’Chairman Mao’, Mao sang pemimpin tertinggi partai), saya waktu itu juru masaknya,” tutur Haji Ibrahim.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com