KOPENHAGEN, KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah mengonfirmasi dia tertarik untuk membeli Greenland dari Denmark.
Namun negara yang menjadi sekutu AS di Organisasi Kerja Sama Atlantik Utara (NATO) itu sudah menegaskan pulau itu tidak untuk dijual.
Pernyataan yang disampaikan Perdana Menteri Mette Frederiksen itu tak pelak membuat Trump mengumumkan pembatalan kunjungan ke Kopenhagen bulan depan.
Baca juga: Trump Batalkan Kunjungan karena Isu Greenland, Denmark Kaget
Dilansir AFP Rabu (21/8/2019), berikut merupakan lima fakta yang harus diketahui soal Greenland, pulau yang masuk dalam buruan Trump.
Nama "Greenland" atau Tanah Hijau adalah salah interpretasi untuk pulau seluas dua kilometer persegi, dan menjadi yang terbesar di dunia.
Terletak antara Samudera Arktik dan Atlantik Utara, sekitar tiga perempat pulau itu masuk ke Arktik dan 85 persen tertutup es.
Greenland merupakan bagian dari koloni Denmark hingga 1953, dan kemudian menjadi bagian dari kerajaan paling kecil di kawasan Nordik itu.
Pada 1979, wilayah itu memperoleh status otonomi khusus. Hingga saat ini, mereka begitu bergantung dari subsidi yang diberikan Kopenhagen.
Dari 55.000 penduduknya lebih dari 90 persen merupakan Inuit, atau kelompok pribumi yang berasal dari wilayah Asia Tengah.
Baca juga: Greenland Tak Dijual, Trump Batalkan Kunjungan ke Denmark
Greenland merupakan wilayah terpenting bagi pertahanan AS sejak Perang Dunia II, di mana mereka mengawasi armada laut Nazi Jerman dari Arktik ke Atlantik Utara.
Kemudian di 1943, Angkatan Udara AS membangun pangkalan di Thule sebagai garis depan untuk mengawasi potensi serangan Rusia saat Perang Dingin.
Dengan populasi yang mencapai 600 jiwa, Thule kini menjadi bagian misi NATO dengan mengoperasikan pengawasan satelit atau sistem pertahanan rudal.
Seiring dengan es di kutub yang semakin mencair, maka Greenland terbuka bagi jalur pelayaran dunia yang memancing ketertarikan negara adidaya.
Rusia menjadi lebih aktif. Kemudian China, negara yang sama sekali tak mempunyai klaim geografi, juga menaruh perhatian besar.
Pada Januari 2018, Beijing memperkenalkan strategi "Jalur Sutra Kutub" untuk memperpanjang pengaruh mereka hingga ke wilayah Arktik.