Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PM Inggris hingga Presiden Donald Trump Dukung Otonomi Hong Kong

Kompas.com - 27/08/2019, 16:03 WIB
Agni Vidya Perdana

Penulis

Sumber AFP

BIARRITZ, KOMPAS.com - Para pemimpin negara-negara anggota G7, termasuk Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan mendukung otonomi Hong Kong.

Dukungan terhadap otonomi tersebut, ditambah seruan agar pihak-pihak yang berselisih di Hong Kong untuk tenang, disampaikan melalui pernyataan bersama yang dihasilkan dalam pertemuan puncak G7 di Biarritz, Perancis barat daya.

Status otonomi Hong Kong tercantum dalam perjanjian tahun 1984 antara Inggris dengan China.

"G7 menegaskan kembali keberadaan dan pentingnya perjanjian China-Inggris pada 1984 tentang Hong Kong, serta menyerukan untuk menghindari kekerasan," bunyi pernyataan bersama yang dirilis dalam bahasa Perancis pada akhir pertemuan puncak G7.

Baca juga: Demo Hong Kong: Polisi Todongkan Pistol ke Arah Demonstran

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan bahwa para pemimpin Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat, semuanya menyuarakan "keprihatinan mendalam tentang situasi di Hong Kong.

"Negara-negara G7 seluruhnya ingin mendukung kestabilan dan kemakmuran Hong Kong, dan kami secara kolektif berkomitmen pada kerangka 'Satu negara dua sistem'," ujarnya, Senin (26/8/2019), dikutip AFP.

Hong Kong telah jatuh ke dalam krisis sejak awal Juni lalu, saat massa penentang Undang-Undang Ekstradisi mulai turun ke jalan menuntut pembatalan undang-undang tersebut.

Sebagai bekas koloni Inggris, Hong Kong mendapat status sebagai wilayah semi-otonom dengan prinsip "Satu negara dua sistem" sejak dikembalikan ke pemerintah China pada 1997.

Baca juga: Gunakan Pistol dan Meriam Air ke Demonstran, Polisi Hong Kong Sebut karena Terpaksa

Di bawah prinsip tersebut, Hong Kong memiliki kebebasan dalam menjalankan pemeritahannya sendiri, dengan undang-undang dan hukum yang terpisah dari China daratan.

Sebagai dampaknya, penduduk Hong Kong dapat menikmati kebebasan sipil yang tidak dirasakan penduduk di China daratan dan amandemen UU Ekstradisi disebut bakal mencederai kebebasan sipil rakyat Hong Kong.

Massa penentang UU Ekstradisi pertama kali menggelar demonstrasi pada 9 Juni 2019, dengan melakukan aksi berjalan bersama memadati ruas-ruas jalan utama Hong Kong.

Aksi unjuk rasa pada masa awal ini dapat berjalan damai, namun belakangan demonstrasi kerap berakhir bentrok dengan aparat keamanan.

Baca juga: Diduga Kampanyekan Melawan Demo Hong Kong, 210 Channel YouTube Dinonaktifkan

Terakhir, aksi demonstrasi pada Minggu (25/8/2019), polisi Hong Kong bahkan terlihat mengeluarkan pistol dan menggunakan meriam air untuk membubarkan massa demonstran yang dianggap membuat kerusuhan.

Kerusuhan yang terjadi di Distrik Tsuen Wan, sekitar 10 km dari pusat kota, itu bahkan disebut sebagai aksi bentrokan terparah dalam unjuk rasa yang telah berlangsung selama tiga bulan terakhir.

Dalam keterangan kepolisian Hong Kong, sejumlah anggota mereka tersudutkan oleh demonstran yang mempersenjatai diri menggunakan tongkat dan benda lain.

Sedikitnya 15 polisi mengalami cedera. Sementara terdapat puluhan pengunjuk rasa, satu berusia 12 tahun, dengan tuduhan kepemilikan senjata dan menyerang aparat.

Polisi kemudian meminta kepada masyarakat untuk melapor jika ada peserta demonstrasi yang melakukan kekerasan, dan berjanji untuk menyeret mereka ke pengadilan.

Baca juga: Pekerja Konsulat Inggris di Hong Kong Ditangkap China karena Melanggar Aturan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com