Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tumbalkan Anak Kandung dalam Ritual Dukun Sesat

Kompas.com - 24/03/2009, 11:17 WIB

KOMPAS.com — Seorang gadis belia berusia 12 tahun di Uganda menjadi korban praktik lama di Afrika, yaitu perdukunan sesat yang kejam, akhir pekan lalu.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan praktik ini, tetapi faktanya kejadian itu masih sering terjadi. Lebih keji lagi, sejumlah orangtua dan anggota keluarga yang justru menghendaki anak kandung mereka menjadi tumbal demi mengalap berkah.

Belakangan ini, polisi dan pemerintah bertekad untuk mengekang praktik perdukunan sesat tersebut di seluruh negara Afrika timur itu. Diduga, hampir setiap pekan satu anak dijadikan korban.

Dalam pembunuhan Sabtu (21/3), Sylvia Kangume dari Pusat Anak Ntunda di kabupaten Kiboga, Uganda tengah, ditemukan tewas. Saat ditemukan, beberapa bagian tubuh anak itu hilang, mirip berbagai pembunuhan ritual yang merebak selama beberapa bulan belakangan di Afrika.

Kematian gadis muda itu diikuti oleh peristiwa yang mirip di Bugiri, Uganda tengah. Dalam peristiwa kedua tersebut, bagian tubuh anak laki yang berusia tiga tahun diambil oleh seorang dukun. Bocah laki-laki tersebut selamat dan menjalani perawatan medis di Kampala.  

Moses Kafeero, juru bicara polisi di Uganda tengah, mengatakan kepada wartawan pada Senin bahwa meskipun ada upaya guna menyeret pelakunya ke pengadilan, aksi kejahatan dengan sasaran utama anak-anak telah meningkat di seluruh negeri tersebut. Pembentukan komite 15 anggota oleh polisi guna memperkuat penyelidikan mengenai pola pengorbanan anak-anak belum memberi hasil.

"Rakyat kami masih percaya pada cenayang, kami telah berbicara, banyak orang telah dibawa ke pengadilan, tetapi masalah ini masih merongrong kami," kata Kafeero sebagaimana dilaporkan kantor berita China, Xinhua.

Namun, pengungkapan kejahatan itu lebih mengejutkan karena sebagian orangtua atau anggota keluarga telah membantu dalam pembunuhan anak mereka. Polisi pun mendesak orangtua agar lebih mengawasi anak mereka.

Menurut statistik, 18 kasus yang diduga sebagai pembunuhan dalam upacara mistis tercatat tahun lalu, 15 di antaranya diselidiki. Dukun yang terlibat dalam upacara pengorbanan anak biasanya dilakukan untuk membawa keberuntungan, kesehatan yang baik, dan lain-lain di beberapa negara Afrika.

Matia Kasaija, Menteri Negara Urusan Dalam Negeri Uganda baru-baru ini mengatakan perang melawan pengorbanan anak-anak telah bertambah rumit akibat meningkatnya jenis kejahatan lain dengan sasaran anak-anak, seperti penculikan, perampasan, dan pencurian anak. Menurut Kementerian Dalam Negeri, ada 230 kasus semacam itu pada 2006, dan pada 2007 kasus tersebut turun jadi 108, tetapi melonjak lagi jadi 318 kasus tahun lalu.  

Sementara negeri itu masih mempertimbangkan apa yang akan dilakukan guna mengekang aksi kejahatan itu, Presiden Uganda Yowei Museveni telah menyatakan bahwa merekayang terbukti bersalah dalam tindakan mengorbankan anak-anakpantas dihukum mati.

Kabinet Uganda direncanakan mengajukan dokumen ke parlemen mengenai langkah yang dilakukan, yang akan dibahas oleh anggota parlemen. Sementara itu, para pemimpin Kristen sedang menjalani doa dan puasa 40 hari di seluruh negeri tersebut guna menentang tindakan mengorbankan manusia, yang dinamakan "Menangi buat Anak-anak Uganda".

Tabib tradisional, yang dituduh melakukan perbuatan tersebut oleh banyak orang Uganda, menghadiri acara tayang bincang radio dan telah membantah tuduhan itu dan malah bergabung dalam aksi memerangi tindakan mengorbankan anak-anak. Sementara itu, rakyat Uganda masih menunggu tindakan efektif yang akan dilakukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com