Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Jika AS Berniat Menghentikan China, Itu Sudah Sangat Terlambat"

Kompas.com - 15/07/2019, 13:16 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

BOLOGNA, KOMPAS.com - Seorang negarawan senior Italia meyakini, pendekatan yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap China sangatlah salah.

Romano Prodi, mantan Perdana Menteri Italia dua periode dan eks Presiden Komisi Eropa telah berpengalaman selama 30 tahun ketika menjalin relasi dengan China.

Dalam wawancara dengan SCMP di Bologna seperti dipublikasikan Minggu (14/7/2019), Prodi menyoroti langkah Trump untuk menghambat laju pertumbuhan China.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi China Sentuh Titik Terendah dalam 27 Tahun

Dia mengemukakan strategi yang dijalankan Trump seperti menerapkan perang dagang dengan China dalam satu tahun terakhir bakal menemui kegagalan.

"Bahkan jika memang mereka berniat menghentikan China, itu sudah sangat terlambat. AS mungkin masih nomor 1. Tetapi kemajuan China tak terbendung," ulasnya.

Prodi mengatakan, dia mendapat pemahaman dan nilai-nilai mengenai kepentingan atau pun pemikiran pemerintah China setelah menggelar pertemuan dengan mereka.

Dia mengisahkan momen pertemuan ketika China dipimpin Presiden Jiang Zemin. Sebelum bertemu, staf Prodi sudah memberi materi apa saja yang bakal dibicarakan.

Namun ketika agenda bilateral digelar, ada satu topik yang menarik perhatian Jiang, sekaligus petunjuk rencana jangka panjang China menjadi salah satu pemain utama dunia.

Topik yang paling menyita fokus Jiang adalah rencana Uni Eropa untuk memperkenalkan mata uang baru mereka, euro, yang mulai beredar pada 2002 silam.

Segera setelah keduanya duduk, Jiang langsung berseloroh bahwa dia masa depan, mungkin negaranya bakal membeli euro sebanyak mereka membeli dollar AS.

"Sebab, jika ada mata uang yang bisa setara dengan dollar AS, maka itu bisa memberi peluang bagi mata kami juga, renminbi (dikenal juga sebagai yuan)," ujar Prodi menirukan Jiang.

Politisi berusia 79 tahun itu melanjutkan, dia juga membeberkan "keunikan" lain China jika disandingkan dengan negara komunis lain pada masanya.

Pada 1984, Prodi yang masih menjadi kepala perusahaan negara di Italia diminta mengerjakan jalur pipa di Uni Soviet, tepatnya di Stalingrad (kini Volgograd).

Baca juga: Imbas Perang Dagang, Pemerintah AS Minta Hakim Batalkan Gugatan Huawei

Dua tahun kemudian, jajarannya diminta menggarap proyek di kota pelabuhan Tianjin. Prodi mengungkapkan, para pekerja China dinilai lebih efisien dan pintar dibanding Soviet.

Kini, lanjutnya, Eropa harus kembali dihadapkan China di bawah pimpinan Presiden Xi Jinping, yang mempunyai proyek ambisius bernama Inisiatif Sabuk dan Jalan (OBOR).

Pada awal 2019 ini, untuk pertama kalinya Komisi Eropa memasukkan China sebagai "rival sistemik" dalam kebijakan strategis mereka, meski ada ruang untuk bekerja sama.

Dalam pandangan Prodi, strategi terbaik menangani China adalah dengan bekerja sama sedekat mungkin demi membuka jalan apa yang dia sebut sebagai "konvergensi politik".

Dia yakin menghadapi negara dinamis seperti China membutuhkan sebuah mediasi. "Daru pihak China, mereka harus menemukan simetri dalam perilaku ini," tegasnya.

Baca juga: Terimbas Tarif dari AS, Ekspor dan Impor China Anjlok

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com